Awal

1765 Words
Setelah makan mereka kembali ke ruang keluarga. Menonton televisi dengan posisi yang sama, Aby meletakkan kepalanya dengan manja di paha Vania. Sesekali lelaki itu menyuapkan snack ke mulut Vania. Dering pesan terdengar dari ponsel Vania berbunyi. Wanita itu mencoba untuk mengabaikan, tetapi nada dering yang terdengar seakan beruntun sehingga mengganggu pendengaran Aby. "Vania, hape kamu bunyi." Lelaki itu mencoba untuk mengingatkan. "Eh, iya. Makasih." Mau tidak mau Vania mengambil ponselnya. Sejenak wanita itu terlihat membelalakkan mata. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Grup chat SMA Harapan angkatan 2017 terpampang di layar ponselnya. Dari notifikasi dapat terbaca bahwa Eva, salah satu temannya saat SMA yang memasukkan Vania ke dalam grup tersebut. Romi: "Siapa yang barusan gabung?" Eva: "Vania, Rom. Ingat kan, yang dulu sering kamu godain." Romi: "Vania yang sebangku sama kamu?" Eva: " Iy, yang itu. @Vania nongol dong, aku tahu kamu ngintip." Eva men-tag nama Vania. Mau tidak mau wanita itu harus muncul di grup. Dia sebenarnya sedikit sungkan, karena dari sekian alumni SMA Harapan, hanya dia yang tidak melanjutkan kuliah. Teman-teman Vania rata-rata sudah memiliki jenjang karir yang bagus. Vania: "Halo @Eva, @Romi." Hanya itu yang bisa Vania ketik. Dia benar-benar merasa tidak percaya diri harus bergabung bersama mereka. Romi: "Apa kabar, Vania? Kangen kamu, suer. Udah lama banget kita nggak ketemu." Eva: "Si Romi lancar, lanjut sampai jadian." Vania: "@Eva apaan, sih. Aku baik @Romi. Kamu apa kabar?" Vania mencoba untuk ramah. Romi salah satu cowok yang cukup populer di masa mereka SMA. Bahkan Vania pernah berharap untuk bisa menjadi pacar Romi, tetapi lelaki itu justru memilih Clara yang juga siswi populer di sekolah mereka. Dina: "Udah rame aja. Gimana kalau kira reunian? Kayaknya lebih seru. Romi: "Bagus tuh ide dari @Dina. Aku baik juga @Vania." Eva: "Setuju banget. Ayo reunian. Udah lama juga kita nggak ketemu. Mumpung lagi libur. Gimana yang lain?" Vania: "Aku ngikut aja." Pembahasan tentang reuni itu berlanjut. Pandangan Vania tidak sengaja menangkap Aby yang menguap, sepertinya dia sudah mulai mengantuk. Vania: "Intinya aku ngikut. Sori, ya. Aku harus tidur sekarang. Kalau sudah sepakat kapan dan dimana, japri aku." Setelah mengirim pesan itu ke grup, Vania memasukkan ponselnya ke saku atasan baju tidurnya. Tatapan wanita itu beralih ke Aby yang ternyata sudah terlelap. "Aby, Aby Sayang ... pindah ke kamar, yuk." Vania mencoba membangunkan lelaki itu perlahan. Aby membuka mata dan mengerjapkan beberapa kali. Tingkah sederhana itu membuat Vania gemas. Dia mengulurkan tangan dan menarik ujung hidung hidung lelaki itu pelan. "Pindah yuk," ajaknya sekali lagi. "Maaf, Vania. Aku ketiduran." ucap lelaki itu seraya bangkit dan duduk di samping Vania. Mengumpulkan kesadaran yang belum kembali sepenuhnya. "Aku nggak marah, kok. Yuk ke kamar." Vania yang berdiri lebih dulu menepuk lengan yang biasa Aby peluk saat mereka sedang berjalan bersama. Lelaki itu terlihat sangat senang. Dia segera berdiri dan memeluk lengan Vania. Seakan itu adalah tempat ternyaman bagi seorang Aby. Mereka berdua melangkah menuju ke kamar. Sesekali Vania mengelus puncak kepala suaminya. Dia benar-benar bertindak seperti sedang mengasuh balita sekarang. --- Minggu pagi, pukul 09.45. Vania sudah rapi. Sesuai kesepakatan, hari ini dia akan mengadakan reuni bersama teman-teman alumni SMA Harapan. Dia juga membawa serta Aby. Dia tidak bisa membiarkan anak kecil berwujud pria tampan dan menawan itu berada sendirian di rumah besar mereka. Dibandingkan dengan sebelum menikah dengan Aby, Vania merasa lebih percaya diri dengan penampilan terbarunya. Bisa dibilang dari kaki hingga kepala dia bisa mengenakan barang bermerk dan mahal. Jauh dari penampilan Vania yang dulu. Hari ini Vania juga mendandani Aby sesuai dengan style yang dia sukai. Jangan ditanya bagaimana reaksi Aby, karena sudah pasti lelaki itu menuruti kemauan Vania tanpa banyak membantah. "Kita mau kemana?" Aby mendongak saat Vania sedang menata rambut lelaki itu. "Kita mau pergi makan. Nanti kita juga akan bertemu dengan teman-temanku. Aby nggak usah takut, ada aku yang jagain kamu. Oke?" ucap Vania lembut. Dia tahu Aby tidak bisa sembarangan dekat dengan orang asing. "Vania nggak akan pergi ninggalin aku sendirian, kan?" "Nggak. Kita selalu bersama. Jangan takut, Sayang." Wanita itu menarik pipi Aby pelan sambil memastikan kalau lelaki itu sudah rapi. Setelah yakin kalau penampilan mereka berdua sudah sesuai dengan ekspetasi, Vania membawa Aby keluar dari rumah mereka. Di luar, pak Edi, sopir yang disediakan Mirna untuk mereka sudah menunggu dengan sabar di dalam mobil dengan kondisi mesin yang sudah menyala. "Pak, kita ke kafe Mentari, ya." Vania memberitahukan pada sopirnya kemana mereka akan pergi. "Baik, Non." Aby dan Vania masuk ke dalam mobil, beberapa saat setelahnya pak Edi membawa mobil yang mereka tumpangi keluar dari area rumah besar tempat mereka tinggal tersebut. Sepanjang perjalanan Aby sibuk memakan kukis kesukaannya. Tidak hanya itu, dia juga memakan beberapa coklat dan cemilan lain. Sesuai dengan penjelasan Mirna, Vania membawa makanan itu untuk bekal perjalanan. Vania sempat memandangi Aby. Dalam balutan pakaian yang kasual seperti sekarang lelaki di sisinya terlihat begitu memesona. Hanya penampilan saja yang berubah, tetapi sikap lelaki itu tetap sama, kekanakan dan tidak bisa diandalkan. "Kapan kamu dewasa, Aby? Egois nggak sih kalau aku ingin kamu seperti pria normal yang lain? Kamu tampan, tubuhmu bagus, tapi kenapa Tuhan menakdirkanmu menjadi anak-anak seperti ini? Seandainya saja kamu normal, aku pasti langsung jatuh cinta sama kamu." Wanita itu memandangi Aby sekali lagi. Tetap sama seperti pertama dia melihat visual lelaki itu, tampilan fisik Aby tidak ada yang mengecewakan. Hanya saja, kepribadian yang tidak normal menjadi pertimbangan lain dari sosok lelaki tersebut. "Ada apa?" Rupanya Aby menyadari kalau Vania tengah memerhatikan dia. Bukan menjawab, wanita itu justru tertawa terpingkal-pingkal karena melihat banyak coklat yang menempel di gigi Aby sehingga lelaki itu terlihat seperti ompong. "Ya Tuhan, Aby. Sini aku bersihin gigi sama area mulut kamu." Vania segera menarik lelaki itu agar lebih mudah dia gapai, mengeluarkan tisu dari dalam tas dan mulai membersihkan noda coklat yang menempel di sana sini. "Kenapa Vania tertawa? Apa Aby lucu?" tanya lelaki itu dengan polosnya. "Iya, kamu lucu sekali." "Aby sayang Vania. Bolehkah ...," "Jangan, Sayang. Sekarang sedang diperjalanan, terus ada pak Edi. Ciumnya nanti di rumah aja, ya. Vania tahu, kalau Abu selalu sayang Sama.Vania. Terima kasih, Aby Sayang." Vania memeluk ringan lelaki itu. Aby yang awalnya ingin protes kenapa tidak diizinkan mencium Vania pun tersenyum senang. Mereka sudah sampai di lokasi reuni. Vania memastikan Aby benar-benar bersih. Sebelum turun dia sudah memeriksa setiap sudut wajah lelaki itu. Tidak ingin ada sisa-sisa makanan menempel di sana. Vania turun lebih dulu diikuti oleh Aby yang tentu saja bersembunyi di balik punggung wanita itu. Dia mengintip dari balik punggung Vania dengan tatapan waspada. Dia tidak pernah keluar rumah sebelumnya, ini pertama kali dia pergi ke tempat umum setelah sekian lama Aby menghabiskan waktu di dalam rumah. "Jangan takut, temen aku baik semua, kok." Vania mencoba untuk menenangkan Aby. "Van-vania, Aby tunggu di mobil saja, ya?" Aby terlihat sangat gelisah. Lelaki itu memandangi sekeliling dengan tatapan tidak nyaman. "Sebentar saja, Aby. Nanti kalau kamu tidak tahan, aku akan telpon pak Edy untuk menjemputmu di dalam, ya? Aku akan memesankan es krim buat kamu, mau?" Vania merayu Aby, lelaki itu akhirnya mengangguk pelan. Wanita itu tersenyum lega karena berhasil membujuk Aby. "Vania, di sini!" Seorang wanita menggunakan kaos ketat berwarna kuning melambaikan tangan. Dari wajahnya Vania tahu, wanita itu adalah Eva. Vania melambaikan tangan sebagai respon kalau dia menyadari keberadaan Eva. Wanita itu mempercepat langkahnya dengan satu tangan menggandeng tangan Aby. Wanita itu bisa melihat teman-temannya saling berbisik. Dia yakin mereka sedang membicarakan Aby. Karena sampai sekarang, lelaki itu masih saja menyembunyikan diri di balik dirinya. "Halo semuanya, maaf aku terlambat." Vania membungkukkan tubuh sebagai tanda permohonan maaf. "Santai aja, Vania. Kita juga baru sampai." sahut Eva. "Kamu beneran Vania?" Romi justru menatap takjub ke arah wanita itu. Tatapan menelisik dari ujung kaki ke ujung kepala. Tersirat kekaguman yang mendalam dari sorot matanya. "Iya, aku Vania. Kamu Ro-romi?" Vania tergagap. Ya, Romi yang ada di hadapannya sekarang berbanding terbalik dengan Romi yang dulu. Lelaki yang dulu dekil sekarang berpakaian necis dan wangi. Dia juga cukup tampan, meskipun tidak setampan Aby. "Iya, dia Romi. Kenapa kaget gitu? Dia emang makin ganteng semenjak kerja kantoran." celetuk Eva sebelum Romi memberikan tanggapan. "Berlebihan kamu, Va. Ayo sini duduk di sebelah aku, Vania. Oh ya, dia siapa?" Tatapan Romi tertuju pada Aby yang masih saja berlindung di belakang Vania. Pada awalnya Vania ingin mengakui Aby sebagai suami, tetapi saat melihat mereka begitu keren, wanita itu berubah pikiran. Apalagi dengan keberadaan Romi, Vania mulai berpikir kalau dia mungkin bisa mengambil hati lelaki itu sekarang. "Dia anak tanteku. Namanya Aby. Aku sedang ditugaskan untuk menjaga dia makanya aku bawa kemari. Maaf kalau kalian merasa terganggu." Ada rasa bersalah di hati Vania karena harus berbohong, tetapi dia mencoba untuk tidak terlalu peduli. Hal yang paling penting baginya, bisa memanfaatkan apa yang dia miliki sekarang. Vania benar-benar duduk di sebelah Romi, sedangkan Aby ada di sebelah Vania. Lelaki itu menunduk, tidak berani menatap teman-teman Vania yang lain. "Nggak papa, Vania. Lagian malah buat tambah-tambah anggota, kebetulan ada banyak yang nggak bisa dateng. Kalau dilihat-lihat, dia ganteng juga, boleh kenalan nggak, sih?" Eva terlihat berminat pada Aby. "Maaf, Eva. Aby tidak bisa bersentuhan atau berinteraksi dengan banyak orang. Dia tidak sama dengan kita." Vania memberi kode pada Eva tentang kondisi Aby yang sebenarnya. Wanita itu mengangguk pelan dan menghela napas tanda mengerti. "Kamu tinggal dimana, Van?" Dian yang sejak tadi menyimak pembicaraan mereka ikut bergabung. "Aku tinggal di komplek Graha Asri blok F kalau kalian ada di sekitar situ, mampir aja." Vania mempersilakan mereka untuk berkunjung. Tentu saja untuk memamerkan bagaimana kehidupannya sekarang. "Wah, itu komplek perumahan elit. Keren kamu tinggal di sana. Pasti rumah kamu besar, boleh nih kapan-kapan kita maen," Sari yang tahu betul dengan komplek Graha Asri langsung berkomentar. Di sini kepala Vania menjadi semakin besar. Dia seakan memiliki kekuatan lebih untuk terlihat menonjol diantara temannya yang lain. "Kamu terlalu berlebihan, Sar." Vania pura-pura tersipu. "Serius kamu tinggal di sana?" Romi langsung terlihat tertarik. Memperlihatkan kekaguman dengan cara yang tak biasa. "Iya, aku tinggal di sana. Kamu tahu juga daerah itu, Rom?" Vania membalas tatapan Romi dengan lirikan penuh minat. Senyum wanita itu juga sengaja dibuat-buat untuk memikat perhatian lelaki tersebut. "Iya, aku tahu. Tanteku tinggal di sana juga. Kapan-kapan aku boleh mampir?" tanyanya kemudian. Vania mengangguk cepat. Dia benar-benar tidak akan menyiakan kesempatan kedua bertemu Romi. "Silakan, datang saja kapan pun." ucap Vania seakan tanpa beban. Mereka melanjutkan perbincangan. Larut dalam obrolan mengenai masa lalu mereka saat masih sama-sama berada di bangku SMA. Di dalam pertemuan ini sangat terlihat bagaimana Romi dan Vania menunjukkan ketertarikan. Sementara Aby, lelaki itu hanya sibuk dengan semangkok es krim tiga rasa berbagai toping yang ada di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD