Bab 1

1245 Words
Hingh Silverword School Keadaan di sekolah ternama itu tidak akan pernah berubah selama masih ada anak murid yang selalu membuat keributan. Seperti setiap pagi yang terjadi di sekolah elit itu hanyalah kabar tawuran dan kekerasan yang diakibatkan dari salah satu muridnya. “Apa kamu sudah lelah berada di sekolahan ini, Atlas?” Mikko, lelaki itu adalah kepala sekolah Hingh Silverword School sejak dua tahun terakhir setelah lengsernya kepala sekolah yang sudah sepuh. Berharap kekerasan dan gosip tawuran itu akan mereda setelah Mikko menjabat sebagai kepala sekolah. Akan tetapi, keadaan tidak ada yang berubah, justru semakin bertambah parah. Atlas Austin Dewson, dia adalah murid yang selalu membuat Mikko dan para guru lainnya merasakan pening saat menghadapi tingkah lakunya yang sulit sekali untuk diubah. Bahkan semua guru nyaris menyerah. “Mereka yang salah Pak, lalu apa saya harus diam seperti lelaki dunggu?” tanyanya. Kepalanya mendongak seolah tidak ada rasa takut lagi di dalam diri lelaki itu. “Saya tidak melarang kamu untuk membela yang benar, Atlas. Tetapi cara kamu itu salah.” “Saya selalu salah di mata Bapak dan semuanya yang ada di sini,” potong lelaki itu cepat membuat Mikko terdiam. “Karena tingkah laku kamu memang sudah tidak bisa kami percaya.” Atlas menghela napasnya kasar, lalu dia beranjak dari tempatnya duduk. Lelaki itu bosan selalu saja bila mendengar semua orang menyeramahinya hanya karena masalah sepele. “Atlas, mau ke mana kamu?” tanya Mikko sedikit menaikkan nada suaranya. Namun, sepertinya sia-sia saja. Teriakan itu tidak membuat langkah Atlas menghentikan langkahnya. Mikko menghela napasnya kasar, lelaki itu sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa setelah mendengar kabar bahwa salah satu muridnya telah melukai siswa sekolah lain hanya karena kesalah pahaman. *** “Lo diapain sama Pak Mikko?” tanya Drew sembari menghisap batang  rokoknya lalu asap tebal itu mengudara setelah dihembuskan lewat mulutnya. Drew Jorell Avram, dia merupakan teman sekaligus sahabat Atlas yang paling dipercaya dan satu-satunya orang yang bisa mengerti keadaan Atlas. “Biasalah,” jawab Atlas nampak acuh dengan masalah kehidupannya. Tidak menjadi hal yang dirahasiakan lagi jika Altas memang masa bodoh dengan kehidupannya. Bahkan dia bisa menjalani kehidupannya tanpa tujuan. “Emang lo ada masalah apa sih?” “Biasa lah, anak sekolah sebelah sok jagoan sama gua.” Ke dua lelaki itu menghisap batang rokoknya masing-masing. Aroma tembakau sangat tercium jelas di sana. “Emangnya lo ngapain anak itu?” “Nggak gua apa-apain sih, cuma gua pecahin aja kepalanya. Itu suatu hal yang wajar ‘kan?” Atlas bertanya sembari menatap Drew yang duduk di sampingnya dengan tatapan polos. “Menurut gua sih wajar, bahkan lo lebih kejam dari itu,” jawab Drew seringan kapas. Atlas menganggukkan kepalanya dan kembali menghisap batang rokoknya. Hari memang masih pagi, bahkan sinar matahari masih terasa hangat. Seharusnya Drew dan Atlas mengikuti pelajaran pagi ini. Namun, keduanya memilih untuk meninggalkan kelas dan bersantai di tempat biasa mereka berdua berkumpul sembari menghisap batang tembakau.  Drew dan Atlas memang dua siswa yang bandal dan tidak taat aturan, tetapi ke dua lelaki itu sangat anti memakai barang terlarang. Keduanya tahu mana yang sehat mana yang tidak sehat untuk tubuh. Namun, di antara ke dua lelaki itu, Drew lah yang paling beruntung. Keluarga yang lengkap, serta orang tua yang sangat bertanggung jawab. Sedangkan Atlas, bahkan lelaki itu tidak pernah tahu apa itu bentuk kasih sayang. “Lo mau ke mana?” tanya Drew setelah keheningan terjadi cukup lama. “Cabut,” jawab Atlas sembari memakai kembali tas ranselnya. Batang tembakau yang sedari dihisap kini sudah habis. “Tumbenan lo mau cabut. Ada masalah sama bokap lo?” Atlas menggeleng. “Enggak. Gua mau balik ke apartemen. Lo mau ikut?” Cukup lama Drew terdiam akhirnya lelaki itu mengangguk. “Boleh deh. Tapi sebelum itu kita belanja dulu ya, pasti di lemari pendingin lo nggak ada apa-apa.” Atlas tersenyum kaku. “Tau aja lo kalo dompet gua lagi miskin.” Drew langsung merangkul pundak Atlas. “Apa sih yang gua nggak tahu dari lo?” “Jijik gua.” Lalu ke duanya tertawa bersama seolah tidak ada beban. Ke dua lelaki itu berjalan beriringan. Sekilas memang tidak ada yang salah dari ke duanya. Tetapi, mereka berdua adalah murid paling bandal dan brutal di sekolahnya. Semua nilai mata pelajarannya pun hancur. Sampai-sampai pihak sekolah tidak tahu harus meluluskan mereka berdua atau tidak. *** Sesampainya Drew dan Atlas di apartemen. Ke dua lelaki itu langsung masuk ke kamar Atlas tempat biasa di mana mereka menghabiskan waktu bersantai dan saling berbagi cerita. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui masalah Atlas kecuali Drew. “Gua ke dapur dulu ya ambil minum,” ucap Drew lalu lelaki itu beranjak dari tempatnya duduk. Di kamarnya, Altas hanya seorang diri, kamar yang berantakan penuh dengan sampah plastik makanan cepat saji berserak memenuhi lantainya. Dia membereskan tempatnya meskipun malas. Dia tidak ingin acaranya mengobrol menjadi terganggu dengan sampah-sampah plastik itu. Sembari menunggu Drew kembali, Atlas membuka laci meja belajarnya lalu mengambil sesuatu sebuah bingai foto dari dalam sana. Seketika hatinya berdenyut nyeri bagaikan ribuan tombak runcing yang menancap bebas di dadanya. Seorang wanita tersenyum bahagia di foto itu, tatapan matanya begitu teduh. Atlas merindukan sosok itu. Sosok yang akan selalu Atlas kenang seumur hidupnya. Krek. Derit pintu kamar Atlas terdengar, membuat lelaki itu cepat-cepat menghapus air matanya yang sempat menggenang di pelupuk matanya. Drew turut bersedih bila melihat Atlas kembali terpuruk seperti itu. “Sampai kapan lo kaya gini?” tanya Drew sembari menyodirkan menuman kaleng yang dia ambil dari dapur. Atlas menerima minumkan tersebut lalu di tenggaknya sampai isinya tinggal setengah. Lelaki itu menghela napasnya pelan. Sejenak dia kembali membuka memori kebahagiaan di dalam hdiupnya. Memori yang tidak pernah dia lupakan sepanjang dia hidup nanti. “Kematian nyokap lo adalah sebagian dari takdir, Atlas,” ucap Drew mencoba mengembalikan semangat hidup sahabatnya itu. “Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa membuat hari gua bahagia, Drew. Tanpa dia hidup gua hampa. Kematiannya membuat separuh jiwa gua juga mati. Ketiadaanya membuat semua yang ada di dalam diri gua ikut menghilang. Gua ini hidup, tapi bagaikan mati. Gua nggak tahu kemana gua harus pergi, masa depan yang gua rancang sejak kecil hilang begitu saja tanpa jejak.” Atlas berjalan ke arah Drew dan duduk di sisi sebelah kiri lelaki itu. Atlas kembali murung, sejatinya lelaki itu hanya marah kepada dirinya sendiri dan takdir yang tidak berlaku adil kepadanya. “Atlas, gua tahu gimana hancurnya lo saat satu-satunya orang di dunia ini yang peduli sama lo meninggalkan dunia untuk selamanya. Tapi, apa lo pernah mikir, gimana sedihnya nyokap lo lihat anaknya seperti ini?” Drew terdiam sejenak. “Nyokap lo udah bahagia, Bro. Nggak lagi merasakan sakitnya terhianati.” Atlas kembali meneguk minumannya sampai tandas lalu kaleng yang kosong itu dilempar ke sembarang arah. Kamar yang telah bersih itu kembali kotor. Drew beranjak dari duduknya untuk memungut sampah kaleng yang Atlas lempar ke sembarang arah, lalu dibuangnya ke dalam tempat sampah. Drew duduk di kursi meja belajar milik Atlas. Lelaki itu menatap sahabatnya iba. “Meskipun nyokap gua udah nggak ngerasain sakit, tapi ingatan itu masih membekas diingatan gua, Drew!” “Udahlah, sekarang lo istirahat. Gua mau balik.” Drew membereskan barang-barangnya yang tertinggal di apartemen Atlas. “Hati-hati di jalan.” Atlas mengantarkan Drew sampai di depan pintu apartemennya. Setelah sahabatnya itu tidak terlihat lagi, barulah lelaki itu masuk kembali. Namun, langkahya sempat terhenti saat melihat seorang gadis yang tersenyum manis padanya. Akan tetapi, Atlas mengabaikan begitu saja seperti lelaki yang tidak mempunyai hati.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD