Aku tidak dapat menghilangkan bayangan ketika Ethan memelukku malam itu. Sampai-sampai aku memimpikannya.
Aku tahu ini terdengar gila dan aneh. Tapi begitulah kenyataannya. Aku bahkan tidak pernah tau bahwa efek dari pelukan seorang playboy seperti Ethan akan sedasyat ini.
Siang itu aku sedang berjalan di koridor kampus bersama satu satunya sahabat perempuanku, Lucy Cordero. Dulu kami sangat sering bersama, tapi kemudian Lucy pacaran dengan salah satu teman Ethan-Daniel Gilinsky, kami jadi tidak terlalu sering hag out lagi. Walaupun begitu, terkadang di tengah malam Lucy mengetuk jendela kamarku, dengan rambut penuh hairspray, dan mabuk. Saat itulah aku tau, kami masih bersahabat.
Dan karena Matthew Anderson sedang di luar kota saat ini, aku secara paksa menariknya dari pelukan Daniel Gilinsky. Also, aku juga merindukan sahabat perempuanku.
"Kau harus menceritakan secara detail?! Apa kalian bermain dengan kondom?! Hell-girl. Kukira kau masih perawan."
Pertama, aku berbohong pada Matt tentang menceritakan semuanya pertama padanya karena sekarang aku menceritakan semuanya pertama pada Lucy. Dan kedua, aku menyesal menceritakannya pada Lucy.
"Ayolah, my lil b***h. Kau bisa berbagi denganku. Apa kalian bermain dengan banyak gaya? Kata seseorang yang pernah ditiduri Ethan, dia jarang memberikan blowjob padahal Ethan jago sekali blowjob."
Kami berbelok masuk ke toilet wanita. Dan Lucy masih terus mengoceh dengan kecepatan lebih dari 100 mil per jam, kurasa. Demi tuhan, aku harus mengecek telingaku ke dokter sepulang ini. Rasanya berdenyut-denyut.
"Lucy, dengar. Pertama, kecilkan suaramu, gendang telingaku sakit! Kedua, kami tidak melakukan apa-apa, okay? Semalam itu hanya acara makan malam keluarga yang membosankan. Sepanjang makan malam mereka mengoceh tentang bisnis yang aku sama sekali tidak paham."
Aku menarik napas sejenak, "Dan ketiga, stop calling me b***h! Aku bahkan tidak menciumnya!"
Lucy terlihat berpikir sejenak, lalu kembali melotarkan senyum menggoda yang sangat mengganggu.
"Apa dia setidaknya menggodamu? Misalnya mencoba menciummu diam-diam dibelakang orang tua kalian? Oh, ayolah nona pelit! Ceritakan sedikit saja."
Aku melihat pantulanku di cermin. Menarik napas perlahan, yasudahlah. Lucy pasti tidak akan berhenti sebelum aku jujur padanya.
"Dia-hmm-pernah menciumku. Itu... hanya sekilas."
Lucy menganga lebar, "Kau pasti bercanda! Ceritakan rinciannya! Bagaimana rasanya dicium Ethan Gilbert?! Apa kau bisa mengimbangi permainannya? Oh! Apa dia meremas bokongmu ketika kalian b******u?!"
Aku terkekeh melihat ekspresi Lucy yang begitu penasaran.
"No, Lucy. No. We were just kissing." Aku memutar kembali ingatanku pada hari dimana Ethan mencuri ciuman pertamaku, "Itu terjadi begitu saja, you know. Dia mencurinya dariku."
"Astaga. Astaga. Astaga. Astaga. Aku tidak percaya! Kau wanita paling beruntung di kampus ini, dude!"
Aku hanya tertawa menyaksikan Lucy yang menggocang-goncangkan bahuku dengan ekpresi takjubnya yang berlebihan.
"Lalu? Apa lagi yang pernah kalian lakukan?"
Aku tersenyum pada bayanganku dicermin, "Semalam, dia... memelukku. Pelukan yang konyol. Tapi entah kenapa... aku merasa tenang dipelukannya."
Lucy diam, "Hanya itu? Pelukan?"
Itu bukan hanya "hanya itu". Itu lebih.
"Kau tidak akan mengerti, Luce."
Tepat setelah aku menyelesaikan ucapanku, sebuah pintu toilet terbuka. Seorang wanita keluar dengan tatanan yang berantakan. Baju merosot, rambutnya acak-acakan, dan lipstik yang belepotan.
Tentu saja hal seperti ini sangat biasa di kampus dan aku sendiri sudah biasa dengan pemandangan seperti itu.
Hanya saja, ada sesuatu menghentakkanku. Sesuatu yang sebenarnya sudah biasa, tapi kali ini terasa berbeda.
Urat-uratku terasa tegang saat melihat bayangan Ethan dari pantulan cermin yang baru saja keluar dari pintu toilet yang sama dimana wanita itu keluar.
Aku membalikkan badanku, untuk memastika bahwa apa yang kulihat barusan salah. Tapi tak dapat kupungkiri bahwa mata hijau itu yang kini tengan memandangku teduh.
Wanita yang keluar bersama Ethan berceletuk, pada Lucy. "Ciumannya amazing, dude."
Lucy terlihat sama terkejutnya sepertiku. Tak bisa menahan gejolak dalam dadaku, aku buru-buru menarik Lucy keluar dari toilet itu.
Astaga.
Aku pasti sudah kehilangan akal.
•••
Sudah tiga hari berlalu semenjak hari itu dan aku belum berbicara sepatah kata pun pada Ethan. Sering kali aku melihat Ethan tersenyum padaku saat kami berpapasan, tapi aku hanya menunduk. Perasaanku campur aduk setiap melihat wajahnya.
"Hi."
Aku menoleh, dan napasku tercekat saat melihat siapa yang menduduki kursi di sebelahku. Astaga. Dia seperti hantu. Beberapa detik yang lalu aku memikirkannya, dan dia muncul begitu saja dihadapanku.
"Hi." Rasanya begitu canggung.
"Kau menghindariku." Ujar Ethan. "Kenapa?"
Aku gugup. Kenapa Ethan sangat to the point? Dia tampak sangat tenang, beda denganku yang gelisah dan penuh keringat memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya. Lebih tepatnya, jawaban yang tepat untuk menyakitinya. Seperti dia menyakitiku.
"Kau tidak sepenting itu untuk kuhindari." Aku tidak berani melihat matanya, "Ada apa kemari?"
Ethan menghembuskan napas berat, dan saat itu aku tahu aku berhasil menyakitinya.
"Ibuku ingin kau datang ke butik siang ini. Kau bisa memilih gaun pernikahan untukmu."
"Okay."
Aku menyungging senyum tipis, lalu mengalihakan perhatianku pada ponsel. Tidak tau apa yang harus kulakukan, aku hanya mengecek beberapa sosial media yang tidak terlalu penting.
"Biarkan aku mengantarmu."
"Tidak perlu." Kataku begitu cepat. Aku sendiri terkejut dengan ucapanku.
Ethan mengeluarkan ekspresi tersinggung, "Bahkan tanpa pertimbangan,"
“Maksudku…” Aku cepat-cepat menambahkan. "Aku sudah janji akan pergi bersama Lucy."
Ethan terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Baiklah. Tapi tolong pergi bersama Lucy. Dan, jangan segan-segan untuk menghubungiku jika sesuatu terjadi."
Aku mengupat, "Seperti kau peduli saja."
Ethan menghela napas."Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, B."
Ada naluri tersendiri yang membuatku ingin sekali menjawab Ethan dengan ketus. "Tidak perlu repot-repot mengkhawatirkanku, Gilbert. Lagipula kau punya terlalu banyak gadis. Akan sangat susah jika kau harus menjaga semuanya sekalian. Biarkan aku mengurangi bebanmu."
Ethan menatapku dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. "Kau… cemburu?"
"Cem-cemburu? Padamu? Kau bercanda, Gilbert?" Aku menyingkirkan beberapa rambutku ke belakang telinga.
"Not even a little?"
Aku menggeleng, “Nope!”
Astaga. Panas sekali disini.
Ethan tertawa, garing. "Entahlah. Terasa seperti itu."
"Cuma imajinasimu, Gilbert."
Aku bangkit dari kursiku, namun Ethan menahan tanganku. Ia menggengam tanganku, cukup lama. Seperti mempersiapkan sesuatu, dan dia butuh pegangan.
"Maksudku-kau jangan salah paham. Apapun yang kulakukan padamu, aku hanya bermain-main."
Aku tidak pernah merasa sakit hati, sampai sekarang. Aku merasa... dipermainkan. Dan itu, benar-benar sakit.
Ethan tidak melihatku sama sekali. "Aku ingin menjagamu hanya karena kau milik sahabatku."
Dia bohong.
Oh, tuhan, kenapa dia bohong?
"You know what," aku bangkit berdiri, "f**k off, you jerk!"
Ethan mencegatku, lagi-lagi. Kali ini dia berdiri tepat di depanku, dengan kedua tangannya mencengkram bahuku. "Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjawabku dengan jujur, B. Apa kau marah karena aku 'bermain' bersama gadis itu di toilet?"
Aku mendorongnya dengan kuat, "Kau juga harus jujur jika kau ingin jawaban jujur dariku, jerk. Menjawab pertanyaanmu, aku tidak marah padamu. Aku hanya baru ingat kalau aku tidak berteman dengan cowok yang meniduri sembarangan gadis."
Awalnya kukira, puncak emosiku adalah karena mendengar ucapannya. Tapi kemudian, api kemarahanku semakin berkobar saat aku berpapasan dengan cewek yang di toilet bersama Ethan.
Saat itulah aku sadar, aku... memang cemburu.
Malam harinya, aku mendengar pintu rumahku di ketuk. Saat itu, ibu dan ayah sedang tidak di rumah. Aku yang membukanya sendiri.
Tidak ada orang.
Hanya pekarangan rumahku yang terlihat sepi tanpa ada tanda-tanda keberadaan siapapun. Aku sedikit ngeri. Tapi, ketika aku hendak menutup pintu, mataku menangkap sesuatu.
Sebuket mawar putih yang besar, tergeletak di depan pintu rumahku. Aku memungutnya sambil celingak-celunguk. Harum bunga itu membuatku tenang. Awalnya kukira, mungkin buket ini dari Matt. Sampai aku menemukan sebuat note yang tersilip diantara bunga-bunga itu.
[Sorry for being a liar jerk who f**k random girls. But, just because the only girl he want doesn't want him back.
See you at the wedding.
-a liat jerk who f**k random girls]
[Maaf karena menjadi b******k pembohong yang meniduri sembarang gadis. Hanya karena satu-satunya gadis yang ia inginkan, tidak menginginkannya kembali.
Sampai jumpa di pernikahan.
-b******k pembohong yang meniduri sembarang gadis]