6

886 Words
Galih pov Meeting di hari pertama cukup lancar, gue cuma presentasiin beberapa usulan gue terhadap proyek kali ini dan semuanya disetujuin. Fina menghampiri meja gue kemudian meletakkan secangkir kopi didepan meja. Ia tersenyum kearah gue, senyum yang sebenernya jujur gue gak suka. Ditambah Fina ini entah kenapa kalo Nata lagi ke kantor gue suka banget bikin Nata emosi. Entah dengan tiba-tiba masuk ke ruangan gue atau terang-terangan ngajak makan siang. Padahal udah tau ada Nata disana. Ya Nata gue tau dia pasti kesel juga sama sekretaris gue tapi emang dasar cewek gengsinya tinggi, dia gak pernah menunjukkan kecemburuannya. Ya paling-paling cuma kode dikit biar ngusir si Fina dari hadapannya. " Besok mau ngecek ke tempat proyeknya, Pak?" tanya Fina dengan suara yang dibuat-buat.  Gue hanya mengangguk. Kemudian mengambil cangkir kopi itu dan menyesapnya. Gue akuin kopi buatan Fina emang paling enak. Lah kalo Nata, boro-boro bikin kopi. Yang ada gue dibikinin obat iya. Saking sibuknya dia sama obat-obat kesayangannya itu.  Ngomong-ngomong soal Nata, gue belum menghubungi dia hari ini. Gue pikir dia pasti masih kesel karena gue dadakan pergi dan gak bisa nemenin dia ke acara lamarannya Gita akhir minggu ini. Ya mau gimana lagi gue juga dikasih kerjaannya dadakan sih, berdua doang pula sama Fina. Pasti ngamuk tuh cewek. Akhirnya gue keluar dari ruangan kemudian jalan menuju hotel yang kebetulan letaknya dekat dari kantor cabang. Gue mengeluarkan ponsel dari saku dan mencari kontak Nata lalu menelponnya. Gak sampai nada ketiga, suara Nata langsung terdengar. Kok rasanya kangen banget ya? Baru juga sehari gak ketemu. " Baru ngabarin. Sibuk ngapain sih disana?" Suara Nata yang kedengeran agak kesel itu bikin gue menahan tawa. Gue yakin dia udah tau soal gue yang kesini sama Fina berdua doang. Pasti si Fina lah yang manas-manasin. Tapi sumpah deh di pesawat aja kita beda tempat duduk, hotel jelas beda kamar. Toh bukan gue yang mau kesini berdua doang kan? " Iya sibuk. Baru aja kelar meeting sama client. Kamu gimana kabarnya?" " Terus sekarang disitu sama siapa? Lagi dimana? Trus ..." " Di kamar. Sendirian kok. Si Fina beda kamar bahkan beda lantai sama aku juga. Tadi meeting bareng-bareng kok dia cuma nemenin. Duduknya juga jauh," potong gue langsung. Terdengar suara Nata yang menghela napas disana." Udah cemburunya?" " Siapa juga yang cemburu ishh. Orang nanya aja kok," ucap Nata yang mengelak. Gue yakin banget muka dia pasti merah banget sekarang. " Nat." " Apaan?" " Kangen." " Lebay ih! Tiap hari ketemu juga." " Emang kamu gak kangen apa?" tanya gue dengan suara yang dibuat-buat. " Ya kangen makanya cepet balik. Masa aku sendirian ke tempatnya Gita nanti. Kamu mah jahat." " Ya aku mana tau dikasih kerjaan dadakan sayang." " Lebih mentingin ke Surabaya sama Fina pula. Berdua doang lagi."  Gue terkekeh geli." Kalo bisa bawa kamu aku juga lebih milih bawa kamu kok. Sayangnya aja kita beda bidang ya kerjaannya."  " Hmm iya iya." " Terus ... Si dokter pea itu ..." Entah kenapa gue jadi kepikiran sama dokter muda yang suka banget deketin Natanya gue. Pasti dia seneng banget karena Nata sendirian selama seminggu kedepan ini. " Dia masih hidup kok. Kenapa?" " Jangan nakal."  " Iya bawel." Klik! Sambungan terputus dan rasa rindu itupun masih berlanjut. ....... Nata pov Gue masih senyum-senyum sendiri sejak Galih mengakhiri teleponnya beberapa menit yang lalu. Entah kenapa bukan dia aja yang kangen tapi gue juga. Mungkin karena terbiasa setiap hari ketemu terus tiba-tiba gak ketemu lama. Padahal biasanya juga Galih sering pergi-pergi keluar kota gini. Atau mungkin gue aja yang terlalu sensitif akhir-akhir ini ya? " Nat. Ada yang nyariin noh," ucap Alfen yang tau-tau nongol didepan kamar gue. Gue menaikkan sebelah alis sambil berpikir." Siapa? Perasaan Galih masih di Surabaya." " Iya. Mumpung gak ada Galih lumayan lah cowok didepan." " Apaan sihhh." Gue langsung beranjak dan keluar dari kamar. Gue ngeliat sosok pria yang berdiri membelakangi gue di halaman depan rumah karena dia katanya nolak diajak ke dalem sama Alfen. " Lah Zaky?"  Zaky menoleh dan tersenyum kearah gue. Hari ini kebetulan gue emang lagi libur jadi gak ke rumah sakit, tapi setau gue Zaky hari ini dinas. Terus ngapain juga kesini? Tau alamat gue darimana coba? " Saya bete di rumah sakit gak ada yang bisa dijailin dan diajak makan gorengan."  " Lah biasanya juga Leon suka makan gorengan bareng kamu kan."  " Gak tau tiba-tiba gorengannya jadi gak enak aja. Saya laper. Temenin makan siang boleh?" Gue menelan saliva gue sendiri dengan perasaan bingung. " Makan aja minta ditemenin. Manja banget." " Ada dua jam sebelum saya mulai praktek lagi nih." Zaky melihat kearah jam tangannya.  " Yaudah iya," ucap gue akhirnya. Daripada nih cowok kelamaan diri didepan rumah gue, atau Alfen yang bakal mikir aneh-aneh soal Zaky ini mending gue iyain aja biar cepet pergi. Akhirnya gue ikut diajak Zaky makan disebuah restoran sederhana yang gak jauh dari komplek rumah gue. Biar gak makan waktu dijalan dan ternyata walaupun dokter, Zaky ini gak pilih-pilih soal makanan.  Buktinya aja dia makan pake rendang udah lahap banget sekarang.  " Baru pertama kali makan rendang ya?" Zaky terkekeh." Gak kok. Cuma lagi beneran laper banget aja." " Segitu gak enaknya ya makan gorengan kalo gak ada saya?" ledek gue lagi yang entah kenapa bikin wajah cowok disamping gue ini mendadak merah.  " Iya. Jadi mau kan tiap hari nemenin saya makan gorengan?" tanya Zaky lagi dengan wajah serius. Gue agak kaget. Please ini tuh lagi menyatakan perasaan atau gimana sih? " Maksud saya cuma nemenin aja kok gak ada maksud lain," ralat Zaky yang sepertinya menyadari perubahan di raut wajah gue. Gue menghela napas lega kemudian mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD