Rumah Baru

1040 Words
"Jadi ini rumah kalian." Mirna menunjukkan sebuah rumah mewah yang dia hadiahkan pada Vania dan Aby. Vania takjub melihat rumah besar yang kini ada di hadapan mereka. Dia sudah lama sekali memimpikan rumah semewah itu untuk menjadi tempat dia tinggal. Sebaliknya, Aby justru terlihat tidak senang dengan tangan terus mendekap lengan Vania. "Mami, kenapa Aby sama Vania harus tinggal di sini? Mami sudah tidak sayang lagi sama Aby?" protes lelaki itu dengan mata berkaca-kaca. Mirna berbalik, mendatangi anaknya dan mengusap puncak kepala Aby dengan lembut. Sedetik kemudian,Mirna menarik Aby ke dalam pelukannya. Sebagai seorang ibu, Mirna tentu sangat sulit untuk bisa melepas Aby keluar dari rumah. Putranya begitu manja, tetapi melihat dia yang juga nyaman dengan Vania, Mirna pikir tidak ada ada yang salah kalau dia mulai memberikan kepercayaan pada gadis itu untuk merawat dan menjaga Aby. "Sekarang, Aby sudah menikah sama Vania. Jadi, Aby harus tinggal bersama Vania. Dia sayang sama Aby sama seperti mami sayang sama Aby. Iya kan, Vania?" Mirna mengalihkan pandangannya pada wajah Vania. "Iya, benar kata Mami, Vania sayang sama Aby." Vania ikut-ikutan mengelus puncak kepala Aby. "Kalau begitu, ayo kita masuk. Kalian harus melihat isi dari rumah ini." Mirna membuka pintu rumah besar itu. Saat melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah pemberian Mirna, Vania mengedarkan pandangannya. Semua perabot dan furniture yang tersedia di dalam rumah itu sangat mewah. Apa yang dijanjikan oleh Mirna memang benar-benar dibuktikan oleh wanita itu. Menikahi Aby bukan hal buruk bagi Vania, apalagi dengan semua yang bisa dia miliki sekarang, wanita itu justru merasa beruntung. Dia sudah membayangkan segala kemudahan yang dia dapatkan setelah tinggal di rumah yang dihadiahkan Mirna untuk dia tinggali bersama Aby. Dia bisa mengatur siapa yang boleh dan tidak berkunjung ke rumah itu. Vania juga mulai memikirkan untuk memiliki banyak teman. Dia bisa menarik perhatian mereka dengan kondisi ekonominya yang sekarang. Dia tidak mungkin berada di sisi Aby sepanjang waktu. Dia tentu saja memimpikan sebuah kebebasan. Sebagai wanita normal, Vania juga memimpikan pasangan normal yang bisa memberi dia kasih sayang dan kenyamanan. "Vania, kita pulang lagi ke rumah mami aja, yuk." rengek Aby seraya mengguncangkan lengan istrinya. "Aby Sayang, kita berdua harus tinggal di sini berdua. Aku akan menyayangi kamu seperti mami kamu sayang sama kamu. Jangan takut, kan bobonya sama aku nanti." Vania mengusap pipi Aby. Wanita itu sangat hati-hati memperlakukan bayi besarnya. "Kamu nggak akan ninggalin Aby, kan? Janji?" "Iya, nggak akan. Aku akan selalu di samping kamu dan membawamu kemanapun." "Terima kasih, Vania. Aby sayang Vania." Mendadak Aby beringsut dan memeluk Vania erat-erat. "Hei, kalian malah romantis-romantisan di sini. Ayo, mami tunjukin dimana kamar kalian." Mirna yang menyadari kalau mereka tidak mengikuti langkahnya kembali lagi dan memergoki Vania tengah dipeluk Aby. "Baik, Mi. Ayo, Aby Sayang, kita ikutin mami." bisik Vania, beruntung Aby mau menurut, meskipun tetap memegangi lengannya. Mereka berdua mengikuti langkah Mirna. Menjadi menantu keluarga kaya memang sangat menyenangkan. Hanya satu yang disayangkan, lelaki yang Vania nikahi bukan lelaki normal. Mereka bertiga berhenti di sebuah ruangan dengan pintu yang memiliki ukiran semi modern bercat warna emas. Mirna membuka pintu dengan dua buah daun itu. Vania terpana melihat isi kamar yang luasnya hampir tiga kali lipat kamar Aby sebelumnya. Isi kamar tersebut sangat lengkap. Ada televisi 42 inch, satu set sofa untuk menonton, sofa panjang untuk bersantai, lemari pendingin, ada juga kamar mandi dengan dinding kaca semi transparan. Di sudut kamar ada lemari kaca berisi tas, sepatu, dan berbagai aksesoris wanita lainnya. Satu lagi lemari kaca berisi gaun dan juga baju. Ranjang dengan ukuran king size juga tersedia di sana. Sangat mewah, Vania tidak pernah mengira akan mendapatkan tempat tidur baru yang memiliki fasilitas istimewa seperti ini. "Kalian suka dengan kamar baru kalian, Vania, Aby?" tanya Mirna seraya berbalik ke arah mereka berdua. "Suka, Mami." sahut keduanya hampir bersamaan. "Syukurlah kalau kalian suka. Kita lihat ruangan yang lain, yuk." ajak Mirna, mereka menurut dan mengikuti langkah wanita itu. --- Malam harinya. Vania masih menyelesaikan pekerjaannya, menata baju-baju mereka dari dalam koper. Sementara Aby, si manja itu tengah menonton film kartun sambil menikmati ciki kesukaannya. Setelah selesai, Vania melihat-lihat semua barang mewah yang diperuntukkan untuknya. Kalau bukan karena menikah dengan Aby, dia tidak akan mungkin sanggup membeli barang-barang itu, walau hanya satu buah sekalipun. Sepertinya, daripada kerugian, dia lebih banyak merasakan keuntungan dari pernikahan yang sekarang tengah dia jalani. Vania berjalan ke arah Aby, dia mendekap lelaki itu dari belakang dan mengecup puncak kepalanya. Aby mendongak dan tersenyum. "Kenapa, Vania?" tanyanya polos. "Nggak apa. Kamu lagi nonton apa?" "Upin dan Ipin. Temenin nonton, dong. Sini ...," Aby menepuk-nepuk bagian sofa yang kosong di sisinya. Vania menghela napas lalu berjalan ke arah sofa yang tengah diduduki Aby dan duduk tepat di samping lelaki itu. Tidak disangka, si manja langsung tiduran di atas pahanya. Awalnya Vania terkejut, tetapi sedetik kemudian dia mengelus rambut suaminya dengan lembut. "Vania, terima kasih." "Untuk apa?" "Aku merasa punya teman sekarang. Vania orang pertama yang baik sama aku selain Mami." Aby yang tadinya menghadap ke layar televisi berpindah menatap Vania. Tatapan polos itu membuat Vania yakin, siapapun yang melihatnya akan timbul rasa sayang di hati. Seperti dia sekarang yang mulai tumbuh rasa sayang pada bayi besar itu. "Vania juga nyaman bisa sedekat ini dengan Aby. Malam ini kamu mau makan pakai apa? Aku belum sempat memasak." "Mau telur mata sapi," pintanya manja. "Mau ikut ke dapur atau nunggu di sini aja?" "Ikut," rengek Aby yang sudah diduga oleh Vania. "Ya udah, ayo." Mereka berdua keluar dari kamar. Seperti biasa, Vania menggandeng tangan Aby. Lelaki itu duduk manis di meja makan sambil menunggu makanan pesanannya matang. Karena alasan inilah Mirna tidak mengizinkan Vania memakai jasa orang lain dalam hal masak memasak. Di rumah ini hanya ada asisten yang datang pagi dan pulang sore untuk membersihkan rumah. Khusus memasak, Mirna mempercayakan itu pada Vania. "Taraa! Telur mata sapinya sudah jadi, Aby Sayang. Mau pakai apa lagi?" tanya Vania sambil meletakkan secentong nasi di atas telur mata sapi buatannya. "Aby mau kecap." "Oke, ini dia. Selamat makan," Vania menyodorkan piring itu ke arah Aby. "Bisa minta tolong suapin?" Aby mengerjapkan matanya berkali-kali. Vania mengalah. Dia menjauhkan piring miliknya dan memilih untuk.menyuapkan makanan ke mulut Aby. Melihat lelaki itu makan dengan lahap, Vania tersenyum lega. Setidaknya dia berhasil mengasuh si bayi besar dengan baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD