Vanilla tidak tahu harus kemana, dia bahkan tidak membawa dompet, handphone ataupun fasilitas dari Andra, hanya membawa koper kecil yang berisi beberapa lembar pakaian. Sungguh dia tidak sudi membawa apapun milik keluarga itu.
Sudah hampir satu jam Vanilla berjalan tanpa arah sembari menggeret koper kecilnya. Dia tidak tahu harus kemana, tidak ada lagi tempatnya berlindung, sahabatnya sudah berangkat ke Bandung tadi pagi.
Vanilla berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, dia tidak ingin menangis dan terlihat lemah. Lagipula untuk apa menangis tidak akan bisa mengubah keadaan.
Kata orang air mata itu bisa melegakan dan menurut gue gak, walaupun gue nangis histeris juga beban gue tetap berat. Jadi, untuk apa gue nangis bikin lelah saja.
Perut Vanilla terasa nyeri karena belum makan sejak tadi pagi, dia memang memiliki penyakit maag kronis yang kalau dibiarkan perutnya kosong akan berakibat fatal pada kondisi tubuhnya. Sejak perceraian orangtunya, Vanilla benar-benar tidak terurus, pola makannya tidak teratur mengakibatkan dia menderita maag.
Vanilla berjalan semponyongan, berusaha tetap melangkahkan kaki walaupun pandangannya kabur dan perutnya semakin nyeri. Dia berjalan seraya meringis kesakitan, saat pandangannya benar-benar menghitam dan dia tergeletak di jalanan.
Orang-orang yang ada di sekitar itu menghampiri Vanilla, mereka menatap iba wajah pucat Vanilla. "Kasihan sekali, bawa dia ke rumah sakit," ujar salah satu di antara mereka. Kemudian mereka mengangkat tubuh mungil Vanilla ke dalam taksi.
***
Rumah sakit medical center tampak ramai, namanya juga rumah sakit pasti ramai kalau sepi namanya kuburan.
"Kasihan ya tadi ceweknya pingsan mukanya pucat banget," ujar salah satu perawat kepada perawat lainnya.
"Kata Mas yang antarin aja tadi nemu pingsan di jalanan gak ada identitasnya juga," balas temannya.
Arga yang baru saja keluar dari operasi mendengar obrolan kedua perawat itu dan entah mengapa ia sangat tertarik untuk mengetahui siapa yang mereka maksud.
"Permisi, di ruang apa?" tanya Arga to the point, salah satu perawat itu menjawab, "di ruang UGD, Dok."
Setelah mendengar jawaban itu, Arga langsung menuju ruangan tersebut.
Sesampainya di ruang UGD, ia mengedarkan pandangannya ke segala arah, tak kunjung menemukan gadis tersebut, dia menghampiri dokter jaga di UGD. "Dok, tadi saya dengar ada pasien yang pingsan di jalanan dan belum diketahui identitasnya, dia di mana sekarang, Dok?"
Dokter perempuan itu tersenyum. "Mari saya antar, dia ada di sebelah sana." Mereka berjalan beriringan.
Ruang UGD memang dipenuhi oleh pasien-pasien yang kondisinya lumayan parah, entah itu korban kecelakaan atau lain sebagainya.
"Sudah 15 menit dia belum sadarkan diri, Dok."
Arga terkejut melihat siapa yang terbaring di ranjang sempit ini, gadis yang baru ia temui semalam dan gadis yang meninggalkannya tadi pagi.
"Pindahkan dia ke ruang rawat, sekalian tempatkan dia ruang VIP," ujar Arga tetap menatap wajah pucat gadis itu.
Dokter perempuan itu menggeleng. "Tidak bisa, dok. Dia tidak ada identitasnya lalu siapa yang akan mengurus biaya administrasinya, orang yang membawanya ke sini sudah pulang."
"Saya yang akan mengurus semua biaya administrasinya."
"Baik, Dok."
***
Arga menatap gadis ini yang masih enggan membuka matanya, wajah pucatnya begitu damai, setelah diperiksa oleh dokter yang menanganinya tadi ternyata maag-nya kambuh.
Cantik, satu kata yang Arga deskripsikan saat menatap gadis malang ini. Seulas senyum terukur saat menatap wajah putih pucatnya, pipi tirus, hidung kecil yang mancung, bulu matanya yang lentik serta leher jenjang mulusnya.
Gadis itu mulai menggerakkan jarinya dan matanya perlahan terbuka. "Vanilla," ujar Arga ketika mata Vanilla menatapnya.
"Sekarang kamu makan ya, biar saya suap." Arga mengambil bubur yang ada di meja samping ranjang Vanilla.
Vanilla menggeleng. "Gue nggak mau makan, gue benci sama lo. Lo udah hancurin gue, gue mau pergi!"
Arga menatap Vanilla. "Van, please. Pikirkan kondisimu, kamu masih drop. Lupakan tentang kejadian itu. Sekarang kamu makan ya."
"Gue makan sendiri aja, tangan gue masih bisa pegang sendok!" Vanilla mengganti posisinya menjadi duduk.
Arga menatap Vanilla yang perlahan menyendokkan bubur ke dalam mulutnya, tanpa disadari seulas senyum terlukis di bibirnya. "Kamu kenapa bisa pingsan di jalan?"
"Bukan urusan lo!" ketus Vanilla setelah menghabiskan buburnya.
"Van,"
"Kenapa lo bersikap layaknya kita udah saling kenal, sih?!"
"Saya hanya menunjukkan sikap peduli saya terhadap sesama manusia."
Vanilla mengendikkan bahunya. "Gue diusir!"
"Lo jangan banyak tanya lagi, intinya sekarang gue udah gak tahu kemana gue harus pulang," lanjut Vanilla.
"Tinggal sama saya," ujar Arga tiba-tiba.
"Buat apa? Biar lo bisa pakai tubuh gue sepuasnya?" sindir Vanilla.
Arga menggeleng. "Menikahlah dengan saya."
"Lo bahkan nggak tahu umur gue berapa, lo ngajak gue nikah kayak ngajak makan!"
"Ok, sekarang kita kenalan. Nama panjang Erlangga Argadian, biasa dipanggil Arga, umur 27 tahun dan profesi dokter bedah di rumah sakit ini."
Vanilla tampak terkejut dengan profesi pria di hadapannya.
Cih, dokter bedah tapi m***m.
"Sekarang giliran kamu."
Vanilla menghela napas. "Vanilla Fredella, 18 tahun, baru resmi lulus SMA kemarin, see? Gue masih kecil, punya istri kecil pasti gak ada di kamus lo 'kan?"
"Why not? Perbedaan usia bukan jadi hambatan, saya sudah tertarik sama kamu sejak pertama kali kita bertemu."
Arga menampilkan senyuman terbaiknya. "Mungkin ini yang dinamakan love at first shight."
Vanilla menyeringai, dia benar-benar tidak percaya akan adanya cinta pada pandangan pertama, semuanya bullshit. Bahkan dia tidak percaya ada yang namanya cinta di dunia.
Kalau benar cinta itu ada mengapa orangtuanya harus berpisah? kalau benar cinta itu ada mengapa Ibunya tega meningglkannya? Kalau cinta itu benar ada mengapa Ayahnya tega menendangnya keluar dari rumah? dan kalau benar cinta itu ada mengapa Abangnya tidak peduli terhadapnya.
Karena menurut Vanilla, cinta itu bullshit.
"So, will you marry me?"
Vanilla tersenyum miring. "Katakan satu alasan kenapa gue harus nikah sama lo?"
"Karena kita sudah melakukannya."
"Yang penting gue gak hamil jadi lo nggak perlu bertanggung jawab."
Arga menatap lembut mata Vanilla. "Ok, lupakan tentang kejadian itu. Saya memintamu jadi istri karena saya tertarik sama kamu."
"Tertarik?" ulang Vanilla yang diangguki oleh Arga.
"Sorry, gue bukan barang yang kalau lo tertarik bisa lo beli seenaknya!"