04. ANTARA SIFAT DAN PENAMPILAN

1094 Words
"Jika kamu selalu menilai setiap orang dari penampilan luarnya saja, aku rasa itu tidaklah cukup. Melainkan, penampilan dalam dari orang itu sendirilah yang akan dinilai orang lain." ~ Jessia Kaula Rinjani *** Kata-kata Elin beberapa menit yang lalu sungguh terngiang di kepala Sia, bagaimanapun juga, sahabatnya itu sudah membuat dirinya merasa tidak percaya diri. Dipuji seperti itu membuat Sia semakin tersulut. Menyadari Sia sudah berhasil melepaskan tangannya, Elin langsung terkesiap, menoleh ke belakang, dan menatap heran kenapa Sia berhenti secara mendadak saat sudah berada didekat kelasnya. "Kenapa berhenti? Ayo masuk!" Tersenyum secara paksa, akhitnya Sia hanya bisa mengangguk kecil, lalu ia melangkah maju dan mengekori Elin dari belakang. Ah, Elin membuat dirinya semakin tidak percaya diri saja. Perkataan Elin memang benar-benar terjadi, tidak melenceng sedikitpun. Semua pasang mata saat Sia memasuki kelas langsung memandangi Sia dengan berbagai ekspresi yang berbeda. Sia sedikit memejamkan matanya, lalu buru-buru berjalan cepat menuju bangkunya. "Wow... Ada bidadari kesasar dari mana nih?" sambar Yogi ketika Sia tengah duduk di bangkunya. Sia terkesiap, ia yakin perkataan itu terlontar untuk dirinya. Entahlah, apakah Sia yang terlalu percaya diri? Tidak salah lagi, ketika Sia mendongak dan ekor matanya menyapu ruang kelas, ia melihat wajah Yogi yang tengah menatap ke arah dirinya sembari menaikturunkan alisnya berulang kali. Sia canggung dipandangi seperti itu, lalu ia hanya bisa tersenyum kikuk dan secepat mungkin memutar sudut matanya sekeras mungkin. Kenapa semua menjadi seperti ini? Sia sungguh tidak nyaman dijadikan bahan tontonan satu kelas kayak gini. Tangan Sia sudah gemetar hebat, sialnya lagi teman kelasnya masih menatap ke arah bangkunya. Tentu saja Sia merasa risi mendapatkan hal seperti itu. Sebegitukah dampaknya akibat Sia sedikit merubah penampilannya saja? Sia hanya bisa berdoa dalam hati semoga guru yang mengajar di jam pertama segera memasuki ruang kelas. Lalu, singkat waktu, sekarang sudah waktunya istirahat. Waktu yang di tunggu-tunggu datang juga, bel tanda istirahar baru saja berbunyi memenuhi koridor sekolah. Senyum Sia tercetak dengan jelas dibibirnya, lalu sedetik kemudian ia menatap Elin yang melalukan hal serupa. "Mau ke kantin Lin?" tanya Sia menatap Elin yang masih sibuk memasukkan buku paket ke dalam laci mejanya. Dengan cepat, Elin langsung memutar tubuhnya menatap Sia lurus-lurus. "Iya dong, gih bangun, mau ikut kagak?" Tanpa ada perlawanan lagi, akhirnya Sia menurut dan mulai mengangkat bokongnya dari kursi. Sia butuh air sekarang karena sedari tadi merasakan kegugupan yang nyaris membuat dirinya mati. Ya, begitu menguras energi. "Gue nggak sabar gimana ekspresi kakak kelas saat lihat muka lo di kantin nanti, bakal seru nih kayaknya," seru Elin di sela langkah panjangnya menuju ke kantin. Tak ayal, perubahan penampilan Sia memang benar-benar membius, wajahnya jadi lebih cantik. Mendesah ringan, Sia merasa mulai gugup lagi. Elin selalu saja begitu. Sia hanya tampil seperti hari-hari biasanya. Tapi, kenapa Elin membesar-besarkan seperti itu? "Lin, stop ih. Nggak usah ngomongin itu mulu," balas Sia sembari menyenggol bahu Elin dengan bahunya. Suara Elin yang tidak bisa dibilang pelan itu membuat Sia semakin tersulut. "Percaya deh sama gue, kalo lo itu emang cantik banget hari ini. Iri nih gue jadinya," komentar Elin, sebelah tangannya bergerak dan merangkul bahu Sia. "Gue itu cuma potong rambut, kenapa lo jadi kesetanan gini sih?" sungut Sia kesal. Sedari tadi Elin memang mengaduk emosinya. Sia tidak butuh dipuji seperti itu. Mendengar ucapan Sia barusan membuat Elin memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat menatap Sia lekat-lekat. "Lo itu emang cantik, tapi sekarang lo tambah cantik dengan penampilan lo yang seperti ini, percaya sama gue aja deh. Buktinya tadi di kelas, semua juga natap lo seperti itu. Jadi nggak cuma gue aja yang berpendapat bahwa lo emang cantik," kata Elin terus menggebu. Mengembuskan napasnya secara berat lewar mulut, Sia tidak ambil pusing lagi. Ia hanya perlu membuang pikiran itu jauh-jauh dari kepalanya. Ucapan Elin barusan tidak boleh ia tanggapi. "Kalo ada kakak kelas ganteng yang nembak lo, bakalan lo terima nggak?" goda Elin memecah keheningan. Sia yang sedang melamun akhirnya tersentak keget dan langsung menoleh ke samping kirinya. "Eh?" Sia memandangi wajah Elin dengan ekspresi bingung. "Gue nggak mikir ke situ dan kenapa lo tanya itu ke gue?" "Karena elo cantik," cengir Elin menunjukkan sederet gigi putihnya yang tersusun rapi. Berulang kali Sia hanya bisa membuang napasnya dengan gusar. Lagipula, Sia belum bisa melupakan Elgi. Orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Sia belum siap menerima orang lain masuk ke dalam hidupnya, Sia masih belum merelakan Elgi-nya pergi. Fakta bahwa cowok itu tidak menemani harinya lagi membuat Sia merasa kehilangan. Sekarang, Sia hanya ingin sendiri. Terlalu mencintai orang lain memang menyakitkan, Sia percaya akan hal itu karena dia sendiri sudah merasakannya. "Sia! Kenapa lo bengong sih? Dipanggilin dari tadi juga," ucap Elin menggoyangkan bahu Sia dengan keras. "Eh? Nggak pa-pa, kok." "Nggak usah mikirin omongan gue tadi, gue cuma becanda kok, hehe," canda Elin sambil menunjukkan cengiran khasnya. Tidak mengelak lagi, Sia hanya membalas dengan anggukan kepala singkat. Pikirannya masih saja berpusat pada Elgi. Sia tidak tahu kenapa kehadiran Elgi sangat berdampak besar bagi dirinya. Dan Sia tidak akan melupakan memori-memori kejadian dengan cowok itu waktu dulu. Keadaan selanjutnya keheningan mulai merayapi, Sia memilih untuk diam seraya melamun diantara derap langkah kaki panjangnya dan Elin juga sudah berhenti menggoda Sia. "Lo tau kak Elgo nggak?" Seperkitan detik suasana hening merayapi, Elin tiba-tiba melontarkan pertanyaan. Spontan dengan gerakan kilat, Sia langsung menoleh ke arah Elin. Ia lalu mengendikkian bahunya ke atas tanda ia tidak tahu siapa cowok yang sedang Elin maksud sekarang. "Kudet amat lo, masa nggak tahu kak Elgo sih lo, adik kelas juga pada tahu kali." Elin memutar bola matanya malas, tidak menyangka dengan tanggapan yang Sia berikan. Sia benar-benar bicara jujur sekarang. Elgo? Dia siapa? Nama itu terasa asing bagi dirinya. Sia juga tidak ada minat mencari lebih tahu tentang cowok yang Elin sebut tadi. Baginya, itu sama sekali itu tidak penting. "Ih Sia! Lo nggak nanya dia siapa?" Emosi Elin tiba-tiba meledak. Mendadak, Sia langsung bingung dengan sahabatnya itu. Ditatapnya Elin dengan mata mengerjap bingung. Harus banget Sia bertanya memangnya? "Nggak penting juga," sahut Sia cuek, kemudian dia mengedarkan pandangannya ke arah depan. "Masa lo nggak tahu kak Elgo sih, itu loh kakak kelas yang gantengnya naudzubillah, emang lo belum lihat wajah dia kayak apa?" Elin menaikkan satu alisnya. Menatap Sia lamat-lamat, menunggu balasan sahabatnya itu. "Nggak!" balas Sia singkat dengan nada suara ditekan. Sedetik setelahnya, ia mengambil seribu langkah dan meninggalkan Elin ditempat. "Sia, tungguin gue!" teriak Elin dengan suara cempreng khasnya. Ia langsung menyusul Sia yang sudah berada di depan sana. Merasa jaraknya yang terpaut cukup jauh membuat Elin harus mengambil pasokan oksigen lebih banyak dan siap untuk berlari menyusul sahabatnya itu. "Aish, ini anak benar-benar ya!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD