Niat

1086 Words
Barry langsung menuju apartemen tempat biasa dirinya menghabiskan waktu jika tidak ada pekerjaan atau melarikan diri dari kembar. Barry beruntung karena keluarganya dan mendiang istrinya sangat membantu merawat kembar bahkan Tina dengan sukarela memberikan ASI pada kembar dengan mengikuti terapi agar payudaranya mengeluarkan s**u atas permintaan istrinya. “Sudah selesai urusannya?,” Barry menatap Siska sang sekretaris yang duduk di sofa “siapa gadis itu?.” “Anak bimbingan Tina.” “Kamu menyukainya atau basa – basi?,” Siska menatap Barry tajam tapi sayangnya Barry tidak menjawab pertanyaan Siska “kita sudah bersama lama bahkan aku rela berselingkuh dan kita sampai memiliki anak lagi pula dulu seharusnya kamu membiarkan aku yang menyusui kembar bukan Tina.” “Itu permintaan terakhir istriku dan tidak mungkin aku ingkari.” Barry menarik Siska agar duduk di pangkuannya, dapat dirasakan jika Siska tidak menggunakan dalaman di tubuhnya. Hubungan mereka berdua terjadi ketika Siska hamil dan Barry ditinggal sang istri untuk selamanya, sudah cukup lama mereka berhubungan sampai akhirnya mereka memiliki putra. Siska sendiri sudah menikah dan memiliki anak, Barry tidak tahu kenapa malah memikirkan untuk melakukan perselingkuhan dengan Siska. Barry sangat mengenal Pandu yang merupakan suami Siska dengan baik, bahkan dulu ketika istri Barry masih ada mereka kerap melakukan liburan bersama. Barry sangat mencintai istrinya dan saat ini entah kenapa Barry jatuh cinta pada anak bimbingan dari sang adik ipar. Suara desahan memenuhi ruangan ini dan Barry kali ini membayangkan Amel yang sedang memuaskan dirinya, karena terlalu membayangkan Amel membuat Barry mendapatkan pelepasan yang banyak dan membuat Siska menatap puas atas apa yang terjadi, lalu dalam sekejap Siska tidur membelakangi Barry. Semenjak kejadian Siska hamil dengan segera Barry meminta untuk tidak hamil lagi dengan melakukan pemrograman, pada saat itu alasan Barry adalah anak – anak masih kecil karena jika Barry beralasan tidak enak pada Pandu tidak akan di dengarkan oleh Siska. Perasaan pada Siska tidak ada sedikit pun karena selama ini mereka melakukannya karena kebutuhan dan dengan kehadiran Siska di saat Barry membutuhkan membuatnya tidak perlu mencari perempuan murahan yang ada di pub atau manapun dan setidaknya Siska bersih dari semua penyakit karena hanya Barry dan Pandu saja. Barry memandang wajah Siska yang terlihat lelah, apartemen ini Barry beli agar bisa melepaskan penat mereka berdua dan juga menutupi perselingkuhan selama ini. Anak Barry dan Siska tidak tahu jika Barry adalah ayah kandungnya dan menganggap Pandu sebagai ayahnya dan Barry tidak masalah yang terpenting Arsen bahagia dan tercukupi. Barry juga sampai detik ini tidak berniat menghentikan tindakannya bersama Siska entah jika nanti Barry menikah dengan wanita yang tepat, tapi meninggalkan Siska tidak ada dalam bayangan Barry sampai sejauh ini. Barry memutuskan meninggalkan apartemen ini menuju rumah orang tuanya yang sudah pasti ada anak kembar yang menunggu kedatangannya, jauh di dalam hati terdalam Barry menginginkan Arsen bersamanya tapi bagaimana pun Barry tetap menghargai Pandu sebagai suami dari Siska. “Mereka baru saja tidur,” ucap Hana ketika melihat kedatangan Barry “mas tampak lelah.” “Aku baru saja melamar anak bimbingan Tina,” Hana membelalakkan mata membuat Barry sedikit kesal “kenapa apa salah?.” Hana menghembuskan nafas panjang “mas baru bertemu Mbak Amel berapa kali sampai berani melamarnya?,” sambil menggelengkan kepala. “Mas sepertinya sudah jatuh cinta pada Amel sejak melihatnya pertama kali bersama kembar.” Hana menggelengkan kepala melihatnya, Hana sangat mengenal bagaimana kelakuan sang kakak yang mudah masuk dalam pesona wanita dan sampai sejauh ini Hana mengangkat jempol karena Barry bisa bertahan dengan status dudanya bersama anak kembar. Barry meninggalkan Hana dengan melangkah ke kamar tempat si kembar berada, menatap wajah kembar membuatnya teringat pada sang istri yang berjuang melahirkan mereka berdua. “Apa kalian akan bahagia jika kakak yang kalian sayangi menjadi ibu baru kalian nanti?,” menatap sedih pada kembar “semoga ini keputusan terbaik bagiku ke depan untuk anak – anak.” Dilain tempat Amel memikirkan perkataan Barry dan karena pertanyaannya tersebut yang membuat Gina penasaran membuat Amel langsung melarikan diri dengan alasan ingin mempelajari bahan untuk sidang ke depan. Amel meraba bibirnya yang tadi dicium Barry dan juga jantungnya secara bersamaan yang ternyata berdetak kencang, Amel tidak yakin apa yang dirasakan ini adalah cinta tapi tidak mungkin hanya nafsu tapi Amel merindukan sentuhan Barry pada dirinya. “Hari ini ke mana?,” tanya Gina menatap Amel yang sudah tampak rapi. “Mau jalan aja,” jawab Amel singkat tanpa berani menatap kedua orang tuanya. Pembicaraan selanjutnya seputar persiapan pernikahan Satria yang sudah mendekati selesai, Amel hanya mendengarkan karena tidak tahu harus terlibat sejauh apa. Amel berharap sang bunda tidak bertanya tentang apa yang Amel katakan kemarin karena Amel sendiri tidak ingin kedua orang tuanya berpikir sesuatu dan biarkan mereka sibuk akan pernikahan Satria. “Ada yang melamar kamu?,” pertanyaan Agus sang ayah membuat Amel terdiam “apa adik sudah yakin?.” “Kalau sudah ajak ke rumah biar kita kenal,” sambung Gina namun Amel hanya diam “kita gak mempermasalahkan statusnya tapi ingin tahu sejauh mana mencintaimu.” “Nanti Amel bicara sama dia.” Amel tidak tahu harus bertemu dengan Barry di mana karena memang tidak tahu banyak mengenai Barry, tidak mungkin bertanya pada Tina karena bagaimana pun Amel masih memiliki hati menanyakan tentang mantan suaminya. Amel memutuskan jalan tidak tentu arah sampai pandangannya ke arah restoran di mana terdapat Barry dengan wanita dan pria tersebut sedang berbicara serius, Amel memutuskan duduk tidak jauh agar setelah selesai bisa langsung Amel datangi. “Pak Barry,” Amel menyapa Barry yang hendak pergi membuat semua menatap ke arahnya “bisa minta waktu sebentar?.” Barry yang terkejut dengan kehadiran Amel tapi jauh di dalam hatinya tersenyum senang dan sesuatu dalam dirinya tidak bisa ditahan “saya permisi terlebih dahulu nanti biar sekretaris saya Siska yang menangani kekurangannya.” Barry meminta Amel mengikuti langkahnya menuju mobil, dalam mobil Barry langsung menarik Amel dan mencium bibirnya dengan penuh gairah dan lebih parahnya Amel membalas ciuman Barry dengan tidak kalah darinya. Barry melepaskan ciuman dan menatap bibir Amel yang membengkak juga dirinya yang harus mengontrol nafsunya agar tidak merusak Amel sebelum menikahinya tapi jika Amel ingin saat ini tentu Barry tidak akan menolak. “Panggil mas jangan bapak,” pinta Barry yang diangguki Amel “ayo kita bicara.” Barry tidak tahu mau membawa Amel ke mana karena selama ini dia selalu pulang ke rumah kedua orang tuanya atau menghabiskan waktu bersama Siska di kantor dan apartemennya. Satu – satunya tempat yang Barry pikirkan adalah rumahnya ketika masih bersama sang istri dahulu, rumah yang mereka bangun bersama dengan banyak harapan dan setelah sang istri meninggal Barry tidak pernah lagi ke sana saat ini pertama kali dirinya menginjakkan kaki di rumah itu. “Aku tidak tahu mengajak ke mana untuk berbicara tapi hanya tempat ini yang ada di dalam benakku.” “Rumah siapa?,” Amel menatap sekitar. “Rumah kami sebelum dulu sebelum berpisah.” Amel mengangguk “lantas apa kita nanti akan tinggal di sini?.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD