“WOY! PUNYA MATA NGGAK LO?!”
Suara teriakan itu menggema di dalam kantin sekolah. Semua orang menatap kearahnya, tetapi dia tidak peduli. Ke dua matanya menyorot tajam pada salah satu siswa yang tidak sengaja menumpahkan minuman coca cola sampai mengenai baju seragamnya.
“M-maaf, gu-gua ng-ngak sengaja,” ucap siswa itu terbata-bata. Kepalanya menunduk takut saat Atlas semakin memberinya tatapan membunuh.
Lyra yang berada di tempat yang sama pun menghampiri Atlas. Gadis kecil dan manja itu berdiri tepat di depan Atlas yang sedang duduk di atas meja kantin.
“Atlas, turun! Nggak sopan tahu duduk di atas meja,” ucap Lyra sembari menatap Atlas penuh peringatan.
Atlas memicingkan sebelah alisnya, wajahnya semakin tidak bersahabat saat melihat Lyra di depan matanya. Gadis yang sempat mengusik kehidupannya beberapa jam yang lalu. Kedatangan Lyra membuat Atlas semakin muak.
“Urusan lo apa?” tanya Atlas sembari meneguk minumannya sampai tandas.
“Kamu nggak pa-pa?” tanya Lyra pada siswa yang tidak sengaja menumpahkan minumannya sampai membuat pakaian Atlas basah. “Kamu pergi aja, biar dia, aku yang urus,” sambungnya. Lalu Lyra menatap Atlas dengan berani.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini?” Lyra menatap Atlas sendu. Namun, berbeda dengan Atlas, dia semakin memberikan sinyal kebencian.
“Dari pada lo bacot di depan gua, lebih baik lo pergi!” perintah Atlas, nadanya masih terbilang wajar. Akan tetapi, perintah itu tidak membuat Lyra menyerah.
“Lyra nggak akan pergi sebelum Atlas ikut Lyra!” gadis itu tidak bergeming dari tempatnya.
Atlas semakin mengeratkan rahangnya. Kepalan tangannya semakin menguat. Semua orang yang berada di sana sudah diam kaku. Mereka tahu apa yang selanjutnya akan dilakukan Atlas.
“PERGI!”
Lyra memejamkan matanya saat teriakan itu menusuk indera pendengarannya. Hampir saja air matanya luruh, tetapi gadis mungil mencoba untuk menahannya.
“Apa ini?!”
Sorang siswi dengan rambut setengah ikal menghampiri keribuatn yang sedang terjadi. Ke dua matanya membidik tajam ke arah Atlas si pelaku pembetakan sampai membuat tubuh Lyra diam kaku di tempatnya.
Amathea Rajendra Mahatma namanya. Siswi yang juga memiliki keberanian lebih seperti Lyra yang berani menentang langsung tindakan Atlas yang semakin kelewat batas. Akan tetapi, gadis yang akrab disapa Thea itu tidak secengeng dan tidak serapuh Lyra, karena dia sedari kecil sudah diajarkan bagaimana bertahan hidup ditengah-tengah kerasnya kehidupan kota.
Thea menarik pergelangan tangan Lyra, gadis mungil itu masih diam kaku dengan pandangan yang kosong. Pasalnya baru pertama kalinya dia dibentak seperti itu.
Sedangkan si pelaku, dia tetap diam tenang di atas meja seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Thea semakin membenci sosok Atlas. Dia memang tampan dan berkarisma, tetapi tingkahnya melebihi sikopat gila membuat teman-teman sebaya meninggalkan lelaki itu.
“Lo emang butuh karma, Atlas!” ucap Thea. Tatapannya memancar tajam.
Atlas terkekeh mengejek. “Tau apa lo soal karma?”
“Lo!” Thea mengepalkan tangannya bersiap ingin memukuli wajah Atlas sampai tidak berbentuk. Namun, Lyra yang sedari tadi diam itu kini bereaksi.
“Lyra mohon sama kamu, jangan sakiti Atlas,” ucapnya dengan wajah yang lirih dan tatapan memohon.
Thea berdecak kesal. Dia tidak habis pikir ada gadis sebodoh Lyra yang mau melindungi laki-laki yang sangat jelas sudah melukai hatinya tadi.
“Ikut gua!”
Thea menarik pergelangan tangan Lyra sampai menjauh dari area kantin. Niat awalnya ingin mengisi perut pun tertunda. Lagi-lalgi hanya karena ulah Atlas yang tidak pernah berubah.
“Siapa dia?” tanya Drew yang baru saja datang. Lelaki itu sudah ada sejak pertengkaran terjadi, tetapi dia tidak ingin muncul ke permukaan karena tidak mau kembali bertengkar dengan Thea.
“Nggak tau,” jawab Atlas sekenanya. Lalu lelaki itu beranjak dari tempatnya duduk untuk meninggalkan kantin sekolah.
***
Sementara itu di tempat Lyra dan Thea. Ke dua gadis itu sudah duduk di bangku kelasnya. Sedari tadi Lyra masih sesegukan, menangis karena ulah Atlas yang keterlaluan.
“Lo nggak tau kalo Atlas sekasar itu apa? Anak baru jangan bikin ulah sama dia,” ucap Thea mencoba menasehati. Meskipun nada gadis itu tidak selembut kebanyakan orang saat memberi nasehat, tetapi dia cukup peduli dengan keberadaan Lyra.
“Tapi kan perdamaian itu lebih indah, Thea. Kenapa harus pakai cara kekerasan? Lyra nggak suka!” gadis itu semakin menangis, sampai-sampai ke dua gadis itu menjadi pusat perhatian siswa/siswi yang sedang berada di dalam kelas itu.
“Apa lo! nggak ada kerjaan lain selain ngupingin orang!” sarkas Thea dan berhasil membuat semua mata yang tertuju padanya mengalihkan pandangannya.
“Otak lo sama otak Atlas itu beda jauh. Bahkan jauhnya antara bumi dan langit ke tujuh, Lyra. Ngerti dong! Atlas itu anaknya keras, kasar, brutal, sudah diatur. Dia nggak akan mungkin dengerin lo!”
Kata-kata Thea bagaikan tamparan untuk Lyra. Apa yang dikatakan Thea memang benar adanya. Akan tetapi, Lyra sudah berjanji pada dirinya sendiri dia pasti bisa mengubah Atlas seperti dulu lagi.
“Tapi …”
“Lo anak baru di sini, jangan sampai Atlas nonjok cewek untuk pertama kalinya!”
Lyra kembali diam sampai jam terakhir dimulai. Pikirannya masih tertuju pada Atlas, karena lelaki itu sejak awal jam terakhir dimulai sampai hampir selesai lelaki itu tidak menampakkan batang hidungnya.
“Kemana Atlas?” tanyanya di dalam hati. Ke dua matanya selalu mengarah pada bangku belakang yang kosong di mana tempat itu biasanya Atlas duduk saat jam mata pelajaran.
“Lyra, kamu kenapa?” tanya Leda menatap gadis itu bingung.
“Ah, saya nggak pa-pa kok Bu,” jawabnya lalu kembali fokus ke depan.
“Lo nyariin Atlas?” tanya Thea sedikit berbisik.
“Kok Thea bisa tahu?” tanya Lyra menatap Thea dengan kening yang mengerut.
Thea diam. Dia memilih untuk mengabaikan pertanyaan Lyra dan kembali fokus pada mata pelajaran terakhir. Tidak terasa bell pulang sekolah telah berbunyi, semua siswa/siswi berbondong-bondong keluar dari kelas masing-masing untuk menuju parkiran sekolah.
“Lyra!”
Thea mencekal pergelangan tangan Lyra saat gadis itu ingin meninggalkan kelasnya. Lyra menatap Thea bingung.
“Iya kenapa? Barang-barang Lyra ada yang ketinggalan ya?” tanyanya sembari kembali memeriksa barang bawaanya.
Lyra mendongak dan sudah mendapati wajah Thea yang berubah datar.
“Barang Lyra nggak ada yang ketinggalan kok,” jelasnya. Wajah Lyra yang polos semakin membuat Thea dibuat kesal.
“Gua bukan nanyain barang bawaan lo. Di sini gua mau ngomong sesuatu sama lo.”
Thea menarik pergelangan tangan Lyra dibawanya ke salah satu tempat yang Lyra tidak tahu. Tempat itu gelap dan menyeramkan. Debu dan bau tembakau sangat tercium jelas. Samar-samar Lyra melihat asap yang mengudara.
“Apa ada kebakaran?” tanya Lyra wajahnya tiba-tiba saja tegang.
Thea menghentikan langkahnya, menatap gadis polos itu jengah. “Nggak ada kebakaran di sini, Lyra. Lo bisa diem ‘kan?”
Lyra mengangguk polos, “Bisa kok, nih buktinya diem.” Gadis itu sembari menunjukkan bibirnya yang terkatup rapat.
Thea kembali menghela napsnya kasar. Lelah sekali menghadapi sikap kekanakan Lyra. Lalu dia kembali melangkah semakin masuk ke dalam ruangan asing itu.
“Tuh liat!” perintahnya.