Enam

1354 Words
Hastuti meletakkan jari-jarinya di pipi. Tulang rahang yang beberapa waktu lalu tertutup lemak mulai terasa cekungannya. Lingkaran hitam mulai terlihat di sekeliling mata. Dan ..., rambutnya, rambutnya berguguran satu per satu. "Kamu masih sangat cantik bagiku." Wijat memegang kedua bahunya dari belakang dan menatap mata yang kehilangan sinarnya di dalam cermin. "Bagaimana bisa aku tidak menyadari ada penyakit jahat menggerogotiku, Wi? Lihat akibat yang ditimbulkannya. Tubuhku seperti mati. Aku--, kurasa aku tidak akan bertahan." "Ssstt!" Wijat membalikkan tubuh Hastuti hingga menghadap padanya. "Kamu akan sembuh. Kamu harus yakin itu. Demi kita. Demi harapan-harapan kita." "Wi--," Wijat membungkam kata-kata yang akan terlontar dari mulut Hastuti dengan bibirnya. Setetes air mata mengalir perlahan pada pipi tirus Hastuti. Jika ini akhirnya ..., jika aku harus pergi sekarang, aku ikhlas Tuhan. Tidak ada lagi saat yang lebih membahagiakan dibanding saat ini. Aku ingin pergi dengan bahagia. Ditemani orang-orang yang menyayangiku. Dan juga kusayangi. Aku ingin pergi tanpa beban. Aku ingin pergi diiringi senyuman. Bukan tangisan. "Wi .... jika saatnya tiba, berjanjilah satu hal padaku." Hastuti mengeratkan pelukannya pada tubuh Wijat. Aroma segar tubuh Wijat memenuhi rongga hidung dan pikirannya. Aroma yang menenangkan. Hastuti merasa sangat nyaman dalam pelukan Wijat. "Aku tidak akan berjanji apa-apa. Saat yang kamu bayangkan itu tidak akan ada, Tik. Berhentilah bicara yang tidak-tidak." Sambil membelai rambut Hastuti yang menipis, Wijat mendudukkan Hastuti di sofa. Mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan meninggikan sandaran dengan bantal-bantal empuk sehingga Hastuti bisa menyandar dengan nyaman. "Wi ..." "Istirahatlah, Tik. Kamu terlihat lelah. Aku akan menjagamu." Wijat duduk di kursi di sebelah sofa dan menggenggam tangan Hastuti. "Berjanjilah padaku, Wi." "Sudahlah, Tik. Jangan banyak bicara. Tidurlah dulu. Setelah kamu bangun nanti dan jika cuaca bagus, kita bisa jalan-jalan di taman dekat toko Chatlotte." "Kasihan Charlotte. Dia pasti sibuk hari ini. Harus menjaga toko dan baby Eugene sendirian. Seandainya saja aku tidak pingsan tadi pagi." "Kamu kelelahan. Tidak mungkin bisa menjaga baby Eugene sendirian." "Maafkan aku, Wi." "Untuk apa?" "Kamu harus pulang cepat hari ini. Padahal baru beberapa hari kerja." "Sstt! Bosku tidak keberatan, kok. Dia sangat pengertian sekali. Dulu istrinya juga pernah sakit dan dia tahu sekali bagaimana sulitnya hidup di negara orang. Aku beruntung punya bos yang satu negara dengan kita. O, ya, dia juga memberiku setengah gaji di awal. Cukup untuk biaya kemomu, Tik." Wijat tersenyum bahagia dan menggenggam erat tangan Hastuti. "Aku merepotkanmu, ya?" tanya Hastuti sambil memejamkan mata. "Kamu membuatku menjadi laki-laki yang bertanggung jawab." Wijat mengecup kening Hastuti dengan penuh perasaan dan cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tepukan keras dan putus-putus menyudahi kecupan itu. Hastuti membuka mata. Wijat berdiri dan membalikkan tubuh. Menatap nanar seorang pemuda jangkung dan kekar yang sedang bertepuk tangan sambil tertawa sinis. "Luar biasa. Marvelous! Sangat menyentuh!" "Siapa kamu! Bagaimana kamu bisa masuk kemari?" tanya Wijat. Tubuhnya tegang. Dia berdiri menutupi wajah Hastuti dari pemuda itu. "Halo Ibu Hastuti. Bagaimana kondisi Ibu hari ini? Ah, pertanyaan absurd. Sudah jelas dari wajah Ibu kalau Ibu sedang tidak fit. Wajah Ibu pucat sekali. Apa setelah pingsan tadi pagi, Ibu tidak istirahat? Tapi ..., meski sakit, Ibu masih tetap cantik, kok!" Dengan tengilnya, pemuda itu mengabaikan pertanyaan Wijat. Dia memiringkan tubuhnya berusaha mengintip wajah Hastuti yang bersembunyi di punggung Wijat. Masih mengabaikan Wijat, pemuda itu berjalan santai ke arah dapur. Meninggalkan Wijat yang berdiri mematung mendengarkan alarm tanda bahaya berbunyi di kepalanya. Pikirannya disibukkan dengan berbagai kemungkinan untuk melawan dan melumpuhkan pemuda itu. Saat matanya menangkap sekeranjang buah di atas meja, dia mendapat sebuah ide. Tapi tangan Hastuti menahan langkahnya. Wijat memalingkan wajah dan menatap Hastuti dengan pandangan bertanya. Seolah menyuarakan pertanyaan, 'kenapa?' Hastuti menjawab dengan gelengan lemah. Wijat mengeraskan pandangannya. 'Ini satu-satunya kesempatan kita.' Hastuti tersenyum dan lagi-lagi menjawab dengan gelengan lemah. Mata Wijat berpaling pada sekeranjang buah dan pisau perak berkilat yang tergeletak di sampingnya. Tubuhnya kembali menegang. Menunggu pemuda tengil itu kembali dari dapur. Sepertinya dia mencari sesuatu. "Hhmm, Anda melewatkan satu-satunya kesempatan untuk membela diri, Pak Wijat." Pemuda itu kembali dari dapur dengan segelas orange juice di tangan. Matanya melirik pada pisau buah yang masih pada tempatnya. Tidak berpindah seinci pun. "Well, saya cukup heran pada kalian berdua. Kebanyakan korban saya akan memohon dan mengiba agar saya mengampuni mereka. Tapi sepertinya kalian malah pasrah." "Jika sudah takdirnya, kematian pasti akan datang dengan caranya sendiri. Jika memang kami harus mati di tanganmu, maka kami akan mati. Yang harus terjadi biarlah terjadi," kata Hastuti lemah. "Wow! Marvelous! Beri tahu saya, Ibu Hastuti. Apa penyakit yang membuat Ibu jadi bijak? Atau pelarian yang melelahkan? Saya tahu Anda sama sinisnya dengan saya di masa lalu." "Tidak mungkin kamu mengenal saya. Kita beda generasi." "Apa yang Anda tahu soal generasi? Di tempat asal saya, tiap generasi sama saja. Busuk! k*****t! b*****h! Termasuk saya! Termasuk Anda!" Pemuda tengil melemparkan gelas berisi juice ke dinding. Membuat Hastuti dan Wijat terlonjak karena terkejut. "Sudah cukup basa-basi memuakkannya! Kalian sudah tahu apa maksud kedatangan saya kemari." Bunyi klik terdengar saat pemuda itu mengokang pistol beperedam miliknya. Dengan senyum miring yang menyebalkan, dia menatap Wijat dan Hastuti bergantian. "Siapa lebih dulu?" tanyanya. Moncong senjata mengarah ke kepala Hastuti. "Kalau Anda mati lebih dulu, dan saya biarkan Pak Wijat hidup, apa dia akan menderita dan menangisi kepergian Anda? Mungkin dia akan sakit sampai mati atau lebih cepat lagi, bunuh diri karena patah hati. Atau sebaliknya? Dia merasa lega, melanjutkan hidup dengan bahagia dan perlahan menghapus kenangan tentang Anda dari ingatannya. Yang mana kemungkinannya menurut Anda, Ibu Hastuti?" Moncong senjata beralih ke d**a Wijat. "Kalau saya bunuh Pak Wijat dan membiarkan Ibu Hastuti menangisi kematiannya, dan itu pasti terjadi, saya sudah bisa menebak akhirnya. Cepat atau lambat. Dengan atau tanpa peluru saya, Anda tetap berakhir dengan kematian Ibu Hastuti. Dan saya tidak membunuh orang dengan takdir kematian yang jelas. Tidak menantang! Tapi saya tidak sedang bermain. Tugas tetap tugas. Tugas saya sudah jelas. Melenyapkan kalian berdua! Siapa pun yang pertama kali tidak akan membuat perbedaan." "Lalu tunggu apa lagi? Tembak kami segera dan kamu bisa segera melapor pada Margono. Untuk seorang pembunuh bayaran, kamu terlalu banyak omong!" gertak Wijat, "jangan lupa sampaikan salam kami pada Margono. Setidaknya kami mati bahagia karena tetap bersama." Wijat mengeratkan genggamannya pada tangan Hastuti. "Untuk orang yang akan mati, Anda terlalu banyak bicara." Pemuda itu menurunkan senjatanya. Wijat dan Hastuti saling melirik dengan heran. "Kalian tetap akan mati. Tapi tidak hari ini. Kedatangan saya kemari karena ingin menyampaikan pesan khusus kepada Anda, Ibu Hastuti." Pemuda itu tersenyum misterius dan memandang jauh menembus tubuh Wijat. Mencari tatapan lemah Hastuti untuk dia pandangi. Hastuti pun menggeser tubuhnya sehingga dia dan pemuda itu saling memandang dengan leluasa. "Dua puluh tahun yang lalu, ketika Anda mengenal dan terjebak dalam dunia Margono, ingatkah Anda jika pernah mengandung seorang janin dalam rahim Anda?" tanyanya sambil menatap Hastuti tanpa berkedip. Dia mencari reaksi di wajah Hastuti. Terkejut? Sakit? Atau marah? Mata Hastuti menerawang. Kembali ke masa 20 tahun, saat dia terjebak dalam dunia prostitusi ala Margono. Mencoba mengingat kembali hal-hal yang telah berusaha dia lupakan. Ketika karena kecerobohannya, perutnya membuntal dan dia memilih berjuang untuk melahirkan bayinya. "Aku ingat. Saat itu aku menolak menggugurkan kandunganku. Hhh! Usaha yang sia-sia. Sembilan bulan mengandung, bayiku terlahir tanpa nyawa. Margono berusaha menghapus ingatan itu dari kepalaku. Aku pun tidak menolak ketika dia menyuruh anak buahnya membakar rahimku. Dia pikir ingatanku telah tercuci habis dan aku kembali ke dunia kotornya dengan pikiran setengah kosong dan rahim yang rusak. Tapi dia tidak tahu, jika setiap saat aku menangisi kematian anak yang jasadnya pun tidak bisa aku peluk. Bahkan aku tidak tahu apa dia laki-laki atau perempuan? Tidak ada nama yang bisa aku sematkan untuknya." Hastuti menangkupkan telapak tangan ke wajahnya. Dia menangis tersedu-sedu. Sentuhan lembut di pundaknya tidak dihiraukan. Hastuti tenggelam dalam tangisannya. "Aku tidak tahu ada cerita seperti itu. Aku turut berduka untuk bayimu." Wijat duduk di samping Hastuti dan memeluknya. Tatapan dingin pemuda itu menusuk kepala Hastuti. Dia seolah akan menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat perbedaan pada diri Hastuti. Merasakan hawa dingin yang menguar karena keberadaan pemuda itu, Hastuti mengangkat wajahnya perlahan. Matanya beradu pandang dengan pemuda itu. "Bayi Anda tidak mati. Dan dia perempuan. Namanya Zealotu. Mungkin Anda lebih mengenalnya dengan nama Zea."©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD