07. HANYA SEBUAH KENANGAN

1161 Words
"Memang dasarnya masa lalu itu menyakitkan, semakin lama membekas diingatan, semakin besar pula rasa sakit itu muncul ke permukaan." *** Dengan letih, Sia mulai melangkah keluar dari dalam kelasnya karena bunyi bel sekolah sudah menggema memenuhi penjuru sekolah. Elin, cewek itu sudah melesat terlebih dahulu. Entah kenapa tiba-tiba Sia jadi teringat akan Elgo, tindakannya di kantin beberapa saat yang lalu membuat Sia menjadi merasa bersalah. Bagaimanapun juga, Sia harus meminta maaf lagi nanti. Seperti biasa, cewek yang sekarang memiliki rambut sebahu itu menunggu angkot di halte depan gerbang sekolah. Sesekali Sia menghentakkan kakinya ke tanah, sekedar untuk menghilangkan rasa suntuk dan bosan. Sekali lagi, pandangannya ia alihkan menatap jalanan, berharap masih ada sisa angkot yang berlalu lalang. Sia mendesah dengan berat, sudah hampir dua puluh menit bokongnya duduk di kursi, ia sedikit merasa pegal, bagaimanapun juga Sia harus segera pulang karena mengingat waktu sudah sore. Di sini, ia tidak sendiri, banyak siswa dan siswi lain yang bernasib sama seperti dirinya, menunggu kedatangan kendaratan beroda empat itu melintas. Sia masih berusaha sabar, kemudian tangannya terulur dan berakhir di tas berwarna biru laut miliknya. Dari dalam sana, ia mengambil benda pipih berwarna hitam dam earphone yang memiliki warna senada dengan ponselnya. Setelah dua benda itu berada digenggaman tangannya, Sia menyumpal earphone di sepasang telinganya. Tak butuh waktu lama, sebuah lagu yang berada diplaylistnya mulai mengalun, mengajak telinga Sia untuk mendengar dengan seksama. Sesekali cewek itu tersenyum dan ikut melantunkan lirik lagu walaupun masih belum lancar dan terdengar ambigu. Sia tak peduli tentang itu, yang terpenting dirinya terhibur. Disela senandung lagu yang masih mengalun dengan indah, senyum Sia langsung terbit, memunculkan lesung pipit diwajahnya. Dengan tergesa, cewek itu berdiri dari duduknya, berjalan dengan langkah panjang-panjang untuk masuk ke dalam angkutan umum. Earphone itu masih setia menggantung di telinga, ia tidak berniat melepasnya. Bagi dirinya, musik adalah bagian dari hidupnya. Satu hari tanpa ada musik yang menggema, itu rasanya sangat suntuk dan membosankan. Singkat cerita pada malam hari, dengan lampu temaram yang mengisi ruangan kamarnya, Sia terduduk di kursi, tangannya sibuk menyalin tulisan yang ada di buku paket. Sesuai tugas pada hari ini, seluruh kelas XI IPA 4 diberi pekerjaan rumah untuk meringkas. Sia tidak biasa menunda tugas, sekalipun ada PR, pada malam harinya ia pasti langsung mengerjakannya. Lima belas menit berlalu, Sia menghela napasnya dengan lega, ditutupnya buku catatan dan diletakkan ditempat semula buku itu berada. Sia masih berdiam diri di tempat, ekor matanya menerawang sebuah foto lusuh yang terpampang di tembok. Sia menatap benda itu dengan lama, dan ia kemudian tersenyum tipis. Itu adalah foto satu tahun yang lalu, foto yang memperlihatkan gestur tubuh dirinya yang sedang memegang es krim dan Elgi yang tersenyum begitu lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tertata rapi. Setiap kali Sia mengingat nama itu, entah kenapa hati kecilnya merasa sangat sakit ditinggal oleh cowok itu. Sia mengambil benda usang itu, lalu mengusapnya dengan perlahan, ia tersenyum haru membayangkan pada saat itu, tanpa terasa ia sudah menitikkan air mata. Dadanya merasa sangat sesak, satu detik kemudian Sia menyatukan foto itu dengan dadanya. Dalam pelukan yang sangat erat, ia kembali mengeluarkan cairan bening untuk kali kedua. "Elgi, aku kangen kamu, kenapa kamu harus pergi disaat aku sayang sama kamu. Please ... Aku mohon untuk kali terakhir, tolong ijinkan aku melihat wajahmu lagi." Bunyi jarum jam yang tertempel di dinding menyatu dengan tangisan Sia pada malam ini. Sia kemudian kembali menatap foto itu. Kini hanya tinggal kenangan, kenangan yang sangat menyesakkan d**a, kenangan yang menyakitkan hati, dan kenangan yang sangat pahit. Bahkan, sampai saat ini Sia masih belum mengetahui alasan kenapa Elgi meninggalkan dirinya. Malam yang begitu sunyi menyambut Sia dengan lelapan tidurnya. Sekarang gadis itu sudah tidak mengeluarkan air mata lagi, foto yang semula berada di jari jemarinya kini terjatuh ke lantai. Sia sudah mengatupkan matanya, mengusir rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti raganya. Mimpi kembali hadir ditengah hening dan dinginnya malam. "Sia, kamu mau es krim nggak?" Mendengar seruan dari sang kekasih, Sia langsung memalingkan wajahnya, menatap Elgi penuh kerutan yang terpatri dikeningnya. Lalu, sedetik kemudian ia tersenyum malu. "Gimana, mau nggak? Kalo kamu mau aku bakal beliin." Sia memilin bibir tipisnya, ia juga melihat pedagang es krim yang posisinya tak jauh dari sini, sebelum menjawab, ia kembali memandangi Elgi yang sepertinya menunggu jawaban darinya. Alis tebal yang naik ke atas sudah mengisyaratkan tentang itu. "Ya udah, kamu tunggu sini, ya? Aku beliin sebentar." Sia langsung mengerjap, padahal dirinya masih belum menjawab pertanyaan dari cowok itu, tetapi Elgi malah menyimpulkan sendiri jawabannya, seolah-olah jawaban yang akan Sia lontarkan sesuai sama isi hati cowok itu. Dilihatnya Elgi yang sedang berjalan menghampiri penjual es krim. Sia tersenyum lebar, pacarnya itu sangat perhatian. Sia sayang kepada Elgi melebihi apapun. Sikapnya yang manis selalu saja mencuri hati kecil milik Sia. Tak butuh waktu lama, Elgi sudah kembali dan mengambil dudik di samping Sia seperti sebelumnya. Bentuk garis-garis lurus vertikal yang terpatri dengan jelas dikening Sia sudah terpampang. Sia bingung dengan Elgi karena ia ke sini hanya membawa satu buah es krim. Lalu bagaimana? Apakah Elgi sengaja ingin berbagi dengan sia atau cowok itu tidak mampu membeli dua es krim sekaligus? Atau Elgi sendiri tidak ingin memakan es krim kali ini? Merasa sangat penasaran, Sia akhirnya mengeluarkan suara, bertanya kepada Elgi apa maksud dari ini. "El, kenapa beli satu? Di sana es krimnya sudah habis?" Sia dengan harap menunggu jawaban dari Elgi, namun apa yang dirinya dapatkan malah senyuman lebar dari cowok itu. "Buat kamu, aku nggak minta. Masih kenyang soalnya." Sia diam sebentar, memandangi es krim itu beberapa saat, lalu ia menggeleng sebanyak dua kali. "Aku nggak mau makan kalo kamu nggak makan. Ini, kan, yang beli kamu, kenapa harus aku yang makan?" Sia mendengkus panjang, tentu aja ia tidak enak hati jika memakan es krim seorang diri, sementara cowok yang sudah membeli makanan ini hanya asik memandangi dirinya makan. Tidak, dia tidak mau hal itu sampai terjadi. "Sia, kamu sayang sama aku, nggak?" Walaupun pertanyaan Elgi sangat ambigu, tetapi akhirnya Sia mengangguk semangat. "Kalo kamu sayang, turutin kemauan aku. Kamu harus makan es krim ini, kasihan aku yang udah beli kalo nggak di makan. Sayang juga es krimnya, dia bakal sedih karena nggak kamu makan." Sia akhirnya pasrah, menurut permintaan Elgi, walaupun malu karena memakan seorang diri, tetapi ia harus menuruti kemauan sang kekasih. Di sela masih m******t es krimnya dengan sarkas, suara Elgi langsung menginterupsi kesibukan Sia. "Sia, lihat sini dong." Dengan spontan Sia terperenjak kaget saat Elgi mengangkat ponselnya tinggi-tinggi ke udara. Bunyi "cekrek" baru saja terdengar. Sia mengerucutkan bibirnya, sebal dengan tingkah Elgi yang tidak bilang bilang jika dirinya akan mengambil foto. "Ih Elgi, hapus foto itu, aku-nya jelek banget tau," kata Sia setengah merajuk. Elgi tidak peduli dengan kicauan suara Sia yang masuk ke telinganya. Sekarang ia sendiri sibuk melihat hasil tangkapan kamera ponselnya beberapa detik yang lalu. "Nggak pa-pa, buat kengan-kenangan aja. Besok aku cetak deh foto ini, satu buat aku, dan satu lagi buat kamu. Semisal kangen sama aku, kamu bisa langsung lihat foto ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD