Lima

1657 Words
"Swiss? Kenapa harus ke sana?" Ini hari kedua Zea berusaha membujuk Hastuti pergi dengannya. "Saya punya seorang teman yang bisa dipercaya untuk melindungi kita di sana." Hastuti mendesah. Dia merebahkan tubuhnya pada sofa di ruang keluarganya yang nyaman. Wijat sedang keluar membawa baby Eugene berkeliling. Sejenak, hanya kebisuan yang menjembatani Zea dan Hastuti. Bola mata keduanya saling bersitatap. Menelisik dan mencari tahu rencana-rencana tersembunyi. Lengkingan ceret air membuyarkan kebisuan mereka. "Kamu mau teh atau kopi?" tanya Hastuti sambil beranjak menuju dapur. "Kopi saja. Dengan krimer pekat dan sedikit gula." Hastuti terperanjat mendengar permintaan Zea. "Um ... saya suka kopi yang manis. Ada rasa pahit kopi tapi rasa manisnya lebih kuat." Zea tersenyum menjelaskan. Pasti Hastuti merasa sedikit aneh dengan cira rasa kopinya. Zea menyukai kopi pekat, tapi dia merasa kopi pekat selalu mengejeknya. Hidupnya sendiri sudah cukup gelap, tak perlu lagi diingatkan oleh segelas kopi. "Tidak apa. Saya juga suka kopi dengan krimer yang banyak. Membuat saya memiliki harapan, bahwa hidup yang pahit pun bisa menjadi manis. Walau masa lalu yang gelap tidak akan bisa diubah menjadi terang." "Ikutlah pergi dengan saya, Nyonya," ajak Zea sekali lagi. Hastuti melihat lapisan kaca-kaca pada mata Zea. "Duduklah. Minum kopimu selagi panas. Saat rasa panas menyengat ujung lidahmu, saat itulah kamu tahu rasanya kenyataan." Hastuti meletakkan cangkir Zea di meja kecil di samping sofa dan menarik sebuah kursi lebih dekat dengan sofa. Dia merebahkan tubuhnya di sofa dan meluruskan kedua kakinya. "Saya tidak muda lagi, Zea. Berlari menguras semua energi yang saya miliki. Saya terlalu sibuk bersembunyi dan melupakan banyak hal termasuk kesehatan saya. Zea, saya sakit. Sebenarnya, tanpa harus dilenyapkan, waktu akan membuat saya menghilang cepat dari dunia ini. Saya ingin menghabiskan sisa waktu saya dengan menggenggam tangan Wijat dan memandang wajahnya. Hanya itu. Saya juga ingin pulang, Zea. Ke Jakarta. Tapi rasanya itu tidak mungkin dilakukan jika saya masih hidup." "Ap-apa maksud, Nyonya? Anda sakit?" Tangan Zea sedikit bergetar ketika kata-kata Hastuti mulai terserap oleh otaknya secara perlahan. Hastuti mengangguk. Dengan lembut diraihnya tangan Zea yang masih memegang cangkir. "Kanker menggerogoti tubuh saya. Walau pengobatan terus dilakukan, tapi saya tahu waktu saya tidak banyak." Diletakkannya cangkir Zea di meja. Disandarkannya punggungnya dan dia menatap satu titik di langit-langit rumah. Zea kehilangan kata-kata. Tidak ada informasi ini dalam berkas Hastuti yang dikirimkan kepadanya. Bagaimana mungkin hal sepenting ini bisa luput? Atau mereka sengaja menyembunyikan ini dariku? "Sudah sejak kapan?" Suara Zea sedikit bergetar ketika menanyakan hal itu. Dia mencoba menjaga ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tegar. Hastuti menggeser wajahnya hingga menatap Zea. Senyum tersungging dari bibirnya yang sedikit pucat. Hal kecil yang kini baru disadari Zea. "Belum lama. Sejak tiba di Stutgart saya rasa. Beruntung hubungan saya dan Eugene sangat baik. Dia yang menanggung semua pengobatan saya. Dia juga yang membayar sewa apartemen ini. Dan dia memberi saya uang tanggungan sebagai mantan istrinya. Sebagai balasannya, saya menawarkan diri menjaga baby Eugene." "Masih ada harapan sembuh, Nyonya. Saya akan cari dokter terbaik yang bisa menyembuhkan Nyonya." Tanpa sadar tangan Zea sudah menggenggam jemari Hastuti. Matanya sedikit berkaca. "Siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu begitu peduli pada saya? Zea ..., saya ..., saya merasa sangat-sangat mengenal kamu. Hati saya yang bilang. Tapi saya juga sangat yakin kalau saya tidak pernah bertemu kamu sebelum ini. Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari saya?" Bagaimana aku mengatakannya? Kalau dia ..., dia-- "Kalian ngobrolin apa? Kelihatannya serius sekali." Wijat masuk ke dalam ruangan dan meletakkan baby Eugene yang terlelap ke dalam boks bayi di sudut ruangan. "Aku datang pada waktu yang tidak tepat, ya?" tanyanya sambil duduk di sebelah Hastuti, membawa Hastuti ke dalam pelukannya. "Aku baru saja menceritakan kondisiku pada Zea. Dia masih memaksa kita untuk lari dengannya." Hastuti menggerak-gerakkan kepalanya di d**a Wijat. Mencari posisi yang nyaman sebelum dia memejamkan mata. "Jadi ..., apa kesimpulannya? Masih berencana untuk pergi?" tanya Wijat pada Zea. Zea yang sedari tadi mematung, sedikit tergeragap. Dia menatap kosong pada Wijat. Seolah ada sesuatu yang sangat menarik di belakang kepala Wijat. "Sa--saya tidak tahu. Ini informasi yang tidak saya perkirakan sama sekali. Tidak ada yang pernah memberi tahu saya tentang penyakit Ibu Hastuti." Zea beranjak dari kursinya. Tangannya bergetar dan dia sedikit gugup. "Saya harus pergi. Ada hal yang harus saya pastikan," katanya sambil terburu-buru meninggalkan dua orang yang memandanginya tak mengerti. *** Setan! Bagaimana bisa aku nggak dapat informasi sepenting itu. Ibu Hastuti sekarat dan aku disuruh membunuh dia? Kampret! Zea berjalan mondar-mandir di kamarnya. Sesekali tangannya memijit kepalanya yang tidak pening. Nalurinya berkata sejak awal dia telah dipermainkan. Tugas ini tidak diberikan kepadanya secara random. Ini memang sudah direncanakan 'mereka'. Zea mengendus sesuatu. Dia mengirim pesan kepada Cakra. Kamu tahu tentang informasi ini, kan? Hastuti sekarat? Ya. Bangsat kamu Cakra! Kupikir kita teman! Kenapa tidak memberi tahu aku? Aku tidak tahu kalau itu penting bagimu. Aku tidak membunuh orang yang sudah mau mati! Aku tahu. Kamu selalu bilang di mana letak kesenangannya. Bukan begitu? Tapi ketahuilah. Sangat penting bagi organisasi, terutama bos besar, bahwa kamu sendiri yang harus melenyapkan Hastuti. Bukan orang lain atau Tuhan. Kamu tahu alasannya, kan? Bangsat kamu Cakra! Berhentilah bersikap seperti perempuan, Zi! Berlarilah segera. Beri aku permainan terbaikmu dan buat jadi menarik. Agar aku tidak perlu membunuhmu terlalu cepat. Aku tidak akan lari. Datang saja dan hadapi aku. Zea melempar ponselnya ke atas kasur dan bergegas ke kamar mandi untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Di bawah dinginnya air shower dia mulai menyingkap satu per satu kabut yang menyelimuti ingatannya. Hari itu, dua belas tahun umurnya. Sudah cukup matang dengan tubuh kencang dan buah d**a sebesar jeruk medan. Menstruasi pertamanya baru saja selesai dua hari yang lalu. Dan dia masih ingat bagaimana rasanya. Perutnya sangat sakit. Sudah beberapa kali dia ke kamar mandi tapi tanpa hasil. Hari itu dokter mengizinkannya libur dari pelatihan dan menyuruhnya istirahat. Setelah minum obat pereda nyeri, dia tertidur. Lama dia tertidur sampai dirasakannya tubuh bagian bawah lembap dan hangat. Dia bangun dengan terkejut dan khawatir telah mengompol di celana. Tapi bukan air berbau pesing yang mengotori seprainya. Noda merah dan lengket yang membuatnya menjerit. Dia ketakutan karena berpikir seseorang telah melukainya dan dia telah lalai karena membiarkan kewaspadaannya menurun. Dia yakin akan dihukum karena mengabaikan aspek-aspek pelatihan. "Kamu tidak apa-apa. Ini darah menstruasi." Dokter yang memeriksanya memberi penjelasan singkat dan menyuruhnya membersihkan diri. "Ini, pakailah ini." Dokter tersebut menyodorkan sesuatu untuk direkatkan pada celana dalamnya. Dua hari setelah menstruasinya selesai, Zea dibawa ke sebuah ruangan khusus untuk dimandikan dan didandani. Diberi pakaian yang menempel ketat di tubuhnya dan diberi wewangian yang menyegarkan. Zea melihat pantulan wajahnya di cermin. Cantik dan segar. Setelah itu Zea dibawa ke sebuah kamar yang sangat indah dan besar. Nuansa lembut terpancar dari warna-warna perabot di kamar itu. Ranjang besar dengan seprai beludru berwarna abu-abu muda sangat menggoda untuk ditiduri. Bantal besar dan empuk berwarna merah muda yang sangat lembut terlihat kontras dengan seprai abu-abunya. Tapi serasi. Permadani berbulu tebal melapisi seluruh lantai. Tidak terlalu banyak furniture di ruangan itu. Selain ranjang. Ada satu sofa yang juga sangat empuk dan nyaman. Satu buah meja panjang di depan sofa, dua buah kursi di seberang ruangan dan sebuah meja kecil yang penuh dengan buah-buahan segar dan sebuah ember alumunium dengan sebotol minuman di dalamnya. Tapi Zea tidak melihat ada gelas di ruangan itu. "Sudah menunggu lama?" Seorang lelaki masuk ke dalam ruangan. Mendekati Zea yang terduduk ketakutan di tepi ranjang. "Hhmm. Tidak mengecewakan. Semoga pelayananmu juga tidak mengecewakan." Sebelah tangan lelaki itu menyentuh pipi Zea. Kasar. Hah?! Ap-apa maksudnya? Tidak ada seorang pun yang memberi tahu Zea untuk apa dan mengapa dia harus berada di kamar ini. Bersama laki-laki yang dia tahu pasti identitasnya. Margono. Bos besar pemilik kejahatan di negara ini. Dia iblis dalam wujud manusia. Tapi juga malaikat bagi mereka yang putus asa. Zea pernah melihatnya beberapa kali di aula pelatihan. "Kamu pasti bertanya-tanya, mengapa berada di kamar ini, kan?" Margono meletakkan gelas whiski yang sedari tadi di genggamnya di atas meja kecil. "Sudah kewajibanku mengajari hal penting pada setiap perempuan yang lahir di rumah ini. Dan aku suka mengajari mereka pada usia yang sangat muda. Kamu tahu, perempuan dewasa itu membosankan. Bocah seperti kamu membuatku lebih tertantang." Margono membuka kancing-kancing kemejanya dan melemparkannya ke lantai. Zea masih belum mengerti dengan jelas apa yang akan terjadi. Tapi d**a Margono yang terbuka dan berbulu membuatnya mual dan ketakutan. Dia berdiri dan melangkah mundur hingga ke dinding. "Jangan takut Zea. Aku tidak akan menyakitimu. Walau awalnya, yah, sedikit sulit dan nyeri. Tapi aku janji kamu akan menikmati prosesnya. Kali ini aku akan melakukannya dengan perlahan. Kemarilah. Jangan tunggu aku yang datang padamu dan memaksamu." Zea semakin menempelkan punggungnya ke dinding. Dia menatap tubuh besar Margono yang bertelanjang d**a dan duduk di tepi ranjang. Tangan Margono terulur padanya. "Ayolah. Waktuku tidak banyak. Aku juga bukan Rabi yang memiliki kesabaran tak berbatas." Zea bingung. Firasatnya mengatakan, apa pun pilihannya, akhirnya pasti buruk. Tidak ada hal baik untuknya. Tapi dia masih bisa memilih jalannya. Menyakitkan atau tidak. Dia sudah cukup merasakan berbagai macam jenis kesakitan. Semuanya sama. Buruk. Mungkin kali ini dia boleh memilih 'tidak menyakitkan'. Zea berjalan perlahan ke arah Margono. "Gadis pintar. Duduklah di pangkuanku." Zea menurut. "Pejamkan matamu dan jangan bergerak. Atau aku akan mencekikmu sampai mati. Kamu tahu aku tidak pernah main-main." Zea mengangguk. Dia menutup matanya dan membuat tubuhnya menjadi kaku. Dia tetap geming meski ingin berteriak ketika tangan Margono membuka selangkangannya dan jari-jari Margono mulai bermain di celana dalamnya. 'Akkk!!!' Zea keluar dari bathtub dan mulai bernapas kembali. Ingatan itu begitu jelas seolah baru kemarin Margono mengambil keperawanannya. Air shower masih mengucur memenuhi bathtub yang mulai meluap. Berkali-kali selama bertahun-tahun dia berusaha menghilangkan bekas Margono di tubuhnya tapi tak pernah berhasil. Bau tubuh Margono, desah napas menjijikannya, bahkan lenguh nikmatnya masih terdengar jelas di telinga Zea. Tapi yang membuat Zea tidak bisa lupa adalah perkataan Margono setelah selesai menggagahinya. "Tubuhmu tidak mengecewakan untuk anak seusiamu. Walau kau masih harus banyak belajar agar bisa memuaskanku seperti ibumu. Kau tahu ibumu? Dia favoritku. Kamu pasti mengenalnya. Namanya Hastuti."©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD