Meski awalnya Cikal menolak mati-matian, pada akhirnya dia tetap pergi dengan Visakha ke tempat kejadian. Seorang polisi tidak boleh pergi tanpa seorang partner. Partner berfungsi tak hanya untuk saling melindungi dan bekerja sama untuk menangkap penjahat, tetapi juga untuk mencocokkan logika dan tidak terbawa perasaan. Menjadi pengingat untuk satu sama lain.
Sepanjang perjalanan menuju lokasi hening. Cikal sepertinya marah, dan Visakha tahu penyebabnya. Namun, Visakha terlalu gengsi untuk mulai lebih dulu. Dia lebih baik langsung dimarahi ketimbang tampak mencari-cari alasan. Cikal itu tipe cowok yang suka mengkonfrontasi secara langsung ketimbang hanya diam dan membiarkan masalah berlarut-larut.
Tidak tahan lagi, akhirnya Cikal buka suara. "Sekali lagi kamu melakukan penyelidikan sendiri tanpa kontak aku dulu, aku bakal minta sama ketua buat ganti partner."
Bola mata Visakha seketika melebar. Dia menatap Cikal dengan mulut setengah terbuka. "Jangan!" Visakha menggoyang-goyang lengan Cikal. "Aku nggak bisa kalau nggak partneran sama kamu."
"Kamu selalu ngelakuin semuanya sendiri." Kali ini Cikal menatap Visakha tajam. Ada kilat kemarahan dalam bola matanya. "Diem-diem ke bar pas kita mau patroli. Rekaman CCTV sepeda. Terus apa lagi? Aku tahu kalau kamu cerdas. Tapi kamu nggak nganggap aku sebagai partner."
"Maaf," Visakha menurunkan tangannya dari lengan Cikal. "Aku nggak bakal ngulangin lagi, janji. Ini yang terakhir. Kamu bisa potong lidah aku kalau bohong."
Cikal mengalihkan wajah. Dia menghela napas. "Nggak usah janjiin sesuatu yang nggak bisa kamu tepati."
Hening sejenak. Visakha tahu jika Cikal itu orangnya tidak peka dan selalu seenaknya sendiri. Namun, Visakha tetap saja menyukainya. Perasaan seperti ini memang sulit sekali untuk dikontrol.
"Aku selalu bilang sama kamu tiap mau pergi. Tapi kamu selalu bilang sibuk." Visakha menatap ke luar jendela. Dia memutuskan untuk jujur agar Cikal sadar bahwa Visakha tak sepenuhnya salah. "Jadi, aku ngelakuin semuanya sendiri. Kamu tahu kalau kita nggak punya banyak waktu."
Kemudian hening. Baik Cikal maupun Visakha tidak ada yang buka suara lagi, sampai mereka tiba di lokasi.
Lokasi pembuangan mayat pada kasus terakhir adalah sebuah monumen yang baru dibangun sekitar satu tahun yang lalu. Banyak warga yang protes dengan pembangunan monumen ini serta anggaran yang tidak masuk akal yang dikeluarkan. Itu adalah sebuah patung salah satu tokoh terkenal di bidang kedokteran, namun baru-baru ini diketahui fakta bahwa dokter itu adalah pelaku dari kasus pembunuhan yang melibatkan anak dan istrinya.
"Sebenernya aku nggak nemuin sesuatu dari pola lokasi penyebaran mayat." Visakha berujar saat tiba di lokasi. Berjalan beriringan melewati gerbang. Meski keadaan di antara mereka sedikit canggung, tetapi Visakha menahannya karena penyelidikan lebih penting. "Rasi bintang itu terlalu rumit. Aku sama Bima udah urutin sesuai dengan tahun kejadian, tapi nggak bentuk rasi bintang apapun. Kalau digabungin jadi satu emang bisa bentuk rasi bintang, tapi nggak bisa dianalisis. Jatuhnya tetap nggak ketemu. Lokasinya terlalu random."
Cikal menghela napas. "Kalau gitu kita harus lupain soal lokasi. Fokus nyari tempat tinggal si pelaku dan kemungkinan orangnya." Cikal melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Harusnya hasil analisis video udah keluar satu jam lagi. Dari ciri fisik itu kita bisa mengerucutkan kemungkinan dan menemukan pelaku."
"Tapi gimana kalau yang buang mayat itu kaki tangan Moon Hunter?" Visakha menyuarakan kegelisahannya.
"Seengaknya kita bisa mulai dari sana," balas Cikal yakin. "Pasti ada sesuatu yang bisa kita dapatin akhirnya. Secerdas apapun Moon Hunter, dia cuma manusia biasa. Pasti punya celah. Tugas kita adalah menemukan kelemahannya dan mengambil kesempatan."
Visakha mengangguk. Ada semangat yang berkobar di matanya. "Gimana pun caranya, kita harus bisa nemuin Moon Hunter. Demi korban-korban yang enggak bersalah. Demi martabat kepolisian."
****
Pria itu membuka pintu rumahnya saat malam sudah beranjak. Dia menaruh sepatunya di atas rak dan melangkah perlahan menuju ruangan tempat dia biasa memeriksakan diri. Tempat itu masih remang-remang dengan bau desinfektan yang pekat. Dia membasuh telapak tangannya dengan handsainitizer sebelum duduk dengan nyaman di kursi. Setelah mengukur suhu tubuh, angka 39 derajat celcius tertera. Dia meencoba hingga dua kali tetapi hasilnya tetap sama.
Tanpa kata, dia mengecek darahnya menggunakan alat khusus. Tak lama kemudian, layar alat itu menampilkan hasil grafik dan angka. Kening pria iu berkerut, kadar sel darah putihnya tampak tidak normal. Kemungkinan karena infeksi, tetapi dia tidak tahu lokasinya. Cepat, pria itu mengambil antibiotik dan paracetamol, meminumnya cepat. Jika dalam tiga hari demamnya tidak turun, dia akan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh.
Seulas senyum tipis terbit di ujung bibirnya. Bukan jenis senyum manis, tetapi sebuah seringai yang mengandung ironi. Mungkin karena terlanjur tidak punya hati, dia jadi tidak takut mati. Dia hanya ingin bersenang-senang di tengah kehidupan yang membosankan. Sepuluh korban dalam satu bulan. Tidakkah polisi terlalu lambat dan bodoh karena belum bisa menemukannya? Padahal dia sudah menyebar banyak jaring petunjuk sejak lima tahun terakhir.
Bangkit dari posisinya, pria itu kemudian keluar dari ruang pemeriksaan, menuju pintu rahasia yang berada di gudang penyimpanan anggur. Dia ingin mengecek apakah korbannya baik-baik saja. Tampak sang korban masih meringkuk di bawah lantai dengan selang infus yang sudah berhasil dilepasnya.
"Dasar keras kepala." Pria itu melangkah perlahan. Suara sepatunya menggema seperti alunan lagu kematian. Dia kemudian berjongkok dan mencengkeram dagu sang korban kuat. Sepasang bola mata hitam itu meredup putus asa. "Besok, aku akan membawakanmu seorang teman. Dia yang akan menentukan nasibmu. Entah itu kematian yang cepat atau lambat nan menyakitkan."
"Apa salahku?" suaranya terdengar serak, lirih dan tanpa tenaga. "Kenapa kamu melakukan ini?"
"Aku hanya terobsesi denganmu." mata sang pemburu berkilat. Dia menelusuri leher sang korban dan berhenti pada urat pembuluh darahnya yang menonjol. "Aku ingin membubuhkan maha karyaku di lehermu. Sebuah tanda yang membuat orang-orang memanggilku Moon Hunter." Dia terkekeh pelan, kemudian memiringkan kepala dengan ekspresi tanpa dosa. "Aku tidak terlalu suka dengan panggilan itu, tetapi tidak buruk juga."
"Dasar psikopat gila! Kamu tidak pantas disebut sebagai manusia!"
Sang pemburu terkekeh lagi. Dia menyipitkan mata menatap sang korban. "Ya, aku tahu. Kamu bukan orang pertama yang memanggilku psikopat." Kening pria itu berkerut. Dia menggeleng pelan. "Ah, tidak. Aku memang dilahirkan sebagai psikopat."
Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak panjang berwarna hitam pekat. Di dalamnya terdapat sebuah pisau berwarna perak yang tampak berkilat di bawah sinar lampu. Ujungnya meruncing, seperti jarum, bagian bawahnya bergerigi. Pada ganggangnya terdapat ukiran naga berwarna emas. "Pisau baruku datang pagi ini. Pesanan khusus." Dia menimbang pisau itu dan menatap sang korban dengan senyum menawan. "Kamu mendapat kehormatan untuk mencobanya pertama kali."
****
Yohan melepaskan mantel dan menyerahkannya pada Roy yang menunggu di balik pintu kastilnya yang megah. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hening nan dingin menyapa Yohan begitu dia menginjakkan kaki di ruang tamu.
"Aku perlu beberapa pengawal," kata Yohan tiba-tiba, membuat Roy terlonjak kaget. Lima tahun belakangan, Tuan mudanya ini selalu menolak pengawal pribadi. Bahkan dia mengancam untuk membunuh Roy jika nekat diam-diam menyeludupkan pengawal.
Roy tetap berusaha bersikap tenang. "Apa ada seseorang yang mengganggu Anda, Tuan Muda?"
Yohan tampak menimbang-nimbang, tapi kemudian dia melirik Roy sekilas dan mengangguk. "Satu bulan belakangan ini ada seseorang yang mengikutiku. Cari tahu siapa dia dan bawa kepadaku."
"Baik, Tuan Muda." Roy mengangguk paham.
Yohan hendak berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya, tapi kemudian berbalik lagi. Kali ini dia sepenuhnya menatap Roy dengan sorot serius. "Pastikan bahwa mereka adalah pasukan khusus yang terlatih. Jangan memancing keributan dan bergeraklah dalam diam. Segera laporkan padaku jika ada seseorang yang mencurigakan."
"Baik, Tuan Muda. Akan segera saya persiapkan." Roy membungkuk singkat. "Anda ingin makan malam apa hari ini?"
Yohan menggeleng. "Tidak perlu. Aku sudah makan malam."
Dalam perjalanannya menaiki anak tangga, Yohan tidak bisa melepaskan beban pikiran yang menggelayuti kepalanya. Penguntit itu bisa saja orang suruhan pesaing Argantara Group. Atau bisa jadi, berasal dari orang dalam yang berusaha menusuk Yohan dari belakang. Dengan posisinya saat ini, makin banyak musuh yang mengincar jabatan dan kekayaannya. Yohan tak punya saudara dekat. Kedua orangtuanya sama-sama anak tunggal. Yohan tak punya seseorang yang bisa melindunginya dari belakang.
Dengan kehidupan yang dingin ini, bagaimana cara Yohan untuk bersenang-senang?