17. OTAK ADA DI MANA?

2304 Words
Sia agaknya memang harus cerita, lagipula Elgo sudah menolongnya, bukan masalah besar sebenarnya, sebelum mengangguk mengiyakan, Sia sempat mendengkus seraya meringis sesaat. Lalu, ia langsung menepis tangan Elgo yang masih membaluti lengannya. "Iya, tapi kak Elgo harus janji setelah cerita, aku diijinkan balik," ujar Sia dengan tatapan memohon, bersama dengan kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya, gadis itu segera memosisikan bokongnya seperti menit yang lalu. Sia terduduk di sofa, kali ini lebih condong mengarah ke arah Elgo agar dirinya bisa bercerita dengan nyaman. "Iya, gue janji, buruan cerita. Kenapa lo pingsan di depan toilet dan pipi lo kenapa merah-merah kayak gitu?" ucap Elgo begitu serius, tanpa sadar tangannya terulur dan hendak menyentuh pipi Sia. Namun, belum juga tangan kekarnya mendarat di sana, Sia segera menghindar, ia tidak mengijinkan cowok disampingnya ini melakukan hal seperti itu. Sia segera memutar otaknya, mencari sebuah alasan yang masuk akal, untung saja pikirannya masih jernih, jadi secepat mungkin Sia menemukan ide dan langsung mengutarakan semuanya. "Emm ... Tadi di toilet banyak nyamuk, terus ada yang hinggap di pipi aku, terus aku tampar pipi aku sendiri, jadi aku nggak sadar kalo tamparan aku sendiri sangat kuat, jadinya merah deh, hehehe ...." Sia terkekeh diakhir kalimatnya, setelah itu kepalanya ia miringkan ke arah lain dengan mata yang terpejam lengkap dengan bibir yang dipilin secara perlahan Semoga saja kak Elgo percaya dan nggak semakin curiga, batin Sia. Sia kembali menatap Elgo dengan sepasang sudut bibir yang tertarik ke atas, sebisa mungkin ia menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba masuk dan menempel di hatinya bagikan benalu. Semoga Elgo tidak curiga jika dirinya tengah berbohong. Masih dalam diam, Elgo menatap Sia dengan dahi yang berkerut dengan jelas, sorot matanya menyipit, mencoba menemukan celah dari perkataan Sia. Elgo sendiri sungguh merasa curiga dan tidak puas akan jawaban Sia yang terlontar beberapa detik yang lalu. Jawaban darinya masih terdengar aneh, apalagi ditambah ucapan Sia yang ragu-ragu. "Oke, terus lo bisa jelasin kenapa rambut lo berantakan kayak gitu? Lo jangan coba bohongin gue, ya?!" Tatapan Elgo semakin menajam, ia segera mempersempit jarak antara dirinya dan Sia, Elgo menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan gadis itu. Sia merasa terpojok, tubuhnya sudah mencapai diujung sofa, oleh sebab itu ia tidak bisa ke mana-mana lagi. Sia sungguh tak nyaman berada sedekat ini dengan Elgo, terlalu canggung. "Kak, bisa geser sedikit?" ujar Sia dengan ragu, ekor matanya melirik Elgo sekilas, jari-jemarinya asik bergerak ke sana kemari, berharap dengan cara seperti itulah rasa gugupnya segera menghilang dan digantikan dengan perasan lega. Entah kerasukan setan apa, Elgo segera mengangguk setuju, menuruti permintaan Sia dan segera menggeser tubuhnya agar sedikit renggang. Setelahnya, Elgo kembali menatap Sia dengan sorot mata yang penuh dengan tanda tanya. Elgo sangat yakin, semakin lama gadis itu berdiam diri, semakin besar pula kemungkinan gadis itu tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Dan Elgo tidak suka akan itu. Elgo segera merotasikan sepasang bola matanya ketika mendapati Sia tidak mengatakan apa-apa. Elgo sungguh kesal, tetapi ia sendiri juga tidak bisa apa-apa, kalau Sia tidak mau bercerita, lantas dirinya harus bagaimana? "Terserah elo deh kalo nggak mau cerita, nggak penting juga bagi gue," celetuk Elgo, ia melipat kedua tangannya diatas d**a, lalu menyandarkan punggung lebarnya di sandaran sofa empuk itu. Berulang kali Sia mengedipkan matanya, dirinya yakin telinganya masih bisa berfungsi dengan baik, tidak mungkin ia salah dengar. Merasa lega, Sia langsung menyunggingkan senyum tipis, Elgo juga tidak menyadari senyuman itu. "Ya udah aku pulang dulu ya kak, aku ucapin makasih lagi sebelumnya karena kak Elgo baik sama aku." Sia sudah mengambil ancang-ancang untuk bangkit dari duduknya, namun belum juga bokongnya terangkat, Elgo sudah memegangi pundaknya. "Gue nggak ngijinin lo pulang." Dengan ujaran kata tegasnya, Elgo menatap Sia dengan pandangan lamat-lamat. Kening Sia sudah menciptakan kerutan yang terlipat-lipat, kemudian ia memilih memandangi Elgo, gadis cantik itu segera membutuhkan jawaban kenapa cowok disampingnya ini mencegah dirinya untuk pergi. "Kenapa?" "Jawab dulu pertanyaan gue." "Pertanyaan apa?" Sia kembali memusatkan tubuhnya ke arah Elgo, pandangannya masih tidak berpindah dari cowok yang mengenakan celana pendek dan kaus hitam polos, begitu serasi dengan tubuhnya yang atletis, Sia sampai tertegun melihatnya. Sebelum mengatakan apa-apa lagi, Elgo mendesah ringan, lalu sedetik kemudian mulai berujar. "Satu tambah satu berapa?" Dahi Sia semakin menciptakan garis-garis lurus vertikal, haruskan Sia menjawab pertanyaan itu? Aneh sekali. Merasa pertanyaan itu sangatlah ambigu, Sia segera bertanya balik. "Maksudnya?" "Jawab aja, gue cuma ngetes pelajaran matematika lo," cicit Elgo setengah malas, punggung tegapnya masih bersandar dengan santai. Sia kemudian mengangguk setuju, seperkian detik setelahnya ia baru menyahut. "Jawabannya dua, emang kenapa?" "Lama jawabnya, pertanyaan gampang kayak gitu juga," maki Elgo sembari menyumpalkan keripik kentangnya lagi ke dalam mulut, sebenarnya cowok itu terlihat sangat keren, hanya saja tertutupi oleh tingkah ajaibnya yang kadang absurd, dan kadang pula normal seperti manusia kebanyakan. Sia mendengkus kasar, bukan masalah dirinya yang menjawab soal itu sangat lama, Sia hanya masih berpikir oleh pertanyaan Elgo yang aneh itu, kenapa cowok itu mendadak bertanya soal matematika seperti tadi? Terdengar begitu kontras dengan pertanyaan sebelumnya yang menyangkut tentang kondisi Sia yang sangat mengkhawatirkan. "Gue ulangi, dan lo harus jawab cepat." Tak mau meneruskan masalahnya, Sia mengangguk setuju saja, lagipula dirinya ingin cepat meninggalkan rumah besar nan mewah ini. "Oke, dua tambah dua berapa?" "Empat," Sia menjawab dengan lesu, tampak tidak semangat, lagian soal macam itu sudah berada diluar kepalanya. "Oke, seratus buat lo." Ketika Elgo tersenyum bahagia sembari bertepuk tangan heboh bak anak kecil yang baru saja diberi mainan baru, raut wajah Sia malah berubah menjadi datar, ia mendengkus lagi, tangannya bergerak dan jatuh dikeningnya, mendadak rasa pening hinggap di sana. Ajaib sekali perilaku Elgo, memang apa susahnya pertanyaan itu? Anak kelas satu SD juga pasti sangat mahir menjawab pertanyaan itu. "Ya udah, aku boleh pulang sekarang, kan?"alis Sia menukik, berharap Elgo akan segera mengangguk setuju, namun alih-alih setuju akan hal itu, Elgo malah menggeleng sebanyak dua kali. "Gue kasih pertanyaan lagi, kali ini lebih cepat, gue cuma mau ngetes ketanggapan lo dalam mencerna kalimat," ujar Elgo dengan api semangat yang berkobar, begitu kontras dengan sia yang terlihat sangat malas. "Penting banget, ya?" "Banget, walaupun misal motor Vespa gue ilang, pertanyaan ini lebih penting, gue mulai sekarang, ya?" Mau tak mau, Sia menjawabnya dengan anggukan kepala kecil, memusatkan matanya pada Elgo, malas sekali menjawab pertanyaan bodoh macam itu. "Dua tambah dua berapa?" "Empat," jawab Sia malas. Ish, Sia semakin frustasi, pertanyaan Elgo berlalu semakin cepat, Sia juga menjawabnya penuh tekanan emosi, gadis itu berujar dengan nada tinggi. "Kalo aku tambah kamu?" Sia kemudian langsung membuka bola matanya dengan lebar, lalu dilanjutkan mencebikkan bibirnya kesal, Elgo telah membuatnya mengatupkan rahangnya. Cowok itu hanya terkekeh ketika melihat raut muka Sia, baginya terlihat sangat lucu. Sia diam-diam juga memandangi senyuman manis dari Elgo, dan entah kenapa perasaannya menjadi aneh, perasaan kesal tadi cepat menguap dan digantikan dengan perasaan lain yang menyelusup ke hatinya. *** Dengkusan kasar baru saja lolos dari bibir Elgo, cowok itu baru saja turun dari motor Vespa peninggalan sang kakek. Dengan malas, ia mengayunkan tungkai kakinya untuk bergerak pergi ke kelasnya, pagi ini ia tidak ada semangat sama sekali. Elgo memang sudah sarapan, bahkan ia menghabiskan dua roti tawar yang diolesi selai keju dan segelas s**u sudah masuk ke dalam perutnya hingga tandas tak bersisa. Hanya saja hari ini ia sangat malas, baru saja ekor matanya melihat anak tangga yang berjejer rapi menjulang ke atas, kening Elgo langsung merasa pusing. Cowok itu sebenarnya bisa saja pergi ke kelasnya menggunakan lift, tetapi Elgo tidak mau melakukan hal itu. Sangat merepotkan bila harus mengantre dan berdesakan dengan siswa lain. Intinya, ia ingin menghempaskannya tubuhnya di bangku, lalu merapatkan sepasang bola matanya. Setelah sampai di depan pintu kelasnya, Elgo menghela napas, merotasikan matanya dengan malas, setelah itu ia melanjutkankan pergi ke bangkunya. Melihat Elgo yang berlenggok bak seorang model ketika bejalan, senyuman Raja langsung terbentuk dengan binar, sorot matanya ia arahkan ke arah Elgo, sementara Elgo sama sekali tidak menghiraukan sohibnya itu, ia terus berjalan. Dengan cepat cowok itu langsung berubah pikiran, ia ayunkan tungkai kakinya ke bangku lain, alih-alih ke tempat duduknya. Raja berulang kali mengerjap, Elgo menyeret kakinya tidak pergi ke arah bangkunya, lebih tepatnya di samping Raja, namun cowok jangkung itu malah berjalan ke arah bangku lain. Raja mendesah berat, ia tidak tahu apa yang akan sahabatnya itu lakukan. Kening Raja semakin berlipat-lipat saat menyadari Elgo mendaratlan bokongnya dihadapan Dina, entah apa yang akan cowok itu lakukan, Raja belum menemukan titik terangnya. Menyadari ada seseorang duduk sambil tersenyum simpul ke arahnya, Dina yang asik mengunyah roti, lantas mengangkat dagunya, selepas itu bola matanya ia kerjapkan berulang kali, memastikan apakah yang matanya tangkap benar atau salah. Dan seperkian detik setelah itu Dina semakin kikuk, Elgo masih tersenyum manis, cowok tampan itu bertopang dagu yang beralaskan meja, matanya hampir menyipit. "Elgo, lo ma-mau ngapain di sini?" Dina bertanya dengan ragu sambil menyingkirkan barang-barang yang berserakan di atas mejanya, dipandangnya Elgo yang masih saja menunjukkan ekspresi itu, siapa gerangan yang melihat senyuman cerahnya, pasti cewek itu akan kelabakan, rasa salting menyerangnya bertubi-tubi. Begitupun dengan Dina kali ini, ia merasakan ada aura menegangkan yang tercipta, dadanya sudah bergemuruh, apakah Elgo mau menyatakan cintanya? Dina sudah tersipu malu, pikirannya jatuh pada hal itu, apa yang akan ia lakukan kalau Elgo benar-benar menembaknya? "Gue cuma mau lihat muka lo," ujar Elgo dengan manis, masih mengarahkan matanya pada Dina, seolah cewek itu adalah objek satu-satunya di kelas ini yang enak dipandang. Selepas itu, tangan Elgo meraba dan berakhir pada roti yang sempat dimakan Dina beberapa menit yang lalu, tanpa memindahkan pandangannya, Elgo menyobek secuil roti itu dan mengarahkannya ke mulutnya. Dina yang melihat itu sedikit tak percaya, ia mengerjap lagi, lalu sedetik kemudian pipinya sudah menunjukkan semburat merah. Tak tahan lagi karena malu, cewek itu langsung menundukkan kepala. "Ke-kenapa mau lihat wajah gue? Ada yang aneh?" Dina bertanya lagi dengan kegugupan yang tidak bisa dikondisikan, canggung sekali menerima senyuman manis dari Elgo. Namun, jawaban dari Elgo sukses membuat rasa bahagia yang Dina alami langsung menguap ke udara dan digantikan dengan rasa kecewa, ia memanyunkan bibirnya, Elgo sudah mencampuradukkan perasaannya. "Nggak, muka lo masih sama kayak biasa sih, nggak ada yang spesial," jawab Elgo enteng. Desahan napas berat bercampur dengan bola mata yang berputar dengan malas sudah Dina tunjukkan, padahal ia sudah salting tingkat akut, tapi Elgo malah menjatuhkan begitu saja, menyebalkan sekali. "Jadi, lo ke sini cuma mau ngomong itu? Nggak penting tau nggak?" Kali ini, ucapan Dina terdengar lantang dan menggebu, pupil matanya membesar, menatap sinis ke arah Elgo. "Nggak, ini penting. Ngapain juga gue ke bangku elo kalo nggak ada maunya," jawab Elgo dengan enteng. "Terus apa?" "Jabatan elo di kelas ini apa?" "Kenapa tiba-tiba tanya jabatan segala, dasar sinting," omel Dina tak tahan dengan perilaku Elgo. "Terus kenapa? Gue kan cuma nanya, nggak boleh? Ya udah kalo lo nggak mau jawab, gu bakal aduin lo ke nyokap gue." Dina segera mencibir, ganteng-ganteng kelakuannya sinting Cewek yang rambutnya berkuncir ekor kuda itu langsung mendesah berat, Dina akhirnya mengalah, sekarang manik mata Elgo ia tatap kembali. "Gue nggak ngasih tahu, lo juga udah tahu sendiri siapa dan apa tugas gue di kelas ini, lo nggak sebego itu." Dina berkata dengan kobaran api emosi, selepas berkata sedemikian rupa ia langsung menolehkan wajahnya ke sembarang arah dengan tangan yang terlipat di atas d**a. "Siapa yang bilang gue b**o! Malu lah sama gantengnya, satu tambah satu juga gue ngerti hasilnya berapa," sinis Elgo tak kalah sengit dari ucapan Dina. Mendengar penuturan yang menyumbat ditelinga, Dina segera merotasikan bola matanya, seperkian detik setelahnya ia menghela napas panjang. "Kenapa lo diem, lo nggak percaya gue bisa jawab pertanyaan satu tambah satu itu berapa, wah, lo ngajak berantem nih sama gue." Elgo meringis, memicingkan satu alisnya, lalu dilanjutkan sedikit menggulung lengan seragamnya, ia tidak terima bila Dina tidak percaya kalau dirinya mampu menjawab soal itu. "Terserah lo deh, iya gue percaya, buruan minggat dari sini, bikin kesel aja," ujar Dina seraya mengibaskan tangannya ke udara, mengomando agar cowok dihadapannya ini segera berdiri dan berlalu dari mejanya. "Gue belum rampung ngomongnya, mau ngusir aja, nanti kalo gue nggak jadi ngomong, kata-kata yang sempat akan keluar jadi ngambek sama gue, gue nggak mau mereka nangis, ya!" "Emang ucapan bisa ngambek, ya?" Dina bertanya dengan malas. "Ya bisalah, semua yang ada di dunia ini punya perasaan, contohnya buku, kalo lo nggak baca dia, buku itu sendiri akan sedih karena dianggurin lo gitu aja, kasihan, kan?" Dina langsung mengumpat, baru saja ia mau melayangkan ucapan lagi, Elgo sudah menyelanya. "Makanya punya otak itu diasah, jangan asal pakek aja, lalu taruh didengkul supaya lo bisa lihat otak lo sendiri, jangan ditaruh di kepala, kalo lo nggak bisa lihat dia, lo bakal susah mikir sesuatu, paham nggak lo?" Bibir Dina semakin mencibir, pagi pagi seperti ini emosinya hampir saja terpancing kalau saja ia tidak bisa menahannya, teman-temannya yang melihat keributan yang disebabkan oleh Elgo mulai terkikik geli. "Oh iya, jadi gue sudah mikir itu karena otak gue posisinya ada di kepala? Jadi gue harus pindah ke dengkul dulu agar pikiran gue jernih, gitu maksudnya?" Dina bertanya dengan senyuman manis yang dipaksakan, sangat kontras dengan perasaan yang sesungguhnya terjadi. "Betul sekali, lo dapat nilai seratus dari gue, besok gue kasih permen deh," ucap Elgo dengan semangat, ia bertepuk tangan dengan heboh, menciptakan kericuhan akibat teman kelasnya tertawa melihat tingkahnya, benar-benar aneh sekali. Dina mengangguk singkat, lalu sedetik kemudian ia berkata, "emang otak lo ada di mana?" Setelah mencerna perkataan Dina, Elgo menurunkan kedua tangannya yang sempat ia gunakan untuk tepuk tangan, tatapannya beralih menatap Dina dengan dahi berkerut. "Di kepala lah, gitu aja pakek tanya, dasar sinting. Anak kecil juga tahu kalo otak ada di kepala, nah elo? Dengan bodohnya tanya kayak gitu, kayaknya lo harus pergi ke dokter spesialis otak deh, lo mau gue bantu cariin? tenang aja, lo nggak perlu kasih upah ke gue kok, ikhlas banget gue malah." Dan Dina rasanya semakin malas meladeni Elgo. Menyesal dirinya sudah kepedean bahwa Elgo akan mengajaknya berpacaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD