Aku Mencintaimu

1215 Words
Di perjalanan pulang, Aby yang kekenyangan tidur pulas dengan menjadikan paha Vania sebagai bantal seperti biasa. Napas lelaki itu tampak sangat teratur, mendukung kepolosan yang terpahat di wajahnya. Dia tidur dengan tenang tak terusik seperti sosok pangeran tidur. Membuat siapapun yang melihat menaruh kekaguman, tidak terkecuali Vania. Dia sangat menikmati pemandangan indah tersebut. Wanita itu kembali mengulurkan tangan, mengelus lembut rambut Aby dari kening ke arah belakang. Seulas senyum terpatri di bibir wanita itu. Dengan ujung jari telunjuknya, Vania menyentuh batang hidung, ujung hidung, bagian atas bibir, hingga berhenti di bibir lelaki itu. Dia tidak bisa menyangkal kalau di dalam hatinya menaruh kekaguman pada sosok Aby. "Kamu sudah sampai?" Ponsel yang ada di tangan Vania menampilkan pesan tersebut. Pesan itu datang dari Romi, lelaki yang begitu memikat di mata Vania. Menyadari siapa pengirimnya, wanita itu langsung tersenyum lebar. Seakan sesuatu yang berhubungan dengan Romi mampu melambungkan wanita itu ke angkasa. Dia cepat-cepat membuka dan merespon pertanyaan Romi. Tidak ingin lelaki itu terlalu lama menunggu. Dia mengetik pesan balasan dengan senyum tetap terpatri di wajah. Momen ini terasa sangat istimewa bagi Vania. Satu hal yang ada di pikirannya, dia tidak boleh melepaskan Romi sekali lagi. Kali ini lelaki itu harus dia miliki. "Belum, Rom. Aku masih di jalan. Kamu sudah kembali ke rumah?" Wanita itu balik mengirim pertanyaan. Jantungnya berdebar-debar, menunggu balasan dari Romi. "Masih ada di sini. Kebetulan ada acara sama teman kantor dadakan. Aku tidak menyangka kamu akan berubah sedrastis ini, Vania. Sekarang kamu lebih cantik dan juga modis. Dilihat dari sisi manapun kamu begitu memesona." Romi membalas sekaligus mengirimkan kalimat romantis yang semakin membuat Vania berbunga-bunga. Bagi wanita itu, tidak ada lelaki yang lebih romantis dari sosoknya. Vania seperti dihadapkan oleh dilema. Secara visual dia menyukai Aby, tetapi secara kepribadian, dia jelas lebih memilih Romi. Bahkan, Vania sudah berkhayal kalau kehidupannya akan lebih baik saat bersama dengan lelaki itu. "Kamu berlebihan, Rom. Tidak ada yang berubah dari aku. Masih sama seperti dulu." balas Vania. "Termasuk perasaanmu?" Pertanyaan dari Romi membuat Vania mengerutkan kening. "Maksud kamu?" Vania mengirimkan pertanyaan itu untuk memperjelas apa maksud dari pertanyaan Romi. "Aku tahu kamu dulu suka sama aku. Apa sekarang kamu juga masih menyukaiku?" Wajah Vania mendadak panas. Wanita itu meneguk ludahnya sendiri. Meskipun saat ini Romi tidak ada dihadapannya, tetapi pertanyaan lelaki itu langsung membuat dia tersipu malu. Ingin rasanya Vania bersembunyi. Sayang sekali dia tidak bisa melakukan hal itu. "Haha, bisa jadi." Dengan tangan gemetar, Vania hanya sanggup menuliskan dua kata tersebut. Dia tidak mungkin bilang kalau perasaan itu masih ada. Membayangkan Romi menolaknya, itu terlalu mengerikan. "Aku berharap kamu masih memiliki perasaan yang sama seperti dulu karena aku juga sebenarnya memiliki perasaan yang sama denganmu, Vania." Vania menutup mulutnya yang menganga dengan satu tangan. Dia mengulang beberapa kali membaca pesan yang baru saja dia terima dari Romi hingga dia yakin kalau sedang tidak salah baca atau berhalusinasi. "Kamu tidak boleh bercanda, Romi. Bagaimana kalau aku jadi baper?" Vania tentu saja tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan. Dia ingin mendapatkan kepastian dari pesan yang baru saja dia baca. "Aku tidak sedang bercanda, Vania. Apa perlu, aku datang malam ini ke rumahmu?" Vania meraup wajahnya dengan satu tangan. Dia tidak mungkin mengizinkan Romi datang ke rumahnya dan Aby secepat ini. Setidaknya dia harus mengadakan kesepakatan terlebih dahulu dengan Aby supaya lelaki itu tidak mengadukan tindakan yang dia lakukan pada Mirna. Belum sempat Vania menulis balasan, Aby terlihat sedikit terusik dan mengubah posisi tidur menghadap ke perut wanita itu. Bahkan dia memeluk dan mendekatkan wajahnya ke area perut Vania hingga memberikan sedikit tekanan. Dia berusaha mengusap kepala bagian belakang Aby agar lelaki itu kembali pulas. Meski sebenarnya rasa geli dari embusan napas Aby yang terasa menggelitik mengundang Vania untuk tertawa. "Malam ini aku ada acara keluarga. Mungkin lain kali." Vania terpaksa berbohong untuk menutupi kebohongan yang lain. Dia perlu waktu untuk menyusun semuanya. Dia tentu saja tidak akan membiarkan pernikahan bersyaratnya dengan Aby berantakan karena terlalu cepat mengambil keputusan. "Oke, aku akan menunggu sampai kamu ada waktu." Tulis lelaki itu. Vania hanya membalas dengan kata 'ok' saja. Dia menyadari kalau mobil yang dia tumpangi bersama Aby sudah memasuki halaman rumah mereka. Dengan pelan dan perlahan Vania membangunkan suaminya. Lelaki itu sempat menggeliat hingga pelan-pelan mulai membuka mata. Wanita itu langsung menyambutnya dengan senyuman manis. "Kamu masih mengantuk?" tanya Vania lembut, Aby mengangguk cepat. "Kita masuk, nanti aku akan menemanimu tidur, yuk." ajak Vania, seperti biasa Aby menurut. Dia ikut turun dan segera merangkul lengan istrinya seperti biasa. Memiliki suami seperti Aby sebenarnya tidak buruk. Lelaki itu penurut dan tidak banyak menuntut. Hanya saja sebagai wanita normal Vania ingin pasangan yang bisa mengerti dia, memberikan perlindungan, dan juga romantis. Seseorang yang bisa memperlakukan dia layaknya wanita kebanyakan. Seperti biasa, di atas tempat tidur Aby berada di pelukan Vania. Lelaki itu berada lebih rendah dari istrinya seperti layaknya seorang ibu yang tengah menidurkan balita. Vania sendiri sudah mulai terbiasa dengan tugasnya yang abnormal tersebut. Saat Aby sudah hampir terlelap, tiba-tiba saja ponsel Vania berdering. Rupanya Mirna, dia yakin wanita itu pasti ingin mengetahui bagaimana kondisi anaknya sekarang. Vania maklum, lelaki yang ada di dalam dekapnya sekarang adalah putra semata wayang kesayangan Mirna. Sebagai seorang ibu yang baru saja terpisah dengan anak, pastilah dia merasa rindu. Vania segera menekan tombol hijau dan menerima panggilan dari mertuanya. Aby terlihat mengerjap beberapa kali karena terganggu dengan suara ponsel yang berdering tepat saat dia ingin memejamkan mata. "Halo, selamat sore, Mi." Vania berusaha bersikap semanis mungkin dihadapan mertuanya. "Sore, Vania. Bagaimana keadaan kalian? Sehat?" Terlihat sekali dari nada suaranya, Mirna mengkhawatirkan keduanya. "Kami sehat, Mam. Bagaimana keadaan Mami?" balas Vania. "Mami baik. Boleh mami bicara dengan Aby sebentar?" "Boleh, Mi. Ini Aby." Vania menempelkan ponselnya ke telinga Aby. "Ini Mami, mau ngomong sama kamu." kata Vania ke Aby. "Mami," panggil Aby dengan nada manja. Mata lelaki itu langsung berkaca-kaca. "Aby Sayang, mami kangen sekali sama kamu. Kamu betah, kan di sana? Vania sayang sama kamu, kan?" "Aby juga kangen sama Mami, kapan Mami jemput Aby? Aby mau pulang." Lelaki itu justru sesenggukan, tidak merespon pertanyaan Mirna. "Nanti mami pasti main ke rumah Aby. Vania sayang sama Aby, kan?" Mirna kembali bertanya sementara lelaki itu mengingat kembali momen Vania sering mencium bibirnya dan wanita itu bilang kalau dia mencium bibir Aby karena sayang. "Iya, Vania sayang sama Aby. Dia sering cium bibir Aby." kata lelaki itu polos. Vania meringis sambil menutup wajahnya dengan tangan. Dia tidak tahu lagi bagaimana bisa menunjukkan muka di hadapan Mirna. "Uhuk (suara Mirna batuk tiba-tiba hingga beberapa kali). Sudahlah, mami tahu kalian saling mencintai, kalau begitu mami masak dulu, ya." Mirna menutup sambungan teleponnya. Aby menatap Vania serius hingga membuat wanita itu bingung, mengapa tiba-tiba suaminya bersikap seperti itu. "Ada apa, Aby?" tanyanya penasaran. "Mencintai itu apa?" tanyanya polos. Vania memutar otak, dia harus memberikan penjelasan yang mudah dimengerti oleh Aby. "Oh, mencintai itu sama dengan pelukan, seperti kita. Kita pelukan seperti ini tandanya saling mencintai." jelas Vania asal. Dia harap Aby puas dengan jawaban yang dia berikan. "Kalau begitu, Aby akan selalu mencintai Vania." Tiba-tiba saja lelaki itu memeluk Vania erat. Awalnya Vania ingin tertawa melihat tingkah Aby, tetapi seiring kemudian dia membalas pelukan lelaki itu dengan hangat dan tulus. "Aku juga mencintaimu, Aby." balasnya dengan berbisik. Kali ini suara itu benar-benar keluar dari hatinya. Dia memang mencintai Aby.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD