Hari-hari Atlas seperti biasa-biasa saja tidak ada perubahan sejak beberapa tahun silam saat dia ditinggalkan wanita yang paling dia cintai di muka bumi ini.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB, di mana biasanya para anak pelajar sudah bersiap dengan pakaian sekolahnya. Akan tetapi, berbeda dengan Atlas, lelaki itu masih setia dengan mimpinya padahal jam wekernya sudah berbunyi sedari tadi.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terpaksa membuat ke dua kelopak matanya yang tertutup itu terbuka. Dia berdecak kesal sembari menuruni kasurnya. Dengan wajah yang masih berantakan, dia membukakan pintu untuk sang tamu.
“AAAA!”
Suara teriakan itu membuat kantuknya hilang hanya dalam hitungan detik . Atlas menatap datar pada gadis yang sedang berdiri di depannya dengan tangan menangkup wajahnya.
“Siapa lo?” tanya Altas dengan nada yang datar. Gadis itu tidak juga membuka ke dua telapak tangannya yang dia gunakan untuk menutupi matanya.
Atlas berdecak kesal. Dia memaksa gadis itu untuk membuka tangannya “Buka! Gua nggak telanjang kali.”
“Tapi kamu nggak pakai baju, terus itu apa namanya kalau bukan …” Gadis itu menghentikan ucapannya. Ke dua pipinya sudah seperti tomat matang sekarang. Untunglah tekapak tangannya itu menyemalatkannya.
“Mau apa lo? ganggu orang lagi tidur aja.”
Gadis itu masih diam. Atlas semakin menatap tidak suka ke arah gadis itu
“Lo sekolah di HSS?” tanyanya dengan alis yang terangkat satu. Setelah meneliti seragam yang dipakai gadis asing itu, barulah Atlas berani menyimpulkan.
“HSS itu apa?” tanya gadis itu masih dalam posisi yang sama.
“Buka tangannya!” perintah Atlas semakin tegas.
“Tapi kamu harus pakai baju dulu, nggak sopan tahu buka baju di depan anak gadis,” ucap gadis itu dengan nada yang sedikit menaik.
Atlas kembali berdecak kesal, seumur hidupnya dia baru menemukan gadis yang sebawel itu. Tubuhnya memang sangat atletis, semua gadis pasti akan mendekat kepadanya. Akan tetapi gadis ini berbeda.
“Mungkin dia nggak normal,” gumamnya di dalam hati.
“Tunggu sebentar,” ucap Atlas lalu menutup kembali pintu apartemennya.
Gadis yang masih setia berdiri di depan pintu itu pun menghela napasnya pelan. Jujur saja, jantungnya seperti ingin melompat saat melihat Atlas tidak mengenakan pakaian atas, hanya menggunakan celana pendek di atas lutut.
“Udah.”
Suara datar itu kembali terdengar membuat kepala gadis itu yang awalnya menunduk kembali mendongak. Gadis itu tersenyum saat melihat Atlas sudah rapi dengan pakaian seragamnya. Namun, dia menemukan kejanggalan.
“Kamu nggak mandi ya?” tanya gadis itu menatap Atlas penuh tanda tanya. Pasalnya wajah Atlas masih sama seperti awal mereka bertemu. Tidak ada perubahan. Tetap berantakan.
“Berisik. Sebenernya lo itu mau apa?” tanyanya masih dengan wajah yang sama.
Gadis itu mengulurkan tangan kanannya. “Kenalin aku Lyra. Kamu Atlas ‘kan?” Gadis bernama Lyra itu masih tersenyum, di saat uluran tangannya diabaikan begitu saja oleh Atlas.
Atlas berdecak kesal. Dia paling tidak suka jika ada orang yang bertele-tele. Itu sama saja membuang waktunya secara percuma.
Atlas melenggang pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun. Lyra yang menyaksikan kepergian Atlas pun menampilkan wajah sedih. Gadis itu mengepalkan tangannya yang terulur, lalu diturunkan secara perlahan.
Kakinya yang mungil mulai menyusul langkah Atlas yang kian menjauh. Meskipun Atlas tidak menerima kehadirannya, tetapi dia berusaha untuk bisa membuat Atlas kembali.
Bruk!
“Atlas, kok kamu mau berhenti nggak bilang Lyra sih,” protes Lyra yang sudah jatuh tersungkur ke bawah. Lututnya mengeluarkan sedikit darah. Namun, Atlas tidak ada tanda-tanda ingin membantunya berdiri.
Rasanya Lyra ingin menangis di tempatnya terduduk, tetapi dia mencoba menahannya karena dia tahu Atlas tidak menyukai gadis yang cengeng seperti dirinya. Lyra juga tidak ingin Atlas akan semakin membenci dirinya.
Lyra beranjak dari duduknya, lalu menghela napasnya pelan. Sebelum kembali mengejar Atlas, dia merapihkan terlebih dahulu baju seragamnya yang sempat berantakan. Berusaha untuk menarik sudut bibirnya untuk membentuk sebuah lengkungan senyum yang indah agar semua orang melihatnya sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Lyra Onike Elfredo, dia adalah gadis yang periang serta manja, semua yang dia inginkan harus ada di depan mata hanya dalam hitungan menit. Putri tunggal dari pasangan suami istri Elvan Artides Elfredo dan Astrid Elfredo itu memang sangatlah manja, tetapi Lyra juga sangat pandai menutupi kesedihannya sendiri.
Lyra merupakan siswi baru di SMA Hingh Silverword School karena ke dua orang tuanya berpindah tugas.
“Atlas, kita berangkat bareng ya,” ucap Lyra yang sudah duduk di atas motor ninja kesayangan Atlas.
Betapa mudahnya badan Lyra menaiki motor ninja Atlas yang terbilang cukup tinggi untuk ukuran badannya yang mini.
Lelaki itu berdecak kesal saat gadis bibit-bibit pembawa sialnya kembali datang. Dia memakai pelindung kepalanya dengan wajah yang datar lalu memasang sarung tangannya. Atlas menaiki motor kesayangannya tanpa kata dan membiarkan Lyra ikut bersamanya.
“ATLAS, JANGAN KENCENG-KENCENG, NANTI KALO LYRA JATUH GIMANA?!”
Atlas menghentikan motornya secara mendadak sampai membuat Lyra terhuyung ke depan. Gadis itu ingin kembali melayangkan protes, tetapi saat Atlas turun dari motor ninjanya. Bibir Lyra kembali tertutup.
“Turun!” perintah lelaki itu dengan nada yang datar.
Lyra masih tidak mau beranjak dari tempatnya. “Nggak mau. Lyra mau ikut Atlas ke sekolah.” Gadis itu tetap pada keras kepalanya.
Atlas mengepalkan tangannya. Wajah yang tertutup dengan helemnya itu sudah memerah menahan amarah. Dia tidak tahu siapa gadis yang sedang duduk di atas motornya. Tiba-tiba saja dia datang dan mengacaukan awal hari yang dimiliki Atlas. Jika saja dia bukan wanita, mungkin saat ini sudah dibawa oleh ambulance.
“Gua bilang turun!” nada Atlas semakin tidak bersahabat. Rahangnya semakin mengetat. Otot di sekitaran lengannya pun sudah menonjol. Itu menandakan bahwa sebentar lagi amarah Atlas akan meledak.
Lyra masih saja menggeleng. Hingga pada akhirnya kesabaran Atlas mulai hilang. Lelaki itu menurunkan Lyra secara paksa.
“Ihh Atlas, Lyra nggak mau turun di sini. Sekolah kita ‘kan masih jauh!” gadis itu menghentak-hentakkan kakinya kesal. Ke dua sudut matanya mulai berair, tetapi Atlas tidak mempedulikan itu.
Atlas kembali menaiki motor ninjanya lalu kembali melaju kencang tanpa mengatakan salam perpisahan untuk Lyra yang dia tinggal.
Gadis dengan seragam sekolahnya itu menangis di tempatnya. bisa-bisanya Atlas tega sekali meninggalkan gadis yang tidak tahu apa-apa seperti Lyra begitu saja.
Lyra merogoh saku baju seragamnya untuk mengambil benda pipih itu dari dalam sana. Jari jempolnya manari lincah di atas layarnya. Dia menunggu beberapa saat lalu ojek online yang dia pesan sudah berada di depan mata.
“Alamat yang di aplikasi sesuai dengan tujuan ya Neng,” ucap abang ojol itu.
Lyra mengangguk semangat. “Iya, Bang. Ayo cepat kita berangkat, Lyra udah hampir terlambat ini.”
Lalu ojek online yang Lyra tumpangi berjalan membelah jalanan kota yang sudah mulai terasa panas. Matahari tidak malu-malu menampakkan sinarnya. Sesekali Lyra mendongak menatap langit yang begitu cerah sampai tidak ada awan yang menggumpak di atas sana. Lyra memposisikan tangan kanannya tepat di depan wajah, mencoba menghalau sinar matahari agar tidak menyorot langsung mengenai wajahnya.
Motor ojek online yang Lyra naiki pun telah sampai di depan pintu gerbang sekolahnya, Lyra tersenyum bahagia akhirnya bisa kembali melihat gedung itu.
“Terima kasih ya, Bang.” Lyra tersenyum sembari menyerahkan uang untuk membayar ojek online itu.
“Sama-sama, Neng.” Lalu motor yang dikedarai oleh lelaki berjaket hijau itu telah menjauh.
Kaki Lyra yang mungil bergerak-gerak kecil melangkah maju memasuki pintu gerbang yang menjulang tinggi. Untung saja gadis itu masih bisa masuk ke dalam.
Semua mata tertuju pada gadis mungil itu, wajahnya yang cantik, dan kulitnya putih bersih membuat para gadis yang melintas menatap Lyra iri.
Sayup-sayup gadis itu mendengar suara keributan, tetapi saat dia ingin berbalik badan dan mencari sumber suara, tiba-tiba saja bel masuk berbunyi mengakibatkan Lyra harus bergegas mencari di mana ruang kelasnya berada.