Bab 7

1132 Words
Nayaka mengetukkan telunjuk tangannya ke meja di depannya. “Duduk,” perintahnya kepada Alinka. Alinka mengabaikan perintah Nayaka. Ia hanya terus menatap Nayaka penuh amarah. “Saya sudah meluangkan waktu saya yang sangat berharga untuk menemuimu. Bukankah paling tidak kamu bisa duduk sebentar untuk mendengarkan penjelasan saya?” Alinka mendenguskan napas kasar. “Waktu saya terlalu berharga buat sekadar dengerin Anda bicara. Jadi, sebaiknya Anda pulang dan jangan pernah ke sini lagi,” katanya dengan kesal seraya berbalik, hendak pergi dari tempat itu. Padahal kan Alinka harus menemui Bu Claudya untuk bimbingan skripsi. Bisa-bisanya Nayaka muncul di kantin dan mengganggunya. Omong-omong di mana Bu Claudya? Apa Alinka salah kantin? “Kamu sedang mencari Bu Claudya?” tanya Nayaka ketika melihat Alinka celingukan mencari seseorang. Pertanyaan itu sontak membuat Alinka menoleh ke arah Nayaka. “Anda kenal Bu Claudya?” Nayaka menyandarkan punggungnya ke punggung kursi dengan santai. “Duduk,” perintahnya lagi menunjuk kursi kosong di hadapannya dengan dagunya. Alinka kembali mendengus sebal. Namun, kali ini ia menurut. Alinka meletakkan buku dan tas punggungnya ke atas meja. Lalu, ia mengambil duduk di kursi berhadapan dengan Nayaka. “Jadi, Bu Claudya mana?” tanya Alinka. “Sepertinya Bu Claudya sedang makan siang di luar bersama teman-temannya,” jawab Nayaka enteng. “Apa?” Alinka menatap Nayaka dengan bingung. “Nggak mungkin. Tadi Bu Claudya sendiri yang menyuruh saya ke sini untuk menemui beliau. Saya ada jadwal bimbingan skripsi dengan Bu Claudya.” “Saya tahu,” kata Nayaka enteng. “Bu Claudya cerita.” “Hah?” “Ah, sepertinya kamu tidak tahu kalau Kak Claudya itu mantannya kakak saya waktu zaman SMA.” Nayaka tersenyum tipis. “Memang sejak dulu Kak Claudya punya selera brondong.” Alinka mentap Nayaka dengan kernyitan di dahinya. “Terus apa hubungannya dengan saya ataupun skripsi saya?” “Saya bilang ke Kak Claudya kalau saya akan mengajak kamu pergi. Jadi, saya meminta untuk mengganti jadwal bimbingan kamu menjadi besok jam delapan pagi,” jawab Nayaka santai. “Apa?” Alinka kembali menampakkan wajah terkejutnya. “Bisa-bisanya Anda seenaknya sendiri! Padahal saya usaha banget buat dapetin jadwal bimbingan siang ini dengan Bu Claudya.” Nayaka menegakkan badannya lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Alinka. Pria itu menatap Alinka datar. “Apa sesusah itu buat kamu menangkap kode dari saya?” tanyanya seolah sedang berbicara dengan orang paling bodoh sedunia. “Kode apa?” tanya Alinka galak. Saat ini Alinka benar-benar kesal dengan Nayaka. Pria itu sangat menjengkelkan karena merusak jadwal bimbingan skripsinya. Kalau begini ceritanya, bisa-bisa Alinka tidak jadi wisuda tahun ini. “Saya baru saja bilang kalau saya kenal dengan dosen pembimbing kamu. Itu berarti saya bisa dengan mudah bilang ke dosen kamu untuk bersikap baik kepada kamu karena kamu adalah kenalan saya,” kata Nayaka dengan hembusan napas panjang. “Namun, tampaknya kamu nggak peduli dengan hal itu. Kamu sepertinya lebih suka dipersulit dalam masalah pengerjaan skripsi.” Nayaka menatap Alinka dengan bosan. “Mungkin memang sebaiknya saya bilang ke Kak Claudya untuk menunda jadwal bimbingan skripsimu selama satu bulan kalau bisa. Atau satu tahun? Atau mungkin sebaiknya kamu wisuda saja dua tahun lagi.” “Jangan-jangan!” kata Alinka segera. “Jangan rusak masa-masa skripsi saya ataupun rencana wisuda saya tahun ini. Please.” Meskipun Nayaka menyebalkan, tapi Alinka rasa ucapannya itu tadi masuk akal. Dan orang seperti Nayaka mungkin memang bisa melakukan hal-hal konyol seperti membuat Alinka tidak bisa wisuda tahun ini. Jadi, tampaknya Alinka harus lebih jinak sedikit kali ini di depan Nayaka. “Oke,” balas Nayaka menganggukkan kepala. “Jadi, sekarang kamu sudah siap mendengarkan tawaran saya?” Alinka menghela napas dalam. Dengan enggan akhirnya ia menganggukkan kepala. Karena toh Alinka tidak punya pilihan lain selain mendengarkan apa pun tawaran Nayaka itu. “Baik. Kalau begitu mari ikut saya,” kata Nayaka lagi seraya bangkit dari posisi duduknya. “Ikut ke mana?” tanya Alinka mendadak menjadi waspada. “Tidak mungkin kan, saya membahas sesuatu yang sangat penting di sini?” Nayaka melirik ke arah sekitarnya tanpa minat. Alinka ikut mengedarkan pandangan. Kantin memang cukup ramai. Bahkan, beberapa pasang mata saat ini tengah memperhatikan Alinka dan Nayaka yang sedang duduk berhadapan. Sosok Nayaka memang terlihat mencolok dengan setelan jas mahal dan dandanan rapi ala orang kantoran. Sangat berbeda dengan anak kuliah yang tampak lusuh jika disbanding dengan penampilan Nayaka saat ini. “Kalau bisa, saya lebih nyaman jika membahasnya di sini,” jawab Alinka masih duduk di tempatnya. Menurut Alinka memang lebih baik membahas apa pun yang ingin Nayaka bahas di tempat ini. Tempat yang ramai dan familiar untuk Alinka. Ia merasa aman berada di sini. Nayaka diam sejenak. Kemudian pria itu menggelengkan kepala. “Tidak bisa,” katanya enteng seolah memang tidak mempertimbangkan saran Alinka sama sekali. “Ayo, cepat bangun. Waktu saya sudah terbuang terlalu banyak hari ini.” Nayaka melirik ke arah jam tangannya yang Alinka yakin harganya sangat mahal. Alinka masih menatap Nayaka tanpa berniat untuk beranjak dari tempatnya duduk. Mana bisa Alinka ikut pergi bersama Nayaka. Bagaimana kalau pria itu melakukan hal yang tidak-tidak terhadap Alinka? Nayaka ka nagak tidak waras. “Kamu mau saya menghubungi Kak Claudya dan mengatakan kalau kamu tidak butuh bimbingan skripsi darinya?” Nayaka menatap Alinka dengan penuh ancaman. “Saya takut Anda apa-apain,” kata Alinka dengan jujur. “Anda kan… agak-agak,” lanjutnya sedikit berbisik yang masih bisa didengar oleh Nayak. Nayaka menatap Alinka dengan kernyitan di dahi. “Agak-agak?” tanyanya bingung. “Anda tahu maksud saya,” balas Alinka enggan menjelaskan. Nayak menghela napas dalam. Tampak sekali dia berusaha untuk menahan amarahnya. “Saya tidak seburuk apa yang kamu pikirkan,” katanya membela diri. “Iya kah?” sindirnya merasa kesal. Tiba-tiba saja Alinka ingat ketika Nayaka menciumnya begitu saja. Padahal kan mereka tidak saling kenal. Bukankah hal itu sudah cukup bagi Alinka untuk memasukkan Nayak dalam kategori pria terburuk? “Saya pun akan menjelaskan kejadian malam itu,” ucap Nayaka dengan tegas. “Jadi, sebaiknya kamu buruan berdiri dan ikuti saya. Sebelum saya benar-benar membuat tahun terakhirmu di kampus ini seperti di neraka.” Setelah mengucapkan itu Nayaka langsung berjalan meninggalkan Alinka. “Dih, bisanya ngancem! Nyebelin amat manusia gila itu!” cibir Alinka seraya menyambar buku dan tas punggung miliknya. Kemudian, dengan berat hati, Alinka berjalan mengikuti Nayaka dengan terburu-buru. Alinka tidak ingin merasakan neraka di tahun terakhirnya di kampus ini. Diam-diam Alinka melirik ke sekitarnya. Kini hampir semua mata di kantin ini tertuju pada dirinya dan Nayaka. Hal ini membuat Alinka menurunkan moncong topi yang dipakainya. Kalau boleh jujur, Alinka merasa risih dengan tatapan orang-orang yang tampak penasaran dengan Alinka maupun Nayaka. Namun, berbeda dengan Nayaka. Pria itu tampak tak peduli dengan puluhan pasang mata yang tengah menatapnya. “Dasar nyusahin emang nih orang gila,” gumam Alinka menatap punggung Nayaka dengan tatapan kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD