Hadiah dari Bu Danur

1070 Words
Sekitar lima hari sejak kejadian kemarin kondisi, Bu Danur belum juga membaik. Baik Rahmat, Ghazi maupun Danur muda merasa kebingungan harus bagaimana membuat Bu Danur jadi lebih sehat. Rahmat yang bingung, berusaha mencari jalan keluar, dia merasa Danur bisa diajak untuk bertukar pikiran, jadi Rahmat mencoba mengetuk pintu kamar Danur, "Kamu udah bangun, Danur?" Ada jawaban yang lumayan bikin Rahmat lega, "Sudah, Rahmat. Aku baik-baik saja, sekarang aku sudah jauh lebih tenang, tidak ada lagi dorongan untuk menyerang atau marah kepada siapa pun." Danur menjeda ucapannya, Rahmat menunggu Danur, sepertinya Danur masih akan meneruskan ucapannya. "Rahmat, aku mau keluar, boleh? Tolong kasih aku keluar, ya. Aku butuh ke kamar mandi." Rahmat lalu menyingkirkan barang-barang dan perabot yang digunakan untuk mengganjal pintu kamar Danur. Setelah Danur keluar, dia langsung lari ke kamar mandi, rupanya sudah cukup lama dia menahan untuk bisa ke kamar mandi. Setelah keadaan mulai tenang, dan Danur muda sudah kembali dari buang hajat, Rahmat mencoba untuk ngobrol dengan Danur muda, “Menurutmu, bagaimana kita harus keluar dari masalah ini?” Danur mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali, mencoba untuk mencari jawaban terbaik, “Aku tidak tau, tapi akan aku coba pikirkan. Yang pasti, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Malam pertama kita ketemu, kemarin, adalah sudah menjadi rencana Tuhan, aku percaya Dia memilihkan dirimu untuk menyelamatkanku, dan Dia juga yang memilihkan kamu, Rahmat, untuk menjadi temanku.” Ucap Danur muda, malu-malu. Rahmat seperti terhipnotis dengan ucapan Danur, mereka sama-sama menundukkan kepala, ke arah tanah, seperti ada yang menarik saja di sana, padahal, mereka melakukan itu, untuk meredakan gejolak aneh yang timbul, karena mereka sepertinya memiliki rasa yang beda, bukan sebagai Danur dan Rahmat yang pertama kali bertemu kemarin, tapi rasa sebagai perempuan dan laki-laki remaja. “Rahmat …” Danur mencoba bicara dengan Rahmat, berbarengan dengan Rahmat yang memanggil Danur, “Danur …” lalu keduanya saling pandang dan tersipu, “Kamu duluan, deh, Rahmat,” Rahmat menggeleng, “Gak deh, kamu duluan aja, kamu mau ngomong apa, Danur?” Danur menggeleng, tapi tetap menatap Rahmat lekat. Semakin lama, keduanya mengacuhkan jarak, meniadakan sisa celah lagi di antara mereka, dan bulan di depan rumah Bu Danur, menjadi saksi, betapa Rahmat dan Danur memiliki rasa yang sama, yang mereka sambut dengan suka cita. Rahmat adalah orang pertama yang membuat Danur tersipu malu dan pipi yang jadi merona, setelah Rahmat mendaratkan kecupan lembut di pipi muda itu, begitu juga Danur, dia adalah orang pertama, perempuan pertama yang mendapat tempat dan perhatian dari Rahmat, lebih dari sekedar teman. Setelah itu, keduanya tersadar, dan segera melepaskan diri, mengambil jarak, “Rahmat, itu apa, barusan?” lalu Rahmat hanya tersenyum dan bangun dari duduknya, “Tanda, yang aku buat, untuk kamu. Aku menandaimu untuk jadi pendampingku, kelak. Tuhan menandaimu, untuk menemaniku.” Terdengar picisan, remaja usia belasan tahun, berani berucap dan berikrar seperti itu. Tapi, hati manusia toh memang tidak ada yang pernah tau. Mereka berdua saling berdiam diri, mungkin masih sama-sama mencerna apa yang baru saja terjadi, ketika ada teriakan mengejutkan dari kamar Bu Danur, “Rahmat, Bu Danur …” ucap Danur yang membuat Rahmat segera berlari menuju kamar Bu Danur, dan ketika sampai di depan kamar Bu Danur, Rahmat dicegah oleh Danur, “Rahmat, pelan-pelan, kita harus hati-hati. Kita gak tau keadaan Bu Danur.” Rahmat mengangguk, dia mencoba untuk menyingkirkan kursi dan meja yang digunakan untuk menahan pintu, agar tidak bisa dibuka dari luar, dan membuka pintu dengan cela sekecil mungkin, hanya cukup untuk mengintip, melihat keadaan di dalam. Terlihat Bu Danur tergeletak dan lemah, memanggil Rahmat, “Rahmat, sini, Nak. Ibu mau bicara,” Danur menahan lengan Rahmat, mencoba untuk mencegahnya, “Jangan.” Rahmat mengangguk, meyakinkan Danur, “Gak apa-apa. Biar aku masuk ke dalam, kamu berjaga di luar, ya. Jangan masuk, apa pun yang terjadi, tunggu sampai aku keluar, paham?” Danur awalnya Ragu, tapi Rahmat sekali lagi meyakinkan Danur, “Gak apa-apa, tunggu di sini.” Dan Rahmat melangkah masuk ke dalam kamar. Tidak ada pergerakan atau perlawanan dari Bu Danur, napas yang pelan, satu-satu, membuat Rahmat iba dengan wanita lembut berhati mulia ini. Tidak tega rasanya melihat dia begini, keadaan Bu Danur ini, bisa dibilang adalah salahnya, karena membiarkan Bu Danur dan Gazi sendirian. Seandainya kemarin, dia tidak meninggalkan Bu Danur dan Gazi berdua, kejadian ini gak akan terjadi, kemudian Rahmat mendekati Bu Danur, “Bu … gimana keadaannya?’ Bu Danur menengok dan melihat ke arah Rahmat, “Gimana Danur dan Gazi?” Rahmat mencoba menenangkan Bu Danur, “Gazi sudah lebih baik, begitu juga dengan Danur. Saya barusan ngobrol sama Danur, Bu.” Bu Danur mengangguk, “Kalo Ibu gak ada umur, rumah ini kalian jaga, ya. Tolong buka lemari itu, cari surat yang sudah Ibu tulis untukmu, Rahmat.” Rahmat menggeleng, “Ibu gak boleh pergi ke mana-mana. Ibu harus sehat.” Bu Danur mengangguk, “Pasti Ibu sehat. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja, Rahmat. Tolong ambil suratnya.” Dengan enggan Rahmat beranjak dari sisi ranjang Bu Danur, lalu membuka lemari yang ditunjuk oleh Bu Danur dan mengambil surat yang dimaksud. “Baca, Nak.” Baru beberapa kalimat surat itu dibaca oleh Rahmat, dia sudah meneteskan air mata, “Bu, ini maksudnya apa? Rahmat sama Gazi hanya orang luar, Bu. Tidak pantas menerima ini.” Bu Danur menggeleng, “Kalian bertiga yang membuat hari-hari Ibu justru semakin bahagia. Sebelum kalian datang, rumah ini hanya sebatas rumah tua yang ditinggali nenek tua yang membuat orang-orang di sekitar takut. Dengan kehadiran kalian, anak-anak muda yang semangatnya luar biasa, yang tawanya membuat gempar rumah, yang teriakan saling sahut kalian menyemarakkan keadaan, maka sudah pantas rumah ini Ibu kasih ke kalian bertiga. Jangan ribut, ya, Nak. Kalo Ibu udah gak ada umur dan gak ada yang mau tinggal di sini lagi, silakan jual saja rumahnya, nanti kalian bagi tiga sama rata, kamu, Danur, dan Gazi.” Rahmat menangis, sejadi-jadinya. Dia yang tidak punya orang tua, tinggal di panti asuhan, justru menemukan kebahagiaan dan bisa merasakan kasih sayang utuh dari orang yang tidak dia kenal. Meskipun kemarin, dia sempat juga merasakan memiliki orang tua, tapi begitu banyak beban yang ada di pundaknya, sehingga dia tidak bisa bebas bertindak. Maka dia dan Gazi memilih untuk pergi, bertemu dengan Bu Danur adalah sebuah hadiah dan keberuntungan bagi dirinya dan Gazi. Ditambah lagi kehadiran Danur muda yang bisa memacu debar di hatinya. Seperti kata Bu Danur, kehadiran Danur muda membuat semua yang ada di rumah ini lebih bahagia, suasana di rumah ini lebih semarak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD