Tujuh

1774 Words
Langkahnya terburu-buru menaiki undak-undakan. Napas memburunya terdengar jelas saat dia mendorong pintu yang terbuka sedikit. Terlambat! Kata itu memenuhi pikirannya dan membuat jantungnya seperti turun ke perut. Bagaimana bisa dia begitu ceroboh? Membiarkan kenangan-kenangan berhamburan di kepalanya, sehingga instingnya menjadi lemah. Akan ada penyesalan berlipat ganda seandainya dia benar-benar terlambat kali ini. Dan akan ada dendam yang cukup besar untuk membakar satu kota seandainya dia tak bisa menyelamatkan nyawa satu orang yang selama ini sangat dirindukannya. Sial! Sial! Sial! Mengapa apartemen ini begitu sepi? Jangan-jangan mereka ... 'Klik!' "Aku tak menduga kamu datang lebih cepat. Sepertinya kita punya perjanjian untuk mengulur waktu agar kamu bisa lebih menikmati permainan." Zea mengokang pistolnya dan menempelkan ujungnya di belakang tempurung kepala Cakra. "Sepertinya kamu yang lebih lambat. Apa Zea yang sekarang sudah memiliki rasa belas asih?" Cakra mengangkat kedua tangannya. Pistol terjepit di tangan kanannya. Tidak ada gunanya melawan Zea saat ini. Sudah beratus kali Cakra dikalahkan Zea dalam adu fisik atau strategi. "Aku masih waspada. Kupikir kita akan bermain sportif," kata Zea. Tangannya yang tak memegang senjata mengambil pistol Cakra dan mengosongkan isinya. "We will! Aku hanya melakukan kunjungan tak resmi pada ibumu. Oh, ya, kamu harus berterima kasih padaku karena telah memberi tahu ibumu tentang hubungan kalian." Cakra membalikkan badan perlahan dan mengunci tatapan terkejut Zea. Perlahan tatapan itu berubah menjadi bara dan berkilat marah. 'Plakk!!!' "k*****t kau, Cakra! Apa hakmu mencampuri urusanku? Tidak ada yang memintamu menjadi sinterklas kepagian! Sial!" Satu tonjokan mendarat di ulu hati Cakra, membuatnya sedikit terhuyung ke belakang. Zea memang perempuan, tapi otak cerdasnya tahu dengan pasti di mana tempat yang tepat untuk menyakiti. "Hhh! Mengamuklah sesukamu, Zi. Setelah itu berterima kasihlah. Jika aku mau, ibumu sudah mati dari tadi." Seolah baru terbangun dari tidur, Zea menyadari ucapan Cakra. Jika Cakra mau, mungkin saat ini dia sedang berdri di depan mayat Hastuti dan Wijat. Tapi saat ini, keduanya masih bernapas. Dan Hastuti sedang memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. Apakah itu rindu? Atau tak percaya? Mungkin juga sedih? Bahagia? Entahlah. Sungguh-sungguh entah dari antah berantah. "I-ibu..." Zea sama sekali tak berani memandang wajah Hastuti. Nyalinya ciut. Padahal seumur hidup, inilah saat yang dia nantikan. Tapi justru pada saat inilah dia kehilangan kata-kata, juga tenaganya. Tangannya melemas. Pistol yang masih terkokang turun perlahan dan menggantung di sisi tubuhnya. Dia benar-benar telah kehilangan kewaspadaannya. Pada saat seperti ini, dia bukanlah tandingan Cakra. Dengan sekali jurus, Cakra bisa menghabisinya dengan mudah. "Sudah kubilang kamu akan berterima kasih padaku. Nikmatilah saat ini, karena nanti, tidak ada yang namanya lain kali." Cakra berbisik di telinganya. Suaranya terdengar tajam dan menusuk. Langkah Cakra yang halus terdengar menjauh. Cakra telah pergi. Bukan untuk menghilang, tapi untuk mengawasi. Zea harus bertindak cepat. "Apakah benar yang dikatakan pemuda tadi?" Hastuti bertanya lirih. Tubuh lemahnya mencoba bengkit. Dengan susah payah Wijat membantunya berdiri. Bukan sakit yang membuat tubuhnya kehilangan daya, tapi berita yang barusan saja diterimanya telah menyedot habis tenaganya sekaligus memberikan harapan untuk berjuang. "Ya. Dia mengatakan yang sesungguhnya." "Mengapa? Mengapa kamu tidak memberi tahu dari dulu? Sejak kita berjumpa pertama kali?" "Saya takut." "Takut?" Zea mengangguk. Dia mengangkat wajah dan memandangi wajah sayu yang kini berdiri di hadapannya. "Takut Ibu tidak mau mengakui saya." "Oh! Tidak mungkin! Tidak mungkin aku tidak mengakuimu. Ya, ya, bisa saja saya tidak percaya pada awalnya. Tapi, seorang ibu bisa merasakan. Dan saya merasakannya. Saya merasakan sesuatu sejak bertemu kamu. Wijat bilang, mungkin karena kamu berasal dari Jakarta dan saya rindu Jakarta. Tapi tidak, bukan itu. Saya tahu ada sesuatu di antara kita. Oh, Tuhan! Biarkan saya menyentuhmu." Tangan Hastuti terulur pada wajah Zea. Menyentuh pipinya perlahan. Lalu bergerak ke telinganya. Rambutnya. Bahunya. Dan sebuah dekapan hangat dan erat mengakhiri kerinduan keduanya. Tangis dan tawa menyatu dalam isakan panjang dan pelukan erat. Semua rindu menjadi lebur. Hancur sudah dinding-dinding tinggi yang terbangun. Dua puluh tahun tanpa hubungan, tanpa kabar, tanpa mimpi dan bayangan. Semua seperti keluar dari selubung kenyal dan membuncah tumpah, meruah ke mana-mana. "Zea. Zea. Zea anakku. Katakan jika ini bukan mimpi!" "Tidak Ibu. Ini bukan mimpi. Ini senyata Ibu merasakan hangatnya matahari pagi." "Tidak mengapa jika ini mimpi. Karena Ibu tak ingin bangun lagi. Zea. Zea." "Ini bukan mimpi, Bu. Dan Ibu akan tetap bangun. Karena kita akan berkumpul bersama mulai saat ini." "Bersama?" tanya Hastuti sambil memandang Zea. Cahaya di matanya meredup. "Kenapa, Bu?" Zea sedikit heran ketika Hastuti melepaskan pelukannya. "Kita tidak mungkin bahagia, Zea. Margono tidak akan membiarkan kita berdua hidup. Juga temanmu yang tadi itu." Hastuti benar. Zea menyadari hal itu. Mereka tidak akan bahagia selama Margono masih hidup. Walau kini jeruji besi mengurung Margono, pikirannya masih bebas. Rantai komandonya tak berbatas. Penjara hanya tirai bagi Margono. Perintah dan wewenangnya masih sama. Kejam. Bengis. Kotor. Orang seperti Margono tak layak dibiarkan hidup. orang seperti Margono harus mati dan membayar nyawa orang-orang yang telah dikhianatinya. "Kita akan membalas Margono. Aku janji Ibu akan pulang. Dan kita tidak akan berlari lagi." "Dan ..., temanmu?" "Cakra? Dia bukan apa-apa bagiku. Aku akan menyelesaikan urusan dengan Cakra. Lalu kita akan pulang ke Jakarta. Aku janji." ~o0o~ Ruangan kamar ini mengingatkan Zea pada hotel di Kanada. Tidak mengherankan, hotel tempat Cakra menginap masih satu grup dengan hotel tempat Zea menginap di Kanada. Dan mereka sama-sama tahu siapa pemilik grup hotel bintang lima ini. Apa ini suatu kesengajaan yang dibuat Cakra? Untuk mengingatkan Zea, siapa sebenarnya dirinya? Cakra masih tetap berpikiran jika orang-orang seperti mereka tidak layak menghirup udara sebebas-bebasnya. Orang-orang seperti mereka tidak layak untuk merasa bahagia. Memiliki orang-orang yang mencintai dan dicintai. "Setiap saat kita berhadapan dengan maut, Zi. Keluarga hanya akan membuat diri kita terbebani." "Tapi katamu, kau mencintai aku." "Itu berbeda. Aku, kamu, kita berada pada tim yang sama. Kita tidak perlu memiliki untuk saling mencintai." "Cinta bagimu sama seperti tugas. Begitu?" "Zi, kita akan bersama jika kita ingin. Tidak perlu setiap waktu harus bersama." "Kamu hanya menginginkan tubuhku saja. Itu bukan cinta, Cakra!" "Aku peduli padamu, Zi. Apa itu tidak cukup?" "Tidak akan pernah cukup, Cakra. Aku ingin lebih dari itu. Dan kamu tidak akan pernah memiliki aku. Jangankan hatiku, tubuhku pun tidak akan kuberikan. Terus saja bermimpi!" Seperti pada kebanyakan mimpi. Sebagian akan terwujud, sebagian lain akan kandas tak berujud. Dan sepertinya, mimpi Cakra akan bersambut pada hari ini. Zea bisa memastikannya dari dekorasi ruangan, wewangian yang menguar, dan juga senyum Cakra yang duduk di tepi ranjang super besar dalam balutan kimono kamarnya. "Masih ingat kata-katamu bahwa aku tidak boleh bermimpi memilikimu? Sepertinya kamu harus mencabutnya, Zi. Karena kedatanganmu kemari ..., hari ini, aku yakin bukan untuk meminta pengampunan atas nyawamu dan juga nyawa ibumu." "Ya. Aku memang tidak berniat membujukmu untuk mengampuni kami, Cakra." "Berikan penawaranmu." "Kita bekerja sama." "Hah! Apa? Bekerja sama? Hahaha! Untuk apa? Melawan Margono maksudmu? Jangan gegabah, Zi!" "Aku tidak gegabah! Kita orang-orang unggulan Margono. Aku Si Nomor Satu, kamu Nomor Dua. Siapa yang bisa menandingi kita, Cakra? Kita bisa menghancurkan Margono dan kerajaannya sekaligus!" "Gila! Kamu gila, Zi! Kita tidak akan bisa hidup tenang jika melawan Margono. Kita mau lari ke mana? Sembunyi di mana? Bahkan neraka sekalipun tidak akan mampu menyembunyikan kita, Zi. Dan jangan bermimpi untuk sembunyi di surga. Kita terlalu terkutuk untuk menginjak halamannya saja." "Pikirkan lagi, Cakra. Sampai kapan kamu akan bekerja pada Margono? Dia bukan Tuhan yang selamanya ada. Jika bukan kita, akan ada orang lain yang menjatuhkan Margono." "Biarkan saja orang lain itu datang, Zi. Untuk sekarang, aku hanya tahu Margono yang akan menyokong hidupku. Aku tidak tahu yang lain, Zi. Aku lahir dan besar di pelatihan. Kamu pikir, akan jadi apa diriku jika lepas dari Margono? Aku tidak bisa Zi. Tidak!" "Kamu menyedihkan." "Jika tidak ada lagi penawaranmu, apa kita bisa membicarakan hal lainnya?" "Tidak akan pernah, Cakra. Bermimpilah terus." Zea membalikkan tubuh dan melangkah hendak meninggalkan Cakra. Tepat ketika kakinya melangkah, tanpa suara Cakra mengejar dan memitingnya hingga dia tak berkutik. "Kamu tidak akan membiarkanku menunggu lagi, Zi. Aku tidak mau menikmatimu setelah jadi mayat!" Suara Cakra terdengar memburu di telinga Zea. Dia memutuskan tidak akan melawan dan membiarkan Cakra menyeret tubuhnya ke atas kasur lalu melemparnya dengan keras. "Kamu tidak akan melakukannya." Zea menggeser mundur tubuhnya. "Oh, ya. Menurutmu begitu? Tidak dengan cara halus, Zi. Aku bosan menunggumu menyerahkan diri. Aku akan melakukannya dengan cepat dan kasar. Tak akan pernah kamu bayangkan sebelumnya. Bukankah itu yang kamu suka?" ujarnya sambil melepas kimono. Dibaliknya, Cakra tak mengenakan sehelai benang pun. Dan k*********a sudah menegang dengan sempurna. "Lepaskan aku, Cakra atau--" "Atau apa? Berteriak? Berteriaklah sesukamu, Zi. Kamar ini berperedam. Tidak akan ada yang menggubris teriakanmu. Dan sebaiknya jangan melawan, Zi. Aku tahu kamu sebenarnya menginginkan ini, kamu hanya terlalu gengsi untuk mengakui." Cakra menekan tubuh Zea dan mencium bibirnya dengan ganas. Zea meronta mencoba melepaskan diri, tapi Cakra terlalu kuat. Tenaga setannya bukan tandingan Zea. Setelah hampir kehabisan napas, Cakra melepaskan pagutannya dan lidahnya mulai bermain-main di leher Zea. Kedua tangan Cakra memegang pergelangan tangan Zi dan lututnya menahan paha Zea. Perlawanan Zea mulai melemah ketika bibir dan lidah Cakra mendekati dua payudaranya yang menantang. Dua putingnya menegang seketika saat Cakra mulai mengisap baju dan branya. Dengan mulutnya yang terlatih, Cakra melepas kancing blouse Zea dan menyusupkan lidahnya ke balik BH Zea. Desahan nikmat keluar dari mulut Zea saat lidah Cakra berhasil menyentuh titik sensitifnya. Zea menyerah, Cakra benar, dia sebenarnya menginginkan ini. Perlahan perlawanannya mengendur. Otot-ototnya menjadi relaks. Dia membiarkan Cakra menyelesaikan tugasnya melolosi seluruh bajunya. Dan setelah keduanya tanpa batasan, tubuh bertemu tubuh, kulit menyentuh kulit, membaur dalam panas yang menembusi dinginnya hembusan AC. Zea membiarkan Cakra mencumbunya, menembusinya, memacunya dan menyemburkan aroma kenikmatan di atas tubuhnya. Dia juga membiarkan tubuhnya membuka selebar-lebarnya. Menerima semua rangsangan Cakra dan membiarkan emosi mematikan kewaspadaannya sesaat. Cakra terpejam, menikmati getaran-getaran halus menguasainya. Dia merasakan tubuh Zea berkedut di bawahnya, tapi dia belum berakhir. Dia baru mulai. Dia boleh tersenyum bangga karena berhasil menguasai Zea. Cakra memacu lagi. Cepat-cepat. Merasakan datangnya gelombang yang siap meledak di tubuhnya. Cakra tersenyum. Bahagia menyambut datangnya kenikmatan tiada tara yang tak akan pernah berakhir. Matanya membuka dan menatap mata Zea penuh cinta. Senyumnya terkembang, melukiskan kepuasan karena bisa meraih apa yang sejak dulu ingin diraihnya. Baginya bisa memiliki Zea adalah kemenangan tertinggi. Setelah ini, dia tidak akan menyesali apa pun. Jika Zea harus mati di tangannya, Zea bisa mati sebagai miliknya. Tapi Cakra lupa satu hal. Dia adalah Si Nomor Dua. Selama Nomor Satu belum dilenyapkan, selamanya dia tetap Nomor Dua. Mengapa Zea bisa menjadi Nomor Satu? Tentu karena dia punya kelebihan. Dan kelebihan itu yang dilupakan Cakra saat ini. Perlahan, senyum kemenangan Cakra terhenti di udara. Kenikmatan yang dia rasakan juga terhenti. Seperti terhentinya detak nadi pada tubuh Cakra ketika jari Zea menotok titik-titik vital pada tubuhnya.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD