Aku melihat Ethan sedang bersandar di salah satu dinding saat aku keluar dari kamar mandi. Matanya terpejam dengan tenang. Aku mendekatinya perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun yang akan membuatnya terganggu.
Aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas saat sudah berada di hadapannya. Deru napasnya terdengar sangat damai. Mata Ethan terbuka perlahan. Warna hijau dari matanya yang sempat hilang beberapa hari, kini aku melihatnya lagi.
Untuk waktu yang tidak kuketahui, kami hanya seperti itu. Saling bertatapan. Bertukar... rindu.
"Bagaimana bahumu?" Aku membuka pembicaran.
"Jangan khawatir." Aku baru akan menyanggah ucapan Ethan, tapi lelaki itu cepat-cepat menambahkan, "Aku pulih total malam ini, karenamu."
What?
Ethan Gilbert merayuku? Hah! Aku tidak percaya ini. Well, dia memang sering merayuku dengan sifatnya yang agresif itu. Tapi kali ini dengan ucapan murahan?
Aku tertawa geli.
"Aku serius." katanya penuh penekanan. "Kau sangat cantik, B."
"Thank you." Aku berias lebih dari sejam setengah untuk itu. "Begitu juga denganmu, Gilbert. Terlihat seperti pria baik-baik."
Ethan menegapkan tubuhnya dan sedikit mengejutkanku karena tiba-tiba saja jarak kami menjadi sangat dekat.
"Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu."
Aku tidak bisa berpikir. Bibir Ethan tepat di depan mataku. Dan itu sangat dekat. Sampai-sampai membuatku gugup.
"Oke."
Aku mengikuti Ethan yang berjalan di sebelahku. Ada perasaan aneh menyadari bahwa dia bahkan tidak menggenggam tanganku saat kami berjalan.
I know, but... aku merasa seperti sedang berkencan dengan Ethan. Dan itu aneh mengetahui pasangan kencanmu tidak menggenggam tanganmu.
"Kita sampai."
Aku terlalu larut dalam pikiranku sampai tidak menyadari bahwa kami tiba. Aku menyisirkan pandanganku ke sekeliling.
Hollyshit!
Hamparan kolam renang dengan biru menyala terpampang nyata di depan mataku. Seumur hidup, itulah pertama kali aku melihat air se-menyala-itu. Hal paling indah, air terjun. Ada tiga buah air terjun yang airnya mengalir ke kolam utama.
"Tempat favorite-ku di rumah ini."
Aku tidak merubris ucapan Ethan, karena aku setuju. Tempat ini… sesuatu. Kakiku dengan sendirinya tergerak mendekati jembatan yang menghubung ke tempat santai yang terletak di tengah kolam.
"Wow."
Aku tidak peduli apakah aku terlihat bodoh di depannya, tapi kolam ini mencuri hatiku. Aku mendudukkan diriku di tempat santai berbentuk bundar yang di kelilingin oleh bantal-bantal kecil dengan sarung yang lucu.
Mataku sangat asik memperhatikan sekeliling, sampai aku tidak sadar, Ethan menempati tempat di sebelahku.
"Ini indah sekali, Ethan!"
Aku merasakan Ethan tersenyum sambil memandangku, "Ya, aku tau."
Setelah itu, tidak ada yang bersuara di antara kami. Hanya deru angin yang terdengar begitu tenang. Dan baru saat itu aku merasakan hawa dingin yang mengigiti kulitku yang telanjang.
"Kenapa kau tidak masuk kampus?" Aku bertanya pelan. Saat aku menoleh, Ethan sedang memandangiku. "Apa bahumu separah itu?"
"Jangan bertanya seakan kau benar-benar khawatir padaku. Aku bisa salah paham, B." Katanya masih memandangiku, dengan senyum kecil di sudut bibirnya. “Kau tidak merindukanku, kan?”
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menusuk hatiku malam itu. Aku menggeleng sambil tersenyum sangat tipis, "Sama sekali tidak."
Ethan diam. Senyumnya menghilang. Ia menghembuskan napas, entah untuk apa. Lalu kembali memandangi tiga air terjun di hadapan kami.
"Damn it, Bianca! Kau membuat dadaku sesak hanya dengan gelengan kepala—"
Dia tidak dapat menyelesaikan ucapannya ketika telponku tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan masuk dengan ID caller Matty. Aku cepat-cepat mengangkatnya.
"Matt!"
Aku menoleh pada Ethan untuk mengisyaratkan ia agar tidak bersuara. Ia mengangguk pelan lalu langsung membuang muka.
"Hey, B. Apa kebetulan kau sedang tidak di rumah? Karena dari tadi aku di depan rumahmu berdiri seperti orang idiot."
Aku terlonjak, "Kau dirumahku?!"
"Iya, tapi tak apa. Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu. Besok aku tidak pergi ke kampus. Jadi hati-hatilah disana tanpaku, paham?"
"Kenapa? Kau sakit?"
"Tidak juga. Aku harus pergi ke suatu tempat."
"Kau bisa menelfon. Tak perlu harus ke rumahku. Itu membuatmu repot, Matt."
"Hm-sebenarnya aku pulang ke kampung halaman. Ibuku sedang sakit. Aku mengambil cuti selama dua minggu. Jadi.. Aku hanya ingin memelukmu." Aku mendengar suara tawa kikuknya.
Aku terdiam, "Sialan Matt, aku jadi merindukanmu bahkan sebelum kau pergi."
Ia tertawa di ujung, "Ingatlah. Jaga dirimu, Nak. Kau harus tahu aku menyayangimu."
"Aku juga menyayangimu, Matt."
"Sampai jumpa dua minggu lagi, My B."
Aku tertawa, "Sampai jumpa dua minggu lagi, My Matt."
Senyumku masih terus mengembang bahkan setelah aku menutup telepon. Suara Matt selalu ada tempat tersendiri di hatiku, yang membuatnya terasa hangat setiap kali aku mendengarnya.
"Panggilan kesayangan yang kuno."
Dan, voila! Ethan berubah menjadi Ethan f*****g Gilbert yang mengesalkan lagi. Sama seperti saat pertama kali kami saling kenal. Aku tau dia berkata begitu hanya untuk membuatku kesal. Tapi tak kan kubiarkan itu terjadi.
"Terserah apa katamu. Lagi pula kami punya alasan!" Kataku berusaha tetap sabar, "Waktu acara homecomming Highschool, Troy yang harusnya berpasangan denganku, berubah pikiran dan malah mengajak temanku-Melani untuk ke acara itu.
"Karena merasa sangat terhina, aku memaksa Matt untuk menjadi pacar sandiwaraku. Saat itu, Matt merasa aneh memanggilku Baby, jadi dia menggantinya menjadi my B."
Ethan diam sesaat.
"Troy pasti cowok bodoh karena mau menukarmu dengan cewek manapun." Suaranya melembut, seperti Ethan beberapa hari ini. Hanya sesaat. Lalu tiba-tiba berubah ketus lagi, "Tapi tetap saja, panggilan kesayangan yang kuno!"
Aku menyesal sudah gugup mendengar kalimat pertamanya.
"Kau hanya iri pada kami, Gilbert. Karena kau tidak punya siapa-siapa untuk kau panggil dengan panggilan kesayanganmu." Cibirku.
"Aku punya."
"Ohya?" Aku penasaran sekali, “Siapa itu?”
Dia menganguk polos. "Kau. Aku akan memanggilmu dengan panggilan kesayanganku."
Wajah Ethan sangat santai saat mengatakan itu. Hampir saja aku mengira perkataannya tadi itu serius.
"No, thanks. Sebaiknya kau mencari gadis tidak beruntung lainnya untuk kau panggil dengan panggilan kesayanganmu. Aku sudah mendapatkan keberuntunganku sendiri."
Ethan diam. Dan aku juga ikut diam. Kami hanya seperti itu untuk beberapa saat. Udara malam terus menerpa kulit telanjangku. Beberapa kali aku harus mengusap-usap telapak tanganku, berharap dapat menghangatkan tubuhku. Tapi tidak berpengaruh sama sekali.
"Ethan, sebaiknya kita masuk. Disini sangat dingin!"
Ethan menoleh. "Kenapa? Kau kedinginan?"
"Tentu saja, bodoh!" Aku bangkit berdiri, "Astaga. Kau sangat tidak peka. Pantas saja kau masih single. Jika saja Matt yang disini, dia pasti akan buru-buru melepaskan jasnya dan memakaikannya padaku."
Ethan ikut bangkit. Senyum mengejek menghiasi wajah tampannya.
"Primitif sekali."
"Apa?"
"Kenapa begitu rumit? Jika ingin membuatmu tetap hangat, dia hanya perlu melakukan ini."
Hanya satu tarikan pada pergelangan tanganku, dan aku sudah masuk ke dalam pelukannya. Ethan memeluk pinggangku begitu erat. Satu tangannya menahan kepalaku. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk mencerna apa yang baru saja dilakukannya.
"Ethan-" Aku mendorong dadanya begitu erat, tapi Ethan malah memelukku semakin erat.
"Katamu kau kedinginan. Jadi, aku hanya berusaha membuatmu tetap hangat."
"Tapi aku tidak pernah memintamu untuk memelukku, bodoh. Jadi, lepaskan aku sekarang, Ethan!” Aku kembali meronta dalam pelukannya. Tapi tubuhku bukanlah tandingan tubuh kekar Ethan dan otot-ototnya.
"Diamlah." Bisiknya serak tepat di telingaku. Membuat darahku berdesir hebat. "Ini membuatku tenang. Apa kau tidak merasakan hal yang sama?"
Aku tidak menjawab lagi. Sejujurnya, Ethan benar. Terasa tenang di dalam sini. Ia memberiku kenyamanan dan aku merasa aman di dekatnya. Aku bersandar pada dadanya. Jantung Ethan berdetak cepat sekali.
"Ngomong-ngomong, aku merindukanmu, B."
Fuck, me too Gilbert.