Bab 8

1057 Words
“Masuk,” kata Nayaka yang saat ini sudah membuka pintu mobilnya, lalu masuk ke dalam. Alinka masih diam di tempatnya. Merasa tidak yakin untuk ikut masuk ke dalam mobil hitam yang dikemudikan oleh Nayaka itu. Bagaimana jika Nayaka membawanya kabur entah ke mana? Kaca mobil bagian kemudi perlahan turun. Saat ini Nayaka sudah menatap Alinka dengan tatapan kesal. “Tunggu apa lagi? Ayo buruan masuk,” kata pria itu. “Apa saya akan aman berada di dalam sana, hanya berdua dengan Anda?” tanya Alinka skeptis. Nayaka menghembuskan napas kasar. “Kamu benar-benar menguji kesabaran saya,” gumamnya melirik kesal ke arah Alinka. Melihat ekspresi Nayaka yang tampak menakutkan, Alinka buru-buru berlari ke depan mobil Nayaka lalu memotret plat nomor mobil hitam yang tampak mengilap itu. Setelah itu, Alinka kembali berlari ke arah pintu belakang mobil tersebut, membuka pintunya lalu masuk ke dalam. Alinka merasa aman jika duduk di kursi belakang. Karena jika Nayaka berani macam-macam di dalam mobil, Alinka hanya perlu memukul kepala Nayaka yang berada di depannya. “Apa yang kamu lakukan tadi?” tanya Nayaka menoleh ke belakang, menatap Alinka dengan ekspresi bertanya-tanya. “Memotret plat nomor mobil Anda dan mengirimkannya kepada teman saya. Hanya buat jaga-jaga, siapa tahu habis ini saya hilang dari muka bumi ini,” jawab Alinka seraya mengirimkan foto plat nomor mobil milik Nayaka kepada Tamara. Bagi Alinka, Tamara adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai. Alinka yakin, jika dirinya benar-benar hilang, Tamara lah yang akan mati-matian mencarinya. Pun dengan Alinka, ia akan melakukan hal yang sama terhadap Tamara. Memang, persahabatan mereka seerat itu. “Kamu benar-benar berlebihan,” ucap Nayaka tampak tak peduli. “Kan nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya terhadap saya,” balas Alinka. “Nggak sekalian kamu kirim plat nomor mobil saya ke kantor polisi biar kamu merasa lebih aman?” Alinka berdecak sebal mendengar sindiran dari Nayaka itu. Apa pria ini memang semenyebalkan itu? “Pasang sabuk pengaman,” perintah Nayaka. Segera Alinka memasang sabuk pengaman. Detik berikutnya mobil mulai berjalan meninggalkan parkiran kampus. “Kita mau ke mana?” tanya Alinka penasaran. “Restoran tempat pertama kali kita ketemu. Saya rasa kita butuh private room untuk membahas tawaran saya.” Bagi Alinka pergi ke restoran di mana Nayaka menciumnya dengan tiba-tiba bukanlah hal yang menyenangkan. Rasanya seperti membangkitkan ingatan yang mati-matian Alinka lupakan. Namun, tampaknya Nayaka sama sekali tidak terganggu dengan fakta bahwa dia sudah mencium Alinka secara tiba-tiba. Ciuman mereka seperti angin lalu bagi Nayaka. Ponsel Alinka bergetar. Segera ia menatap layar ponselnya yang tengah menampilkan kontak nama Berta. “Astaga,” kata Alinka mendadak ingat jika dirinya harus ke kafe. “Gawat.” “Ada apa?” tanya Nayaka yang mendengar ungkapan panik Alinka. “Apa kita nggak bisa membahas tawaran Anda di kafe tempat saya kerja?” tanya Alinka menatap Nayaka lewat kaca spion tengah yang berada di dalam mobil. “Nggak bisa,” jawab Nayaka. “Terlalu ramai. Selain itu, kopinya juga nggak enak,” lanjutnya dengan nada angkuh. Jika tidak sayang dengan ponselnya, Alinka pasti sudah memukulkan benda itu ke kepala Nayaka. Bagaimana bisa dia menghina kopi di kafe tempatnya kerja? Asal Nayaka tahu, kafe yang dia hina itu selalu jadi tempat rekomendasi anak muda kalau sedang nongkrong. Selain karena makanan dan minumannya murah, harganya juga cukup terjangkau. Dasar, orang kaya memang seleranya aneh! “Izin aja nggak usah masuk kerja hari ini. Atau sekalian aja resign.” “Orang kalau nggak pernah susah emang suka ngentengin kerjaan orang lain,” gerutu Alinka menatap Nayaka dengan tajam. “Resign dari sana, kerja sama saya,” ucap Nayaka terdengar sama sekali tidak peduli dengan gerutuan Alinka. “Saya juga ngasih solusi, bukan hanya nyuruh-nyuruh.” Alinka mencibir ucapan Nayaka dengan komat-kamit tanpa suara. Ia merasa beruntung atasannya tidak semenyebalkan Nayaka. Bisa-bisa kalau bosnya itu Nayaka, Alinka akan langsung resign setelah satu jam bekerja. Alinka jadi merasa kasihan dengan bawahan Nayaka di tempat kerjanya. Pasti pria itu seperti diktator. Seram. Panggilan dari Berta akhirnya berhenti. Tak lama kemudian sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Alinka dari kontak nama Berta. Lo di mana? Buruan ke kafe. Udah hampir setengah dua. -Berta- Alinka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya tidak mungkin bagi Alinka untuk berangkat kerja siang ini. Sontak saja Alinka kembali melirik tajam ke arah kepala Nayaka yang ditumbuhi rambut hitam yang lebat. Sungguh, Alinka ingin menjambak rambut pria itu karena kesal. Nayaka sudah mengacaukan jadwal Alinka untuk hari ini. Sori, kayaknya gue nggak bisa datang hari ini. Masih nunggu dosen. Jadwal bimbingan gue mundur. Gue tukar hari libur gue buat hari ini. Sambil meringis ia akhirnya mengirimkan balasan untuk Berta. Benar, Alinka berbohong. Ia tidak bisa berkata jujur kepada Berta kalau saat ini dirinya sedang pergi dengan pria yang bahkan Alinka tidak begitu kenal. “Omong-omong, dari mana Anda tahu nama saya Alinka? Juga, bagaimana Anda tahu tempat saya kerja dan kuliah?” tanya Alinka cukup penasaran. Sebab, Alinka tidak ingat memperkenalkan diri kepada Nayaka waktu mereka pertama kali bertemu. “Saya dengar wanita tua itu memanggil kamu dengan nama Alinka,” jawab Nayaka. Alinka mengernyitkan dahi. “Wanita tua?” “Wanita tua yang menghampiri kamu waktu di restoran.” Tampaknya yang Nayaka maksud adalah Omanya Tamara. “Lalu bagaimana Anda tahu tempat kerja dan kampus saya?” “Saya menyewa detektif handal untuk melacak kamu,” kata Nayaka dengan ekspresi wajah datar. Matanya tampak tengah melirik ke arah spion tengah, mengamati ekspresi wajah Alinka. Alinka yang mendengar pengakuan Nayaka itu sontak membulatkan mata karena terkejut. Apa Nayaka memang seniat itu untuk menemukan Alinka sampai harus menyewa seorang detektif? “Anda serius?” tanya Alinka. Nayaka menganggukkan kepala sambil menahan senyumnya. Baginya ekspresi wajah Alinka yang tengah terkejut tampak lucu. “Iya,” jawabnya. “Detektif Conan,” tambahnya mendenguskan tawa pelan. Alinka berdecak sebal. Bisa-bisanya Nayaka menjawab Detektif Conan! Padahal kan dirinya tengah menanyakan pertanyaan serius. Karena jika Nayaka memang menyewa seorang detektif hanya untuk mencari Alinka, bukankah itu artinya Nayaka bisa melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan? Itu kan seram! “Tenang,” ucap Nayaka enteng. “Saya hanya minta tolong Farhan, sekretaris saya.” “Sejak bertemu dengan Anda, beneran deh, hidup saya jadi nggak tenang lagi,” kata Alinka. “Kamu terlalu berlebihan,” balas Nayaka tak ambil pusing. "Beneran tahu!" gumam Alinka pelan dengan perasaan kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD