“Gak mungkin! “
Teriakan itu membuat Fatiah langsung mencari sumber suara. Fatiah terkesiap, langkahnya berhenti di hadapan pohon besar. Terlihat seorang membelakanginya, bahunya bergetar hebat.
“Hey, kamu kenapa? “tanya Fatiah. Ragu untuk mendekat.
Tidak ada jawaban.
Fatiah menimbang, meski ragu kini ia melangkah satu langkah lebar. “Hey, kamu nangis?”
Samar-samar Fatiah mendengar suara lirih itu.
“Kenapa kamu nangis? “
Masih tidak ada jawaban. Fatiah sangsi untuk kembali melangkah, pasalnya orang itu pria, dan jarak terlalu dekat tidak baik untuk seorang muslimah dan pria.
“Ada yang bisa saya bantu?” Fatiah tanpa sadar memainkan pergelangan kakinya, kebiasaan buruk yang sudah lama hilang darinya saat ia merasa tidak berharga.
Fatiah merasa dirinya tidak akan banyak membantu, meski begitu Fatiah masih menunggu.
Lima menit berlalu.
Orang itu tidak kunjung menjawab atau sekadar berbalik, memperlihatkan wajahnya pada Fatiah. Tapi samar-samar Fatiah tidak lagi mendengar suara tangis lirih, hanya terdengar seguk-seguk sisa tangisnya.
“Kalo gitu....hm, lebih baik saya pergi.” Fatiah berbalik hendak pergi.
“Kenapa kamu baru datang sekarang?”
Langkah Fatiah terhenti.
Fatiah bingung, pertanyaan itu untuknya atau untuk orang lain. Fatiah memandangi sekitar, tidak ada siapa-siapa di sana selain pohon tinggi yang menjulang jauh.
Sebenarnya di mana di sekarang? Fatiah baru sadar, tempat ini tidak pernah ia datangi sebelumnya. Ada banyak bunga di sisi kanan, tapi berbanding terbalik dengan sisi kiri yang ditumbuhi pohon lebat nan tinggi. Sekilas tempat ini seperti dua orang yang berbeda namun dipersatukan.
“KAMU! “
Suara bentakan membuat Fatiah tersentak, Fatiah langsung berbalik. Pria itu terlihat sangat jauh darinya, wajahnya samar di pandangan Fatiah.
“Kenapa kamu tidak datang di saat saya butuh! Kenapa kamu datang sekarang! Saat luka itu sudah hadir! Kenapa kamu harus hadir sekarang! “
“M-maksud kamu apa?” Suara Fatiah gentar. Fatiah menyipitkan matanya, menatap objek yang makin blur di pandangannya.
“KAMU! “
“SAYA MEMBENCI MU! “
Fatiah tersentak. Matanya mengerjap pelan, desah helaan nafas panjang keluar begitu saja dari mulutnya sebagai bentuk kelegaan. Entah lega karena apa.
“Kenapa, Iah? “ tanya Billa, menatap bingung Fatiah yang nampak bengong dengan nafas tidak beraturan. “Mimpi buruk? “
Fatiah menoleh pada Billa yang hendak ke kamar mandi, mengerjap sekali lagi sebelum mengangguk.
“Mimpi buruk apa? “
Mimpi buruk? Fatiah bahkan tidak tahu itu mimpi buruk atau bukan. Fatiah menghela nafas panjang, menatap kosong langit-langit kamar, jantungnya masih berdegup kencang, pikirannya terus terusik kalimat, ‘SAYA MEMBENCI MU!
“Iah, entar pas subuh tolong bangunin aku ya. Ponsel aku habis baterai, gak bisa nyalain alarm. Mau bangun lebih bagi, biar bisa jogging.”
“Hm.” Fatiah bergumam pelan. Kemungkinan Fatiah tidak berniat menyambung tidurnya lagi. Fatiah bangkit, berjalan ke kamar mandi, gemercik air wuduh memberi kesegaran sekaligus ketenangan di benak Fatiah. Fatiah membentangkan sajadahnya dan mulai bersujud di sepertiga malam.
Tanpa di duga, rasa ngantuk kembali menyerangnya di tengah dzikir malamnya, Fatiah mengucek pelan matanya, namun bukannya terbuka, gadis itu malah tertidur di sajadah.
Kukuriyukkk....
“YA ALLAH KITA TELAT GUYS!! “ teriakan Rani menggema di telinga seluruh anak kamar enam.
Lail merespon dengan membuka mata kecilnya bukan untuk bangun melainkan mengukuhkan posisinya kembali mencari posisi ternyaman untuk kembali tidur. Billa terduduk di kasur, masih linglung. Sedangkan Lingsi hanya mengerjap-ngerjap pelan.
Fatiah yang berada di sekat depan, tersentak kaget, matanya menyipit saat sinar matahari menyapa tepat maniak matanya.
“Guys buruan bangun, salat subuh dulu, hey...”
Fatiah memijati pelipis kepalanya, entah kenapa rasa pusing nangkring di sana, entah karena bangun mendadak atau memang dia sedang sakit. Meski begitu, Fatiah langsung bangkit, membuka mukenanya dan berjalan sempoyongan ke kamar mandi.
“Udah pagi, hey.... kalian gak sekolah apa?” Rani menepuk-nepuk pelan lengan Lail dan Lingsi.
Fatiah dan Billa bergantian masuk ke kamar mandi, setelahnya di susul Lingsi dan terakhir Lail.
“Ya Allah, masih ngantuk ihw...” Lail langsung menutup mulutnya yang tiba-tiba lancang terbuka. Dengan mata yang makin menyipit, Lail menggoyangkan sedikit kepalanya kanan-kiri, berharap rasa ngantuknya segera hilang dan segera melaksanakan salat subuh yang kesiangan.
“Bil, maaf ya, aku tadi gak ke bangun,”
“Iya gak pa-pa, aku juga lesu mau jogging. Tapi pengen keluar, pengin beli gorengan.”
“Kuy lah, ke depan beli gorengan.”
“Iah, aku pinjam jaket kamu ya? Malas banget mau ganti baju panjang.”
“Iya, pinjam aja,” sahut Fatiah yang kini tengah mengenakan rok panjang.
Bila meraih jaket kanvas mocah yang tersampir di belakang pintu kamar. Bila tersenyum kecil saat menggunakan jaket berkancing banyak yang terlihat manis tapi juga cool dalam waktu bersamaan, dengan aksen bagian lengan yang dibuat terlipat di bagian ujung seolah kepanjangan, ditambah dua kantong besar di bagian kanan kiri. Sedangkan di bagian belakang terdapat bordiran bertuliskan Af yang berukuran sedang tidak terlalu terlihat mencolok tapi menambah kesan cool si pengguna.
“Kenapa senyum? “tanya Fatiah bingung. Senyum Billa lebar saat melihat rok berwarna pink muda yang Fatiah kenakan.
“Gak, aku keingat aja pas pertama kita ketemu. Aku ngiranya kamu tomboy yang anti warna pink.”
Senyum juga ikut terbit di wajah Fatiah. “Kan gara-gara jaket ini kamu bilang aku tomboy, terus kamu ngira aku anak kekinian yang selalu OOTD. Padahal mah, boro-boro.”
“Gimana aku cocok gak pake jaket ini? “Billa berpose bak preman yang garang.
Fatiah terkekeh, alis tebal dan mata tajam Billa sangat mendukung untuk aksinya itu.
“Eh, mau ke depan ya? “tanya Rani. “Ana nitip ya. Tempe dua, tahu satu sama bala-bala dua. Ini uangnya sekalian bayar seblak yang kemarin ya, Bil.”
“Oke makasih, Mbak. Lingsi, Lail mau nitip juga gak? “
“Gak deh, aku ngantuk mau bobok,” sahut Lail yang kembali merebahkan tubuhnya setelah melipat mukena dan sajadah.
“Lingsi? “
“Nanti aja aku.., mau ngerjain tugas dulu,” sahut Lingsi yang sekarang berkutat dengan buku.
“Ih aduh, beli aja gorengan, ngerjain tugas sambil nyemil enak tahu, biar tugasnya cepat kelar,” sahut Rani yang kini tengah senam pemanasan ala-ala, biar gak lesu menjalani hari.
“Iya sih, Kak, tapi entar malah gak fokus atuh,” sahut Lingsi.
“Ya udah kalo gitu kita pergi dulu ya.”
“Eh, jangan lupa isi absen keluar.”
“Iya, Mbak.”
“Enak ya keluar pagi-pagi gini, udaranya enak banget masuk ke paru-paru gak kayak biasanya banyakan asap sama debu, terus embun pagi juga masih ke rasa banget.”
Fatiah terkekeh. “Lebay deh. Tiap hari kan kita keluar pagi buat ke sekolah.”
Billa mengaruk tengkuk kepalanya, refleks. “Ih kamu mah, kan pura-puranya tuh kita lagi santai-santai pagi gitu.”
“Sa ae nih.”
“Soalnya kan kita jarang banget ngumpul kalo ahad gini. Biasanya kita pada pergi ke pondok atau balik ke rumah masing-masing.”
“Iya, ya...” Fatiah memandang dalam jalan beraspal yang mereka lalui. “Kadang bahagia itu gak perlu hal mahal ya, kayak gini aja rasanya Udah bahagia banget.”
“Iya benar bangat. Bisa ngerasiin nikmatnya makan gorengan tuh udah bahagia banget. Coba kalo lidah kita sariawan atau tiba-tiba mati rasa, makanan seenak apa pun gak akan jadi enak.”
“Kita emang harus banyak bersyukur. Nikmat gak melulu soal uang dan kekayaan, tapi nikmat sehat, bisa jalan, bisa liat, bisa makan, itu nikmat besar yang gak akan bisa dibeli.”
“Eh, kesambet apa nih, kenapa tiba-tiba kita jadi bijaksana.”
“Iya, soalnya cerita ini butuh di sisipin nasehat biar yang baca dapat faedah. Gak sekedar ha-ha-hu doang.”
“Apaan sih, Iah. Lagian siapa juga mau baca.”
“Pasti ada lah, setiap cerita pasti menemukan pembacanya.”
“Wadidau.... berat nih. Lagi menghibur diri ya? Emang kenapa? Web baca kamu sepi ya? “
“Ya, biasalah... cerita yang berbobot kadang sulit menemukan pembaca yang berbobot. Aku masti banyak belajar, cerita aku masih banyak monotonnya. Mau belajar buat cerpen dulu deh.”
“Go fighting ya...”
Fatiah tersenyum kecil, ekor matanya tanpa sengaja melirik ke arah belakang dan saat itu juga mata Fatiah membesar. Fatiah mengerjap, memastikan bahwa matanya tidak salah. Dan benar. Itu yang Fatiah takutkan.
Fatiah langsung menarik tangan Billa mengikuti langkah panjang semi berlari. Billa yang tidak mengerti apa-apa menatap heran, namun tidak protes dan mengikuti saja.
“Eh, kita mampir di sini dulu ya, aku lagi pengen ketoprak,” Fatiah beralibi untuk bisa masuk ke dalam warung sederhana yang setidaknya mampu menyembunyikan dirinya dari objek yang sekarang sudah melewati mereka.
“Bisa gawat kalo dia liat aku,” gumam Fatiah, matanya sibuk mengamati sekitar, mengabaikan bibi ketoprak yang sudah berulang kali menanyakan berapa cabe yang Fatiah mau.
Billa menepuk pelan bahu Fatiah. Fatiah terperanjat, menatap bingung Bila yang kini mengangkat satu alisnya naik. Billa tidak mengerti kenapa Fatiah tiba-tiba menjadi gugup, matanya bergerak cepat, berusaha menghindari kontak mata dengannya.
“Jadi? “
“Ha? Jadi apa? “tanya Fatiah panik.
“Cabenya? Mau berapa biji? “
“Aahh...” Fatiah mengangguk-ngangguk kecil, nampak tidak penting, namun setelah itu raut cemas langsung sirna dari wajahnya.
“Hm, tiga aja, Bu,” kata Fatiah.
“Bungkus, Neng? “
“Gak, Bu. Makan di sini,” sahut Fatiah. “Gak papa kan, Bil? “
“Iya, sok atuh. Aku temenin.”
“Eh, kamu gak pesen juga? “
“Gak.”
“Suka ketoprak, kan? “
“Suka.”
“Bu, pesen satu lagi ya. Makan di sini juga.”
“Eh, kok? “
“Udah gak pa-pa, kan aku yang ngajak kamu ke sini.”
“Eh, tapi—“
“Neng, cabenya berapa biji? “
“Tuh, Bil, berapa biji? “ tambah Fatiah.
Billa nampak tidak enak. Dia sudah banyak menyusahkan Fatiah, tapi juga tidak enak untuk menolak pesanan yang sudah dibuatkan. “ Dua aja deh, Bu.”
“Siap Neng.”
“Makasih, Bu.”
Fatiah dan Billa menarik kursi. Mereka duduk bersebelahan. Fatiah hanya beralibi sekali lagi untuk menghindari objek itu, Fatiah takut, jika mereka langsung keluar dari warung ketoprak, kemungkinan untuk bertemu lagi sangat besar. Setidaknya dengan waktu cukup lama, dia akan segera pergi.
“Kenapa? “ Billa bingung melihat senyum lega terbit di wajah Fatiah.
“G-gak, itu...”
“Ada apa sih di luar? Perasaan kamu liat ke sana terus.” Billa mengikuti arah pandang Fatiah, tapi tidak menemukan apa pun, selain jalan yang kosong.
“Gak ada apa-apa sih.” Senyum Fatiah mendadak berubah canggung.
“Iah, selagi nunggu gorengan, mending aku beli gorengan di sebelah deh. Kasihan Mbak Rani, entar makin lama nungguin.” Billa bangkit, Fatiah hendak mengikut tapi segera Bila hentikan.
“Kamu di sini aja, Iah. Biar aku ke sana sendiri. Gak enak kalo ketopraknya datang, gak ada orangnya.”
Billa pergi.
Sesuai dengan prediksi Billa, ketoprak di antar lima menit setelah Billa pergi.
“Ini ketoprak yang cabenya tiga dan ini yang dua.”
Fatiah menggeser ketoprak milik Billa, di sisi kanan mejanya. “Makasih ya, Bu.”
“Sama-sama, Neng.”
Fatiah menyendok ketoprak berisi sayur-sayur mentah ke dalam mulutnya. Aroma kacang goreng yang di perwangi bawang goreng selalu berhasil menambah nafsu makanannya untuk makan lagi dan lagi.
“Aneh, banget.” Billa menghentak kakinya pelan, sebelum duduk di kursi sebelah Fatiah.
Fatiah mengangkat kepalanya, “Udah beli gorengnya? “
“Udah,” jawab Billa singkat sembari meletakan kresek putih di meja.
“Ini ketoprak kamu.” Fatiah menggeser piring tepat di hadapan Billa. Fatiah merasa ada sesuatu yang tadi mengganggu Billa.
“Makan dulu, Bil. “
Billa tertegun sesaat sebelum menghela nafas panjang, mengambil sendok dan mulai memasukkan potongan sayur mentah ke dalam mulutnya. Awalnya seperti tidak berselera, setelahnya wajahnya yang menegang mulai luluh larut menikmati sepiring ketoprak.
“Ramai banget ya di sana?” tanya Fatiah, mencoba mengulik alasan rahang Billa tadi mengeras.
“Gak juga sih....” Billa menggeleng pelan, terlihat sudah nampak tenang dari sebelumnya. “Cuman tadi ada yang bikin dongkol banget, tadi ada cowok yang nundu aku maling jaket kamu ini.”
“Ha?” sendok spontan lepas dari tangan Fatiah, mengenai piring hingga menimbulkan sedikit dentingan pelan.
“Iya. Masa dia bilang, jaket ini gak mungkin punya aku. Iya emang bukan punya aku sih, tapi kan aku pinjam sama kamu, bukan maling.”
Fatiah menelan ludahnya susah payah. “Siapa?”
“Gak tahu aku. Gak jelas banget tuh orang.”
Fatiah bisa sedikit bernafas lega.
“Terus dia bilang, kalo jaket ini cuman punya Er.”
Deg!
“Er, er apaan coba? Ada nama orang Er. Aneh banget.” Pipi Billa mengembung sesaat sebelum kembali memasukan sendok ke dalam mulutnya.
***