Cikal sudah sepuluh tahun mengabdikan diri sebagai anggota kepolisian. Berkat kemampuannya dalam memecahkan kasus, dia cepat mendapat promosi dan akhirnya berada di devisi yang menangani kejahatan dan kekerasan tingkat tinggi. Tentu tidak mudah bagi Cikal meraih posisinya saat ini. Banyak pula yang meragukan kemampuan analisis Cikal pada awalnya, tetapi tingkat keberhasilan sebesar sembilan puluh persen untuk setiap kasus yang dia tangani menjadikan Cikal salah satu detektif yang diandalkan. Insting berburu Cikal seolah melekat dalam dirinya sejak lahir.
Tentunya, semua pencapaian Cikal tidak lepas dari sosok Savas. Itu adalah empat tahun lalu, ketika Cikal pertama kali menangani kasus pembunuhan yang menimpa seorang suami dan istrinya yang dijadikan tersangka utama. Awalnya semua orang mengira bahwa tersangkanya memang istri korban, tetapi Cikal akhirnya membongkar sebuah fakta bahwa pelaku sebenarnya adalah anak mereka yang berusia lima belas tahun. Savas menganalisa sehelai rambut yang tertinggal di kuku korban dan memberitahu Savas bahwa DNA rambut itu tidak sama dengan sang istri. Cikal kemudian melakukan penyelidikan lagi dan anak itu mengakui kejahatannya. Sang ibu hanya sedang berusaha melindungi anaknya dari jerat hukum, tetapi keadilan harus tetap dijalankan.
Tidak sampai di sana, Savas selalu memberi bantuan pada Cikal di sela-sela kesibukannya. Berkat Savas, banyak kasus yang sudah Cikal pecahan. Mereka berdua saling bertukar pendapat layaknya partner. Bahkan ketika Cikal menjumpai kasus yang membuatnya tidak mempercayai pihak kepolisian, Savas menjadi orang pertama yang mendengarkan kegelisahannya.
"Uwah, enak banget. Langsung meleleh di mulut." Cikal mengambil daging panggang di depannya dengan garpu, kemudian mencocolnya di di kuah berbumbu. Tak lupa, dia menyendok nasi setelahnya. Cikal memejamkan matanya menikmati. "Daging kualitas premium emang enggak bisa bohong sih."
Savas tersenyum tipis dan melakukan tugasnya membalik daging di atas pangganggan. "Udah berapa hari kamu enggak makan?"
Pipi Cikal tampak menggembung, tetapi dia masih bisa tersenyum dan menunjukkan satu jarinya. "Udah sebulan nggak makan daging."
"Makan yang banyak kalau begitu. Hari ini suasana hatiku sedang baik, jadi kamu boleh minta tambah sepuasnya." Savas menambahkan daging yang baru matang ke atas mangkuk nasi Cikal. Dia tersenyum tipis. "Hati-hati, masih panas."
"Yakin?" Sebelah alis Cikal terangkat naik. Dia menyeringai saat mendapat anggukan dari Savas. "Aku nggak bakal segan-segan kalau begitu."
Seorang pelayan datang menghampiri mereka dan meletakkan cangkir kopi pesanan Savas. Namun, karena Savas terlalu bersemangat, dia tak sengaja menyenggol lengan pelayan itu dan membuat kopi di ujung tangan sang pelayan tumpah membasahi lengan Savas. Refleks, Savas berdiri dan mengibaskan tangan. Keningnya berkerut dalam dan bibirnya meringis. Dia kemudian menyeka bekas kopi di lengannya dengan tisu. Tampak bekas kemerahan di kulit Savas.
"Maafkan saya." Pelayan itu membungkuk hormat. Tubuhnya tampak bergetar ketakutan. "Saya tidak sengaja. Biar saya ganti kopinya dengan yang baru."
"Nggak apa-apa." Savas mengibaskan tangannya dan tersenyum menenangkan. Dia kemudian menatap Cikal. "Aku ke toilet dulu. Luka ini harus dibasuh supaya bekasnya tidak terlalu parah."
Savas ikut berdiri. Raut wajahnya tampak begitu panik. "Aku akan keluar untuk membeli salep."
"Tidak usah," Savas menggeleng. Dia menepuk lengan Cikal singkat. "Lanjutkan makanmu, aku akan segera kembali. Setelahnya, aku akan menceritakan sesuatu kepadamu."
"Apa?"
Savas tersenyum. "Tunggu saja."
****
Halaman depan kantor polisi itu dipenuhi oleh para pendemo. Mereka membawa spanduk dan berbagai atribut untuk mendukung aksinya. Sudah sekitar dua minggu mereka mendirikan tenda di sekitaran kamtor polisi dan menuntut agar kepolisian segera menangkap Moon Hunter dan meredakan kegelisahan mereka. Para pendemo berasal dari keluarga korban Moon Hunter, dan juga orang-orang yang merasa gelisah karena sang pembunuh berantai masih berkeliaran dengan bebas setelah membunuh banyak orang yang tidak bersalah.
Cikal keluar dari mobil. Ada tiga orang sudah menunggunya di depan pintu. Tatapan mereka tampak putus asa, tetapi juga menyimpan sedikit harapan. Seolah-olah, hidup mereka hanya bergantung pada Cikal sekarang. Wajah Cikal memang sudah berkali-kali masuk TV karena dia adalah kepala detektif yang bertanggung jawab atas kasus Moon Hunter, jadi, orang-orang langsung mengenalinya. Mereka bahkan tahu mobil apa yang sering Cikal pakai untuk patroli.
"Tolong, berikan hukuman untuk pembunuh anakku," seorang ibu berusia setengah baya memegangi lengan Cikal erat. Air matanya sudah meleleh membasahi pipi. Sorot putus asa dan kesedihan itu membayang di kedua bola matanya. "Segera temukan psikopat itu agar arwah anakku bisa tenang. Dia harus dihukum mati."
"Kami sedang berusaha untuk menyelidiki kasus ini Bu." Cikal berusaha untuk bersikap tenang. Hatinya selalu merasa sakit saat melihat wajah-wajah keluarga korban yang kehilangan sanak saudara mereka. Kematian yang tidak adil dan tiba-tiba pasti membuat mereka sangat terpukul. Cikal mengusap lengan sang ibu menenangkan. "Lebih baik Ibu istirahat di rumah. Biar kasus ini kami tangani. Beri kami waktu."
"Kami sudah terlalu banyak memberi kalian waktu. Sudah lima tahun!" Seorang pria paruh baya menimpali dengan emosi yang meledak-ledak. Dia membawa sebuah papan yang bertuliskan reformasi. "Kami sudah lelah menunggu pihak kepolisian yang lambat dan tolol."
Visakha tiba-tiba datang dari arah kantor dan menarik tangan Cikal, menyelamatkan cowok itu dari tindak kekerasan yang mungkin saja akan dialaminya jika dia berdiri lebih lama di tempat itu. Dia membawa Cikal menjauhi kerumunan dan melepasnya di lobi setelah merasa jika keadaan mereka sudah aman.
"Udah kubilang jangan parkir di depan! Kamu bisa parkir di basement bawah lewat gerbang samping. "Kamu nggak akan bisa menyelesaikan kasus ini kalau kamu terluka, Cikal." Visakha tidak menahan diri. Dia terlalu kesal dengan Cikal yang mudah bersimpati dan tidak waspada. Meski pendemo itu adalah keluarga korban, mereka tidak berada dalam kondisi mental yang baik sehingga Cikal bisa saja terluka karenanya. Bersikap terlalu emosional tidak akan berguna bagi penyelidikan. "Berapa kali aku harus bilang sama kamu buat menghindar!"
"Aku tahu," Cikal menjawab tenang. Pelan, dia menyingkirkan tangan Visakha yang sedari tadi mencengkeram lengannya. Dis menatap gadis itu lekat. "Aku bisa jaga diri, oke? Lebih baik kamu khawatirin diri kamu sendiri."
Tidak mendapat jawaban dari Visakha, Cikal kemudian berjalan menjauhi cewek itu dan masuk ke dalam kantor polisi. Ada hal penting yang harus Cikal lakukan hari ini juga. Jika pihak rumah sakit tidak bisa memberikan rekam medis pasiennya, maka Cikal tidak punya jalan selain melawan hukum. Ada banyak orang yang menunggu pelakunya ditangkap di luar sana. Cikal tak bisa mengecewakan mereka.
****
Setelah berkutat dengan pikirannya sejak kemarin, Yohan akhirnya menuruti permintaan seseorang yang mengirimkannya kertas di kafe siang itu. Yohan juga sudah memecat seluruh pengawal yang dipekerjakan Roy. Hari ini, tepat pukul sepuluh malam, Yohan berdiri di depan pintu kafe sendirian, tanpa penjagaan. Yohan tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya sekarang merupakan tindakan gegabah, tetapi dia tidak bisa menahan rasa penasarannya pada sosok pengirim surat yang misterius. Keinginan terdalam Yohan yang selama ini tak mampu terealisasikan, bagaimana orang asing bisa mengetahuinya? Ada berbagai kemungkinan yang kini berputar di kepala Yohan. Detik demi detik yang berlalu terasa mendebarkan.
Baru kali ini, Yohan merasa begitu antusias melakukan sesuatu yang berada di luar kebiasaanya. Selama tiga puluh tahun hidupnya, Yohan hanya melakukan hal-hal yang memang seharusnya dia lakukan, seperti belajar mengelola perusahaan dan menjadi pewaris Argantara. Hidup Yohan yang biasanya penuh dengan rutinitas yang membosankan, kini bergerak dinamis dan mendebarkan. Rasanya seperti melakukan permainan yang menguji adrenalin. Yohan bisa saja mati, dia juga bisa saja sedang dijebak. Namun, Yohan mengendurkan kewaspadaannya. Dia membiarkan dirinya rentan. Entahlah, Yohan hanya merasa... bahwa dia tidak akan menyesali tindakannya hari ini.
Ponsel Yohan tiba-tiba berbunyi. Menyadarkannya dari lamunan. Dia membuka layar ponselnya dan menemukan sebuah pesan dari nomor tidak dikenal.
'Pergilah ke toilet di dalam kafe. Aku menunggumu di sana. Kamu harus mematikan ponsel setelah melihat pesan ini.'
Kening Yohan berkerut. Dia refleks memandang ke arah sekitar, mencari kira-kira siapa orang yang sedang mengawasinya. Yohan hendak mematikan ponselnya saat pesan dari Roy masuk. Pria itu menanyakan keberadaan Yohan dan menawarkan pengawalan. Yohan mengabaikan pesan itu dan mematikan ponsel. Cepat, dia mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam.
Entah siapa orang yang sudah menunggunya di dalam sana, Yohan sudah siap untuk menemuinya.