BAB 6. THE PREDATOR

1478 Words
Cikal melangkah cepat, memasuki sebuah gedung yang nyaris setiap hari dia kunjungi, rumah sakit Polri. Cikal mendapat kabar bahwa Savas menemukan sesuatu yang baru dari korban Moon Hunter. Maka dari itu, Savas meninggalkan lokasi monumen dan membiarkan Visakha yang melanjutkan penyelidikan bersama Bima. Savas adalah seorang dokter yang ditugaskan di kepolisian sebagai ahli forensik. Dari tangan Savas, muncul bukti-bukti yang sering digunakan pihak kepolisian untuk menemukan identitas pelaku dan kejahatan yang dilakukan. Savas juga yang menangani semua korban Moon Hunter sejak lima tahun yang lalu. Namun, meski sudah puluhan korban Moon Hunter yang dia tangani, Savas tak pernah bisa menemukan jejak yang ditinggalkan langsung oleh Moon Hunter, seperti sidik jari maupun sehelai rambut. Savas bilang jika Moon Hunter punya keterampilan luar biasa untuk menghilangkan jejak. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai peralatan medis, dan tentunya, laci-laci besar tempat mayat diawetkan. Ini lebih seperti ruangan bedah yang berada satu lokasi dengan kamar mayat. "Apa? Hal baru apa yang kamu temukan?" Cikal bertanya tanpa basa-basi. Ditatapnya Savas yang memasang wajah santai dan menenangkan. Tipikal seorang Savas. Mau segenting apapun situasi, atau seburuk apapun keadaan mayat yang datang, Savas tetap tenang dan terkendali. Hal itu juga mempangaruhi Cikal dan membuatnya bisa bernapas normal. "Kamu tahu sendiri kalau pita suara setiap korban Moon Hunter selalu dalam keadaan rusak karena mereka berteriak kesakitan akibat sayatan yang dilakukan Moon Hunter. Tapi, mayat ini berbeda." Savas memperlihatkan sebuah monitor yang menampilkan gambar kerongkongan sang korban. Dia menunjuk bagian pita suara dengan ujung pulpen. " Pita suara korban ini baik-baik saja." Savas kemudian menatap Cikal lekat. "Kamu pikir, kenapa korban yang ditemukan terakhir ini berbeda?" Kening Cikal seketika berkerut. Dia mengeluarkan sebuah spidol dari saku celana dan memutar-mutarnya untuk membantu tetap fokus. Otaknya menganalisa kemungkinan yang terjadi. Korban adalah seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun, bernama Ivan Oktavian, bekerja sebagai buruh di pertambangan emas. Dia ditemukan pada tanggal 24 Februari pukul dua dini hari, dengan mayat yang tergantung di monumen. Perkiraan kematian, tanggal 23 Februari pukul 10 malam. Cikal menatap Savas. Suasana di antara mereka mendadak seperti sebuah film aksi yang menegangkan. "Dengan cara apa korban di bunuh?" "Sama seperti yang lain, ditusuk jantungnya dengan sejenis pisau yang menyerupai keris dengan ukuran yang lebih kecil," balas Savas. "Jumlah syatan?" "Sekitar lima belas sayatan. Ditemukan di bagian wajah, perut, paha, betis, lengan dan telapak tangan." Mata Cikal berkilat. Dilihatnya tubuh mayat yang terbaring di ranjang dingin rumah sakit. Bibir Cikal menipis. Dia kemudian balik menatap Savas yang memasang ekspresi datar. "Kamu pernah bilang kalau Moon Hunter selalu menggunakan banyak jenis pisau untuk menyayat korbannya. Dia tahu persis bagian-bagian mana yang menimbulkan kesakitan paling banyak. Jadi, ada dua kemungkinan kenapa pita suara korban tidak rusak. Pertama, karena Moon Hunter sengaja memberikan sayatan yang hanya sedikit menimbulkan rasa sakit, atau kemungkinan kedua, korban sudah mati sebelum Moon Hunter selesai dengan permainan pisaunya. Bagaimana menurutmu?" Cikal menanyakan pendapat. Savas tersenyum tipis. Dia sudah enam tahun bekerja sebagai petugas forensik, dan lima tahun mengamati korban Moon Hunter, jadi, dia sudah sangat hafal dengan tabiat psikopat itu seolah mereka adalah teman lama. "Kupikir, itu karena Moon Hunter tidak suka dengan suara pria ini. Jadi, dia hanya membunuhnya tanpa berniat berlama-lama." Sebelah alis Cikal terangkat tinggi. Ucapan Savas memang ada benarnya, tapi Cikal tak terlalu yakin. Mana mungkin Moon Hunter menyia-nyiakan korban yang sudah dia dapatkan dengan susah payah? Dia pasti akan memuaskan hasrat psikopatnya yang gila itu. Hanya tinggal satu kemungkinan yang bisa Cikal pikiran. "Atau karena Moon Hunter kehabisan waktu. Sepuluh korban hanya dalam jangka waktu satu bulan pasti tidak mudah. Moon Hunter adalah tipe psikopat yang perfeksionis. Baru kali ini, dia berbaik hati pada korbannya." Cikal menghentikan putaran spidolnya. Dia menghela napas. "Aku khawatir jika Ivan adalah korban terakhir karena Moon Hunter sudah bosan bersenang-senang. Jika begitu, akan lebih sulit untuk menemukannya." "Psikopat bukan tipe orang yang akan berhenti membunuh." Savas beranjak ke arah mayat dan menutupinya dengan kain putih. "Mereka adalah predator, mereka punya insting alami untuk berburu. Satu-satunya hal yang membuat mereka berhenti membunuh adalah kematian mereka sendiri." Kening Cikal masih berkerut tanda dia sedang berpikir. Jika Cikal ingin menemukan predator, maka dia harus berpikir seperti predator. Sampai saat ini, Cikal belum tahu pasti alasan Moon Hunter membunuh korban-korbannya. Cikal tahu jika Moon Hunter menikmati rasa sakit korban-korbannya. Seperti kata Savas, psikopat gila itu juga menyukai suara teriakan kesakitan mereka. Jika Moon Hunter terobsesi dengan rasa sakit, kenapa dia tidak menyayat dirinya sendiri dan justru meminjam tubuh orang lain? Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul di otak Cikal. Dia menatap Savas dengan bola mata membulat. "Apa di dunia ini, ada orang yang tidak bisa merasakan sakit?" "Tentu saja. Itu adalah sebuah kelainan genetika langka. Penyakit itu disebut Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis. Ketidakmampuan seseorang untuk merasakan sakit dan suhu." Savas menatap Cikal lekat. "Aku memang sudah menduga jika Moon Hunter punya penyakit CIPA. Tapi, tidak cukup bukti sehingga aku tidak bisa memberitahukan kepadamu. Ini hanya sebuah prasangka." "Setidaknya dari prasangka-prasangka itu, pada akhirnya kita akan menemukan bukti." Cikal menaruh kembali spidolnya ke dalam saku celana. Kedua bola matanya tampak membara dipenuhi tekad. "Kalau begitu, kita harus menyelidiki semua orang yang memiliki kelainan CIPA di kota ini." "Tidak semudah itu." Savas menggeleng. Sepasang bola matanya menyorot serius. "Seorang dokter sudah disumpah untuk tidak membocorkan rekam medis pasien kecuali pada keluarganya yang berhak tahu." "Bahkan untuk penyelidikan?" Anggukan Savas membuat Cikal mengusap rambutnya, merasa frustrasi. Saat itulah ponsel Cikal berdering, ada sebuah panggilan dari Visakha. Cikal mengambil napas dalam-dalam sebelum mengangkat telepon. "Kuharap ini sesuatu yang penting." "Hasil analisis video sudah keluar. Itu adalah seorang pria berusia sekitar dua puluh tahun. Tinggi badan 160 dengan berat 75 kg. Ukuran sepatu 43. Sama seperti jejak sepatu yang kita temukan di beberapa lokasi pembuangan mayat." "Bagaimana dengan identitasnya? Sudah bisa ditentukan?" Jantung Cikal berdebar penuh antisipasi. Penyelidikan mereka seolah berhasil menemukan titik terang, tapi tetap saja. Cikal merasa bahwa perjalanan mereka masih panjang. Bahwa Moon Hunter adalah seekor belut listrik yang licin. "Sayangnya, belum. Kita masih harus memeriksa banyak CCTV yang berada di lokasi kejadian dan mengerucutkan pencarian pada pria ini." Visakha menjawab cepat dan lugas. "Ah, satu lagi. Aku baru saja mendapat laporan kehilangan. Seorang pria berusia tiga puluh lima tahun. Bekerja di pertambangan yang sama dengan korban terakhir." Bola mata Cikal membulat. Dia punya firasat jika orang hilang ini adalah korban Moon Hunter berikutnya. "Fokuskan pencarian pada orang hilang itu. Selidiki semua latar belakangnya. Aku punya keyakinan jika pria itu adalah korban Moon Hunter berikutnya." Cikal mematikan ponsel, kemudian berbalik menatap Savas yang masih setia menunggu dalam diam. "Aku harus kembali ke kantor polisi." Savas mengangguk dan tersenyum tipis. Dia menepuk pundak Cikal dengan kepalan tinju. "Pastikan kamu makan malam dulu, Cikal. Kalau kamu mati konyol sekarang, semua penyelidikanmu akan sia-sia." Kekehan Cikal terdengar setelah suasana tegang yang melingkupi ruangan ini sejak tadi. Karena diingatkan, perut Cikal langsung berbunyi nyaring. Dia memang belum makan sejak tadi pagi. Otaknya terlalu sibuk berpikir sampai dia tidak sadar jika perutnya meronta-ronta. "Kantin di bawah masih buka? Menunya apa?" "Kamu harus makan daging." Savas membuka jas putihnya dan menyampirkan benda itu di gantungan khusus. "Aku traktir. Bonus karena kamu sudah berusaha sangat keras. Aku tahu restoran yang enak dekat sini." Cikal tersenyum lebar. Dia memasang sikap hormat layaknya seorang tentara pada atasannya. "Siap, Pak!" **** Aku tahu bagaimana caranya bersenang-senang. Aku juga tahu kalau kamu penasaran dengan rasa sakit yang dialami seseorang. Nyeri itu sesuatu yang seperti apa? Panas, dingin, hangat, menggiggil. Omong kosong macam apa itu? Kalau kamu ingin tahu jawabannya, kamu bisa menemuiku, segera. Aku ada di depan kafe Vlorensia pada tanggal 26 Februari pukul 10. Ssttt. Pastikan bahwa kamu menyuruh pengawalmu pulang. Bola mata Yohan mengedar ke arah sekitar. Dia sedang makan siang di restoran kantor saat sebuah kertas terselip di balik cangkir kopinya. Apa yang tertulis di sana membuat kening Yohan seketika berkerut. Benaknya bertanya-tanya. Kenapa penulis pesan ini bisa tahu apa yang sedang Yohan alami belakangan ini? Dan kenapa pula, dari total lima pengawal yang ditugaskan Roy, tak ada satu pun yang menyadari bahwa penguntit itu berhasil menyampaikan pesannya? Yohan bersumpah akan memecat mereka semua setelah ini. Yohan mendesah dan meremas kertas itu. Dia kemudian menghabiskan koopinya yang sudah dingin. Meski penguntit itu tahu apa yang sedang menjadi kegelisahanya, tetapi dia tidak akan dengan mudah terjebak. Yohan harus berhati-hati. Demi menjaga stabilitas perusahaan sekaligus keselamatan dirinya sendiri. Hanya saja, Yohan tak bisa menahan rasa penasarannya. Sebab, jika dilihat dari pesan yang tertulis di sana, penguntit itu seolah tahu penyakit Yohan. Penyakit genetika langka yang membuatnya tidak bisa merasakan sakit. Baik Yohan maupun kedua orangtuanya sudah mati-matian untuk menyembunyikan fakta ini. Hanya orang-orang pilihan yang mengetahui penyakitnya. Bahkan dokter, perawat hingga tukang kebun yang bekerja di kastil sudah menandatangani kontrak dan menyerahkan nyawa mereka sebagai jaminan. Lantas, bagaimana penguntit ini bisa tahu? Ah, tidak. Sudah sejauh mana yang dia tahu soal Yohan? Yohan... tidak bisa membiarkan ada orang yang tahu kelemahannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD