Bab 9

1135 Words
Alinka mengekor di belakang Nayaka. Sejak turun dari mobil, pria itu langsung sibuk berbicara dengan seseorang di ponselnya. Alinka hanya mendengar Nayaka bergumam ataupun berkata ‘undur besok siang’, ‘saya tidak bisa’, ‘tidak’, ‘oke’, dan kata-kata sejenisnya. Pria itu terlihat sangat serius. Sepertinya, dia sedang berbicara dengan seseorang yang berhubungan dengan pekerjaan. “Silakan,” kata seorang perempuan membukakan pintu ruangan privat untuk Nayaka dan Alinka. “Terima kasih,” balas Nayaka seraya berjalan memasuki ruangan tersebut. Alinka kembali mengekor di belakang Nayaka. “Mau pesan sekarang atau nanti, Pak?” tanya pramusaji itu dengan sopan kepada Nayaka yang saat ini sudah duduk di salah satu kursi. Alinka memilih tempat duduk yang berhadapan dengan Nayaka. Mendengar pertanyaan itu membuat Nayaka mengedikkan dagunya ke arah Alinka, mengisyaratkan perempuan itu untuk memesan terlebih dahulu. Alinka sontak menggelengkan kepala, menolak. Hal ini membuat Nayaka menatap Alinka dengan kernyitan di dahinya. “Saya nggak perlu basa-basi,” kata Alinka. “Jadi, apa yang ingin Anda tawarkan kepada saya?” “Begitu juga boleh. Nanti kita bahas lagi di kantor,” ucap Nayaka masih dengan ponsel menempel di telinganya. Namun, tatapannya fokus ke arah Alinka. Tak lama setelah itu Nayaka meletakkan ponselnya lalu beralih menatap pramusaji yang masih berdiri di samping meja. “Seperti biasanya. Dua porsi. Terima kasih,” katanya yang membuat pelayan itu mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruangan tersebut. “Saya nggak perlu Anda pesankan makanan. Saya nggak berniat makan di sini,” ucap Alinka. “Lebih tepatnya, saya nggak bakal bernapsu buat makan.” “Saya nggak pernah bilang satu porsinya buat kamu,” balas Nayaka dengan ekspresi datarnya. Bener-bener nih, orang, ya, gerutu Alinka dalam hati. “Whatever,” ucap Alinka sambil memutar bola mata karena kesal. “Sebelum saya memberi kamu tawaran menarik, mungkin sebelumnya saya harus menjelaskan terlebih dahulu alasan kenapa saya mencium kamu secara tiba-tiba,” kata Nayaka dalam mode serius. “Jadi, saat itu saya berniat untuk melamar kekasih saya. Namun, malah kamu yang masuk ke dalam ruangan tersebut. Karena saya nggak mau dikasihani dan nggak mau terlihat menyedihkan, saya mencium kamu tanpa permisi dan berpura-pura kalau kamu adalah kekasih saya. The end.” “Segampang itu?” tanya Alinka merasa tidak percaya setelah mendengar penjelasan Nayaka. “Apanya?” balas Nayaka tampak bingung dengan pertanyaan Alinka. Alinka mendenguskan napas kasar. Lalu ia melepas topi yang dipakainya, menaruh topi di meja, kemudian menyugar rambut hitamnya dengan perasaan jengkel. “Semuanya!” katanya. “Maksud saya, bagaimana bisa hanya gara-gara takut terlihat menyedihkan dan takut dikasihani—” “Saya tidak takut, hanya tidak mau dikasihani dan tidak mau terlihat menyedihkan,” potong Nayaka. “Yang benar saja,” gerutu Alinka seraya memutar bola mata bosan. Nayaka hanya mengangkat kedua bahu tak acuh. “Bagaimana bisa Anda seperti tidak merasa bersalah kepada saya? Anda jelas-jelas sudah mencium saya tanpa iziin! Itu sudah termasuk pelecehan.” “Well, saya merasa bersalah kok kepada kamu,” ucap Nayaka seraya menegakkan badannya. “Saya hanya belum punya kesempatan untuk meminta maaf sama kamu. Saya mengakui bahwa apa yang saya lakukan memang salah. Jadi, saya mohon maaf. Selain itu, saya juga ingin mengucapkan terima kasih. Karena tanpa kamu sadari, sebenarnya kamu sudah menyelamatkan saya dari rasa malu.” Nayaka menunduk singkat sebagai tanda permintaan maaf. Alinka mengembuskan napas panjang. “Oke,” balasnya menganggukkan kepala. Meskipun Alinka masih kesal dan tidak terima dengan apa yang Nayaka lakukan kepadanya, tapi memang tidak ada yang bisa Nayaka lakukan untuk mengubah hal itu kecuali meminta maaf kepada Alinka. Dan saat ini Alinka merasa permintaan maaf Nayaka ini cukup tulus. “Terima kasih,” kata Nayaka balas mengangguk. “Apa saat itu kekasih Anda tidak datang?” tanya Alinka mendadak merasa penasaran dengan kekasih Nayaka. Kalau tidak salah ingat, nama orang yang ditunggu Nayaka adalah Rosalia. Nayaka menggelengkan kepala singkat. “Ah,” balas Alinka menganggukkan kepala mengerti. Diam-dia ia merasa kasihan kepada Nayaka. Pasti saat itu dia sangat hancur karena kekasih yang hendak dia lamar malah tidak datang. “Jadi, apa itu artinya hubungan kalian berakhir?” tanya Alinka lagi dengan hati-hati. Nayaka mengangkat kedua bahunya. “Entahlah,” jawabnya singkat. “Kenapa—” “Cukup membahas tentang hubungan percintaan saya,” potong Nayaka. “Jadi, dengan ini masalah kesalahpahaman kita sudah selesai kan?” “Bisa kita anggap begitu,” kata Alinka. “Baik, kalau begitu bagaimana kalau kita mulai pembahasan tentang tawaran saya untuk Anda?” Mendengar nada bicara Nayaka yang formal, mendadak saja Alinka merasa sedang menjalani wawancara pekerjaan. Apa Nayaka memang sehari-hari seperti ini? Kaku dan selalu formal? “Oke, boleh,” jawab Alinka sebenarnya tidak terlalu tertarik. Alinka sudah berencana menolak tawaran yang akan diajukan oleh Nayaka. Karena dari awal Alinka memang tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dengan pria gila ini. “Jadi, tawaran dari saya adalah saya ingin kamu menjadi pacar pura-pura saya,” kata Nayaka dengan ekspresi wajah seriusnya. Alinka mengepaskan telapak tangan kanannya yang berada di atas meja. Tentu saja ia merasa kaget dengan tawaran Nayaka yang baginya sangat konyol. “Anda sedang bercanda?” tanya Alinka dengan mata terpancang pada wajah rupawan Nayaka. “Apa saya terlihat sedang bercanda?” “Anda …, sakit kayaknya,” kata Alinka dengan kernyitan di dahi. Ia masih mengamati eskpresi wajah Nayaka yang tidak berubah. Pria itu masih memang ekspresi wajah seriusnya. “Saya tidak sakit,” balas Nayaka singkat. Alinka melipat kedua tangannya di atas meja. Tubuhnya secara otomatis agak condong ke depan. Tatapannya masih terpaku pada sosok Nayaka yang baginya sangat susah dimengerti. “Apa yang membuat Anda berpikir kalau saya akan menyetujui tawaran Anda itu?” tanya Alinka tak habis pikir. “Saya akan bayar kamu.” Alinka menggelengkan kepala. “Saya nggak butuh uang,” katanya. “Kalau kamu nggak butuh uang, kamu nggak—” Ucapan Nayaka terhenti karena Alinka saat ini sudah mengangkat telapak tangannya ke arah Nayaka, memberinya sinyal untuk berhenti berbicara. Alinka tidak mau mendengar ucapan Nayaka yang Alinka yakin hanya akan menyakiti harga dirinya. “Mari kita sudahi pembicaraan ini. Oke?” ucap Alinka seraya bangkit dari posisi duduknya. “Kamu mau ke mana?” tanya Nayaka menatap Alinka dengan wajah bingung. “Pulang.” “Saya belum selesai ngomong. Duduk,” perintah Nayaka. “Saya bukan bawahan Anda,” kata Alinka galak. “Anda tidak boleh memerintah saya seperti itu.” “Kamu belum dengar keseluruhan tawaran dari saya,” ucap Nayaka. “Saya rasa keseluruhan tawaran Anda akan terdengar lebih konyol lagi. Jadi, sebaiknya kita sudahi semuanya di sini. Anda tidak perlu mencari saya lagi. Oke?” ucap Alinka mencoba menahan rasa kesalnya. “Saya permisi.” Setelah mengucapkan itu Alinka berjalan meninggalkan ruangan tersebut dengan d**a bergemuruh hebat. Bisa-bisanya Nayaka meminta Alinka menjadi pacar pura-puranya dengan imbalan uang. Memang dia pikir dia siapa? Dasar Nayaka memang menyebalkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD