"Tante, sebentar. Aku akan membangunkan Aby dulu." Vania meminta izin pada Mirna untuk membangunkan suami manjanya.
Mirna adalah orang tua tunggal. Dia telah lama bercerai dengan suaminya karena papa Aby tidak bisa menerima keadaan putra mereka yang mengalami gangguan mental. Ayah Aby merasa malu karena memiliki putra yang tidak dapat dibanggakan.
Mirna sangat berterima kasih kepada Vania yang mau merawat dan menikah dengan Aby. Wanita itu berpikir, di hari tua nanti, dia dapat mengandalkan Vania untuk menjaga putra semata wayangnya. Hal tersebut menjadi alasan mengapa Mirna rela berbagi keuntungan hanya untuk mendapatkan istri untuk Aby.
Sebagai seorang ibu dia paham, kalau caranya memaksa Vania menikahi anaknya bukanlah langkah yang benar, tetapi tidak ada cara lain untuk mendapatkan seseorang yang mau menikah dengan Aby selain dengan cara itu. Siapa yang mau memiliki suami tidak normal seperti anaknya kalau tidak ada kelebihan yang dimiliki? Karena alasan ini, menurut Mirna, hanya uang yang dapat membantu dia menyelesaikan masalah yang sedang dia hadapi.
Vania melangkah cepat melewati beberapa ruangan. Sesekali, dia melihat-lihat rumah mertuanya yang lima kali lebih besar dari rumh yang dia tinggali bersama keluarga. Bisa menjadi keluarga Nata Negara adalah suatu kebanggaan, tetapi sayang,Tuan Muda di rumah itu adalah seorang bayi besar.
Saat Vania membuka pintu, Aby masih tidur lelap dengan memeluk boneka harimau besar. Vania menahan tawa seraya menatap lelaki yang tidur sambil memeluk boneka tersebut. Kejadian itu mengingatkan Vania pada anak tetangganya yang masih berusia lima tahun. Benar-benar menggemaskan.
Vania mendekati Aby. Dia duduk perlahan di samping lelaki itu. Sebelum membangunkan, Vania membelai wajah Aby. Kalau dia pria normal, wanita itu tidak keberatan untuk belajar mencintai suaminya, tetapi sayang kenyataan yang di hadapinya berbanding terbalik. Aby jauh dari kata normal.
"Aby Sayang, bangun, sudah siang. Aku sudah masak ayam goreng spesial buat kamu. Bangun yuk," Vania mengguncang perlahan tubuh Aby. Lelaki itu membuka mata perlahan lalu bangkit dari posisi dia semula seraya mengucek mata khas orang yang baru saja bangun tidur. Dia juga mengerjapkan mata beberapa kali.
"Mmh ... peluk," pintanya sambil mengulurkan kedua tangan. Vania memberikan apa yang Aby mau. Dia mendekap lelaki itu dengan penuh kasih sayang. Vania tidak ingin membuat bayi besarnya ngambek seperti semalam.
"Kamu suka?" tanya Vania, Aby mengangguk cepat. Si bayi besar mengeratkan dekapannya, pertanda dia merasa sangat nyaman berada dalam pelukan wanita itu.
"Vania, tolong mandikan aku." pintanya. Lagi-lagi permintaannya tidak normal menurut Vania.
"Aku? Mandiin kamu?" tanya Vania tidak percaya. Aby mengangguk polos.
"Ka-kamu bisa mandi sendiri kan? Gimana kalau kamu belajar mandi sendiri?" Vania berbicara dengan sangat lembut, tetapi reaksi Aby tetap sama. Dia ngambek, menggeser tubuhnya menghadap ke sisi ranjang yang lain dengan raut wajah muram.
"Aku maunya dimandiin kamu, Vania. Kalau nggak mau mandiin, aku mau mandi sama Mami." ocehnya.
"Aby, Sayang, kok ngambek sih? Oke, ayo kita mandi. Aku akan mandikan kamu. Jangan ngambek lagi dong," Vania berusaha merayu Aby sambil mendekap lelaki itu dari belakang. Mendengar itu, Aby berbalik dan langsung mendaratkan bibirnya di bibir Vania.
"Aku sayang Vania. Terima kasih. Ayo mandi sekarang." Aby menarik tangan Vania, wanita itu mengikuti langkah Lelaki itu. Tampaknya Aby tidak menyadari kalau pipi Vania memerah akibat tindakan spontan yang dia lakukan.
"Vania, aku mau berendam air hangat." rengeknya.
"Baik, tunggu. Aku akan menyiapkan air untukmu." Vania segera menyiapkan air mandi untuk Aby. Lelaki itu menunggu dengan setia sambil bersandar di dinding kamar mandi.
Vania melihat kamar mandi Aby juga memiliki ciri khas kamar mandi milik anak-anak. Di pinggir bathup ada beberapa mainan, seperti hiu karet, bebek kecil, ada juga kapal-kapalan. Vania kembali tersenyum saat mengamati sekeliling. Dia sampai membayangkan Aby berada di dalam bak mandi dengan semua mainan tersebut. Pasti menggemaskan sekali, batinnya.
"Nah, airnya sudah siap, Aby Sayang. Sekarang buka bajumu dan cepat berendam." perintah Vania diiringi senyuman manis. Dia harus selalu bersikap lemah lembut di hadapan Aby, karena hanya itu cara untuk membuat lelaki itu tetap nyaman dalam pengawasannya.
"Hwa! Aby, kenapa kamu telanjang?" Vania setengah berteriak, ia segera menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan berbalik. Dia tidak menyangka, Aby akan bertelanjang bulat di hadapannya tanpa malu.
"Bukannya aku mau mandi, Vania? Memangnya Kamu kalau mandi memakai baju, ya?" tanyanya polos, Vania gagal marah karena pertanyaan konyol Aby.
"Ya sudah, iya, aku yang salah. Aby sekarang cepat masuk ke dalam bak. Bilang sudah kalau sudah masuk." Vania menginstruksi. Dia tidak mau melihat sesuatu yang tidak seharusnya dia lihat.
Aby segera masuk ke dalam bak mandi sesuai dengan permintaan Vania. Setelah memastikan tubuhnya terendam air dengan baik dia memasukkan bebek mainan beberapa ke dalam bak. Persis seperti apa yang dibayangkan oleh Vania.
Vania masih terbayang tubuh polos suaminya. Sebagai seorang laki-laki, postur tubuh Aby sangat bagus. Melihat tubuh lawan jenis untuk pertama kali berhasil membuat Vania gemetar. Ada rasa penasaran dan malu secara bersamaan, hal itu membuat pipi Vania memanas.
"Vania, aku sudah masuk." Aby memberi kode. Vania segera berbalik dan memasang wajah tersenyum di hadapan Aby. Separuh tubuh lelaki itu tenggelam dalam busa. Vania berjalan mendekat, mengambil spons mandi dan menuangkan sabun cair di atasnya, dia mulai membuat busa lalu mulai menggosok badan suaminya perlahan, sementara Aby justru asyik memainkan mainannya.
"Aby, memang biasanya kamu mandi sama Mami?"tanya Vania penasaran. Masih sambil menggosok badan Aby.
"Nggak. Aku nggak pernah di mandiin Mami." jawaban Aby membuat Vania terkejut.
"Kamu nggak pernah di mandiin Mami, terus kenapa kamu minta mandiin aku?" Vania membutuhkan alasan mengapa Aby memintanya memandikannya.
"Pengen aja." jawab lelaki itu singkat.
"Dasar kamu." Vania menarik pipi Aby pelan, lalu menuangkan sampo ke rambut lelaki itu dan mulai memijatnya. Si bayi besar cuek, dia lebih memilih untuk memainkan sebuah kapal-kapalan.
"Zu..., zu..., zu," ocehnya sambil menjalankan kapal mainan di atas air dengan bantuan tangannya.
"Kamu seneng nggak, jadi pengasuh Aby? Aby nakal nggak?" tanyanya di sela-sela bermain.
"Seneng. Ini pertama kalinya aku mengasuh. Apalagi kamu ganteng." kata Vania jujur, masih dengan memberikan pijatan di kepala Aby.
"Jadi, kalau Aby jelek, kamu nggak mau ngasuh?" celetuk Aby. Vania menggaruk kepalanya, merasa salah bicara.
"Nggak gitu juga. Dongakkan kepalamu Sayang, biar aku bersihkan busa samponya." Aby mengikuti instruksi Vania, mendongakkan kepala sambil memejamkan mata.
'Ya Tuhan, ganteng banget sih bayi besar ini. Penurut, manis, sayangnya dia masih berjiwa anak-anak. Kapan kamu dewasa, Nak?' batin Vania bergejolak. Dia berusaha mengabaikan pesona Aby.
"Udah belum? Leherku sakit Vania." kata-kata Aby mengingatkan Vania yang terlalu lama membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya.
"Ma-maaf Aby. Duh, sakit ya? Sini Vania pijit biar nggak sakit lagi." Vania segera meletakkan gagang shower lalu memijat leher si bayi besar. Dia mengutuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia terlena saat melihat ketampanan Aby.
"Pijitan Vania enak, persis pijitan Mami. Aby suka." komentar lelaki itu sambil meneruskan mainnya.
'Vania, namanya bayi tetep aja bayi. Nggak bisa jadi dewasa. Nggak usah ngarep deh.' sisi hati Vania yang lain mengingatkan. Gadis itu menghela napas. Vania sempat berpikir, kalau dia seumur hidup harus menghabiskan waktu bersama Aby, itu artinya dia tidak akan pernah merasakan indahnya cinta. Rasa penyesalan pun semakin nyata. Tapi semua sudah terjadi, dia harus menerima konsekuensi dari keputusan yang dia ambil.