05. PANGERAN PENYELAMAT

1203 Words
"Begitu banyak pertanyaan yang kini berada dibenak-ku, kenapa kamu tiba-tiba menolongku? Sementara aku dan kamu belum saling mengenal satu sama lain." *** "Tuh, kan, apa gue bilang, lo itu cantik Sia, tuh lihat kakak kelas pada lihatin lo mulu dari tadi, duh gemesnya," pekik Elin sembari menggoyangkan bahu Sia dengan heboh. Merasa terganggu dengan itu, secepat mungkin Sia menepis tangan Elin dengan kasar. Seketika Elin meracau tidak jelas, bibirnya mengerucut ke depan sampai beberapa senti akibat tepisan dari Sia yang sangat cepat dan kasar. Ucapan Elin barusan sukses membuat Sia langsung mengedarkan pandangan sekitar. Dan perkataan Elin tadi memang benar adanya. Semua tatapan siswa tengah mengarah ke arahnya. Dan mayoritas sorot mata itu adalah milik kaum adam. Kalau saja Elin tidak membicarakan soal itu, Sia mungkin tidak menyadarinya. Sekarang, Sia merutuki nasibnya. Dia begitu malu dan tidak nyaman menjadi pusat perhatian seperti ini. "Lin, gue malu, yuk balik ke kelas aja," bisik Sia tepat di telinga Elin. Sesekali ia melirik sekitar dan masih saja seperti tadi, seolah ia menjadi satu-satunya objek disana. "Sana aja lo balik sendiri, gue masih betah di sini," balas Elin tidak setuju dengan peekataan Sia. Sialnya lagi, Sia tidak membawa ponsel. Dia sekarang tidak punya bahan alihan untuk berpura-pura sibuk. Yang dilakukannya sekarang hanya menunduk seraya mengendalikan debaran jantungnya yang kian melompat ke sana kemari. Apalagi Elin yang sibuk dengan ponselnya, sekarang Sia semakin tersulut. Ia tidak ada teman mengobrol. "Lin, yuk balik gih, pesanan lo juga udah abis tuh, mau ngapain lagi sih? Lagian kasihan tuh yang nggak kebagian tempat," hardik Sia, berusaha mengalihkan Elin dan membujuknya agar menuruti kemauannya. "Tunggu bentar, kalo lo mau balik duluan juga nggak pa-pa," balas Elin cuek. Bukan tanpa alasan pula Elin melakukan hal itu. Dia hanya ingin sahabatnya ini menjadi pusat perhatian. Melihat Sia yang begitu cantik membuat dirinya merasa iri dan kagum secara bersamaan. Toh, Sia juga belum menyentuh makanan yang dipesan. Entah sudah berapa lama Sia merasa pipinya memanas, ia sungguh menahan malu mati-matin. Kepalanya ia tenggelamkan, tidak mau melihat keadaan di sekitarnya lagi. Seketika Elin dan Sia mendongak ke atas secara bersamaan ketika menyadari ada seseorang yang mengambil duduk tepat berada di hadapannya. Begitu tatapan mereka bertemu, cewek itu tersenyum ke arah Sia. Begitu banyak pertanyaan yang kini tertanam di otak Sia, dia merasa tidak kenal dengan seorang cewek yang tengah tersenyum kearahnya itu. Mau tak mau Sia membalasnya dengan senyuman getir, masih ragu dengan cewek asing yang kini tanpa permisi duduk dihadapannya. Ekor mata Sia masih terkunci, meneliti wajah cewek itu dengan tatapan mengintimidasi, sementara Elin juga sama seperti Sia. "Hai, Shi, nih pesenan punya lo." Sontak Elin dan Sia langsung mengedarkan padangan ke arah cewek yang tengah berbicara tadi. Rupanya dia tidak sendiri, ada satu teman lainnya yang kini berjalan ke arah meja Sia. Hingga pada akhirnya, ada tiga cewek yang duduk di hadapan Sia dan Elin. Penampilan mereka begitu mencolok, Sia merasa geli melihatnya. Seolah tidak ada keberanian untuk mengangkat bicara, Sia hanya memilih diam, menatap dengan sorot mata bingung pada mereka. "Sel, sini jus gue," ucap Sashi, cewek yang pertama kali duduk di depan Sia. Cewek yang bernama Selly itu langsung tersenyum ke arah Sashi dan menggeser jus jeruk yang tadi telah dipesan. Sia dan Elin seketika saling pandang, begitu banyak pertanyaan yang mereka sembunyikan, beberapa detik kemudian, Sia mengendikkan bahu tak tahu seolah dari sorot mata Elin ia telah membaca pertanyaan darinya. Setelah sedikit menenggak jus jeruk itu, pandangan Sashi Kembali mengarah pada Sia yang sedari tadi masih menatapnya dengan terheran-heran. "Nama gue Sashi, lo pasti udah tau, kan? Jangan bilang lo belum tau siapa gue?!" kata Sashi dengan nada suara angkuh khasnya. Ia menyibakkan rambutnya ke udara. Spontan Sia langsung menyerngitkan dahi, cewek dihadapannya ini sungguh tidak memiliki etika sama sekali. Sia merasa tidak nyaman akan kehadirannya di sini, apalagi suara dari ketiganya membuat telinga Sia sampai berdengung nyaring. Bukan dirinya saja yang merasa tidak nyaman, Elin juga turut merasakan hal itu. Sia berusaha mengumpulkan nyawanya untuk bersikap senormal mungkin. Dengan sengaja, Sashi mengambil gelas yang masih berisi jus jeruk yang masih tersisa setengah gelas dan setelah itu ia menumpahkan minuman itu di meja, di piring makanan Sia lebih tepatnya. Seketika Sia langsung melotot, tingkah Sashi barusan membuat Sia terkejut bukan main. Memang Sia belum menyentuh makanan yang ia pesan, lain dengan Elin yang sedari tadi sudah ludes. Sia tahu, bahwa Sashi sangat sengaja melakukan hal itu. Namun, Sia masih bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Bersikap tenang akan membuatnya lebih baik. "Ups ... Maaf, gue nggak sengaja," ucap Sashi dengan suara terkesan dibuat-buat, telapak tangannya menutup mulutnya dan ia tertawa kecil di akhir kalimat yang diucapkan. "Ya ampun, kasihan banget deh," ucap Rena, cewek yang datang dari dalam kantin bersama dengan Selly beberapa waktu yang lalu. Perkataan Rena barusan menyita perhatian Selly, lantas ia tertawa nyaring. Tidak ada niatan bagi Sia untuk meladeni mereka, ia tidak mau mencari masalah. Sia juga tidak peduli dengan batagor yang sudah bercampur satu dengan jus jeruk. Lain dengan Elin, ia begitu marah besar, seolah perbuatan Sashi dan antek-anteknya itu tidak dapat ia ampuni. Begitu tangannya sudah terkepal dengan kuat, ia berujar dengan suara yang tegas. "Jangan buat ulah di sini lo, emang kita punya masalah apa sama lo, ha?!" Raut wajah tidak suka kini mensponsori wajah Sashi, perkataan Elin beberapa detik yang lalu sukses membuat cewek itu semakin emosi dan siap menerkam. "LO BERANI SAMA GUE?! LO BELUM TAU GUE SIAPA, HA?!" Sashi langsung menyerbu dengan ucapan yang kelewat keras. Suaranya itu menyita perhatian orang di sekitar. Bahkan selang tidak lama kemudian, mereka sudah di kelilingi oleh khalayak siswa. "Nggak penting bagi gue buat tahu siapa lo, lo cuma sampah yang nggak penting," cecar Elin dengan menggebu, suaranya juga tak kalah memantang. Berulang kali Sia memperingati sahabatnya itu agar tenang dan tidak usah meladeni mereka. Namun, bukan Elin namanya kalau belum kekeh apa yang dirinya mau. Ia sungguh emosi dengan tingkah Sashi yang seenaknya aja begitu. Tidak punya etika. "Kak, udah cukup, aku nggak pa-pa kok, aku tahu kakak cuma sengaja. Plis maafin teman aku ini ya," mohon Sia sembari menatap lekat ke arah Sashi. "Lha, emang gue nggak sengaja kali, nggak usah cari perhatian deh lo, emang lo cantik?! Ngaca woy!" ucap Sashi terus menggebu tak kenal waktu. "Emang Sia cantik kali, emang lo? Rambut aja kena luntur kayak gitu," balas Elin semakin tersulut emosi sembari menatap remeh ke arah rambut Sashi yang berwarna merah bercampur biru diujungnya. Merasa kesal dan geram akan tingkah dua cewek dihadapannya ini, Sashi tak segan melempar es teh milik Selly ke arah Sia. Tentu saja Sia terkejut bukan main, dengan gerakan super kilat, ia langsung mengatupkan matanya rapat-rapat. Namun, beberapa detik setelahnya Sia malah tidak merasakan apa-apa, ia tidak merasa bagian tubuhnya basah. Apa mungkin Sashi tidak jadi melakukan hal itu? Tapi tidak mungkin, Sia tadi melihat Sashi sudah melayangkan gelas itu ke arah dirinya. Dengan ragu, Sia mulai membuka matanya sedikit. Namun, ia begitu shock, buru-buru ia membulatkan matanya lebar-lebar. Tidak percaya apa yang kini dilihatnya. Spontan Sia menelan salivanya dengan getir, kemudian perasaan bersalah kini menyerangnya bertubi-tubi. Pantas saja Sia tidak merasakan bagian tubuhnya basah lantaran kini Sia dilindungi oleh seorang cowok bertubuh jangkung. Es teh itu sudah menggenangi seluruh seragam cowok yang Sia rasa belum mengenalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD