Ingin punya papa
Jakarta, Indonesia
TK mentari.
Pukul 10.00 Waktu setempat.
Kringgg ....
Suara bel tanda keluar untuk semua murid pun keluar dan semua murid berlari keluar untuk menghampiri semua orang tua yang sedang menunggu anak mereka.
Semua anak tersenyum gembira serta berlari ke arah orang tua mereka yang kebetulan ada banyak ayah yang datang menjemput, karena kebetulan hari ini adalah hari libur untuk para buruh tapi untuk sekolah sengaja tidak diliburkan, jadi hari ini, mungkin adalah hari yang istimewa untuk semua anak murid TK itu karena bisa dijemput oleh kedua orang tua mereka yang masih lengkap.
Namun.
Itu tidak berlaku untuk seorang gadis kecil yang saat ini sedang berdiri menatap dengan sedih, saat melihat semua temannya dijemput oleh kedua orang tua mereka dan semuanya terlihat sangat gembira, karena ada ayah bersama mereka tidak seperti dirinya yang sejak lahir, tidak pernah tahu bagaimana sosok ayahnya hingga saat ini.
Sehingga, gadis kecil itu pun merasakan perasaan sedih menusuk hatinya, karena rasa iri tidak memiliki ayah.
"Semuanya dijemput papa mereka. Sedangkan aku ...." Gadis kecil itu langsung menundukkan kepalanya dan air mata pun jatuh membasahi pipinya.
Menahan rasa sedih yang teramat dalam, karena rasa rindu serta keinginan memiliki ayah sangat menyiksa batinnya.
"Hiks ... Hiks ... Aku juga ingin punya papa!" Ucapnya dengan tubuh gemetar dan air mata semakin deras.
Sampai tiba-tiba saja.
Ada sebuah tangan yang memeluk tubuh mungilnya dari arah belakang.
"Lisa! Kamu kenapa nak?" Sebuah suara dari seorang wanita yang bertanya kepadanya, membuat gadis kecil bernama Alisa itu langsung terkejut dan secepatnya menghapus air matanya saat itu juga. Karena dia mengenal suara itu dan dia tidak mau membuatnya sedih.
"Eh! Mama ...." Alisa pun langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi tersenyum sambil menghapus semua air mata yang membasahi pipinya.
Melihat itu, Alena yang tidak lain adalah ibu kandungnya Alisa pun segera memeluknya dengan hatinya yang terasa sangat sesak, menahan perasaan sedih melihat untuk kesekian kalinya, dia harus melihat putrinya menangis secara diam-diam.
"Lisa! Kamu kenapa menangis? Siapa yang sudah berani mengganggu kamu? Cepat katakan sama mama?" Tanyanya sambil memeluk erat tubuhnya.
Alisa pun menatap wajah ibunya, lalu berusaha tersenyum untuk menghibur ibunya.
"Lisa ... Lisa baik-baik saja! Mama tidak perlu khawatir. Tapi ...."
Alisa melihat ke arah salah satu temannya yang tidak jauh darinya sedang digendong oleh ayahnya, lalu di taruh di atas sepeda motor sambil tertawa gembira.
Melihat itu, ekspresi wajah Alisa pun langsung berubah menjadi murung.
Membuat Alena semakin sedih saat itu juga.
"Lisa ... Kamu kenapa nak? Apa yang terjadi dan kenapa kamu menatap teman kamu dengan tatapan seperti itu? Apakah dia yang sudah membuat kamu menangis?" Tanya Alena dengan tatapan khawatir.
Namun, Alisa menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Lisa baik-baik saja! Dia juga tidak jahat. Hanya ... Lisa ingin papa seperti dia!" Ucap Lisa sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah pasangan ayah dan anak di depannya itu.
Mendengar ucapan putrinya.
Alena merasakan seluruh tubuhnya terasa seperti disayat oleh ribuan pisau dan rasa sakit itu sungguh menyiksa batin nya.
"Lisa ... Mama minta maaf, karena tidak bisa memberikan papa untuk kamu!" Ucap Alena yang semakin erat memeluk putrinya dan tanpa terasa air mata pun jatuh, namun dia segera menghapusnya.
Sedangkan Alisa, dia yang sadar akan kesalahannya. Segera meminta maaf kepada ibunya.
"Mama jangan nangis! Lisa minta maaf! Lisa ... Lisa janji tidak meminta papa lagi sama mama, tapi mama jangan nangis lagi!" Ucap Alisa sambil menatap wajah ibunya dan Alena tersenyum saat mendengarnya.
"Iya! Mama mengerti! Maafkan mama karena sudah membuat Lisa sedih dan untuk papa ... Sekali lagi mama katakan jika papa kamu itu ... Dia sudah meninggal dan Lisa harus mengikhlaskan nya," ucap Alena dengan suara gemetar, karena untuk kesekian kalinya dia membohongi putrinya.
"Maafkan mama, nak! Mama terpaksa berbohong, karena mama tidak mau kamu tahu yang sebenarnya dan kamu pasti akan kecewa pada papa kamu yang dingin tak berperasaan itu! Jadi lebih baik, kamu hanya tahu kalau papa kamu sudah meninggal, dia sudah meninggal di hati mama dan hidup kita!" Gumam Alena yang setelah itu, langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih baik, agar putrinya tidak curiga.
Sehingga, Alisa pun mengerti dan dia tidak dilema lagi seperti sebelumnya, karena ayah memanglah sosok yang dia inginkan.
Tapi, kebahagiaan serta senyum ibunya jauh lebih penting, jadi Alisa tidak lagi merengek meminta ayah kepada ibunya.
"Yaudah, kalau begitu. Ayo kita pulang ma! Tapi Lisa mau jalan-jalan dulu! Mama ... Maukan ajak Lisa jalan-jalan? Terus mama ... Mama tidak kerja kan hari ini?" Tanya Alisa.
Alena menganggukkan kepalanya.
"Mama libur hari ini, jadi hari ini ... Kita bisa jalan-jalan dan nenek ... Nenek bebas tidak akan mengasuh Lisa hari ini," ucap Alena sambil tertawa.
"Hore! Lisa mau jalan-jalan! Ayo mama ... Kita pergi sekarang juga!" Ucap Alisa sambil meraih tangan Alena, lalu menggenggam erat tangannya mengajak pergi, karena Alisa sudah tidak sabar lagi.
Sehingga, keduanya pun langsung naik ke atas sepeda motor yang biasa dipakai oleh Alena setiap hari, baik bekerja atau mengantar jemput putrinya. Sepeda motor itu adalah teman sejatinya yang setiap saat selalu ada untuk dirinya dan juga putrinya dan keduanya pun pergi meninggalkan sekolah itu, menuju sebuah pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu bersama putrinya sebelum rutinitas pekerjaan yang sibuk datang kembali.
***
Sementara itu.
Di tempat lain.
Di sebuah ruangan yang di dalamnya di d******i oleh warna hitam dan putih serta di dalamnya, ada meja kerja dengan kursi putar yang membelakangi sebuah jendela besar dengan pemandangan indahnya pusat ibu kota.
Duduklah seorang pria tampan yang sedang memegang sebuah berkas ditangannya dengan serius.
Namun, tiba-tiba saja.
Drrrrtttt ....
Suara dering telepon bergema dan suaranya membuatnya langsung terkejut.
"Siapa yang menelepon?" Ucapnya sambil menaruh berkas itu diatas meja dan secepatnya dia mengambil telepon, lalu menjawabnya.
"Halo!" Jawabnya dengan tegas
Di seberang telepon.
Terdengar suara pria yang menjawab.
"Halo bos! Saya Rico ingin memberi kabar bagus untuk anda," jawabnya dengan suara cerah penuh semangat.
Pria itu pun tersenyum kecil dan ekspresi wajahnya yang sebelumnya terlihat suram perlahan lebih santai saat mendengar kabar dari asistennya.
"Cepat katakan! Saya ingin tahu kabar bagus itu sesuai dengan yang saya inginkan ataukah tidak?" Jawabnya sambil menyandarkan kepalanya di punggung kursi dengan tangan memijat dahinya.
"Tentu saja sesuai yang anda inginkan bos! Kita berhasil mengakuisisi perusahaan Angkasa jaya sesuai yang anda inginkan dan mulai hari ini, perusahaan itu resmi sudah menjadi milik anda," jawab Rico yang terus tersenyum cerah dengan beberapa orang yang kini ada di depannya sedang melakukan tanda tangan serah terima atas kepemilikan perusahaan itu.
Pria itu pun langsung duduk tegak dan rasa bahagianya tak terbendung lagi.
"Benarkah! Bagus! Kerja bagus Rico! Saya suka cara kerja kamu! Bulan depan saya tambah bonus kamu tiga kali lipat dan ... Cepatlah bawa semua berkas itu, saya ingin melihatnya!" Pintanya.
Rico pun melihat ke arah orang-orang yang sudah selesai menandatangani surat-surat penting itu dan kini, perusahaan itu benar-benar resmi jadi milik bosnya.
"Baik bos! Segera saya akan membawa semua berkas itu ke hadapan anda. Tapi ... Para pemimpin ini ... Ingin sekali bertemu dengan anda. Karena selama di sini saya terus yang bertemu dengan mereka sampai mereka mengira, jika tuan Arkana Danendra itu adalah saya, bos!" Ucap Rico sambil tertawa malu serta tanpa sadar menggaruk kepalanya padahal tidak merasa gatal sama sekali.
Mendengar itu, pria yang bernama Arkana Danendra itu pun menghela napas panjang sambil melihat ke arah tumpukan berkas di depan meja kerjanya dengan tatapan bimbang.
"Huft! Saya harus ke sana sekarang juga? Haruskah itu?" Tanyanya.
Rico mengangguk setuju.
"Tentu saja bos! Tapi jika anda tidak bersedia, maka saya ...." Belum Rico selesai bicara.
Arkana langsung menyela.
"Saya ke sana sekarang juga! Saya ingin melihat wajah mereka untuk yang terakhir kalinya," jawab Arkana sambil bangun dari tempat duduknya, lalu mengambil kunci mobil bersama dengan jas hitam yang di gantung di belakang punggungnya itu.
"Saya pergi ke sana! Kamu tunggu saya di depan pintu masuk," ucap Arkana yang setelah itu langsung bergegas pergi meninggalkan perusahaannya.
Lalu Rico, dia menatap terkejut layar ponselnya.
"Ini serius? Bos mau datang ke sini demi sebuah perusahaan kecil seperti ini?" Ucap Rico dengan tatapan tidak percaya.
Karena ini untuk pertama kalinya Arkana mau hadir, padahal sebelumnya dia sudah banyak mengakuisisi banyak perusahaan yang lebih besar dari perusahaan itu, tapi dia tidak pernah mau datang dan hanya cukup di wakili oleh Rico.
Namun saat ini, Rico merasa sangat aneh serta terkejut dengan apa yang dilakukan oleh bos nya saat ini.