"Arga, kapan kamu akan bawa calon istri ke hadapan mama?" tanya wanita di seberang sana. Rasanya Arga ingin sekali memutuskan sambungan teleponnya saat ini juga tapi karena dia masih menghormati mamanya jadi diurungkan niatnya.
Arga menghela napasnya. "Ini juga Arga lagi berusaha, Ma."
"Erlangga Argadian seorang dokter. Otaknya jangan dipakai buat urus pasien saja tapi juga buat cari calon istri." Sumpah demi Tuhan Arga ingin sekali membanting ponselnya agar tidak mendengar ocehan mamanya lagi.
"Ma, Arga baru aja selesai operasi, masih capek. Bahas lain kali aja ya, Ma."
"Kalau malam ini kamu gak bisa bawa calon menantu ke rumah, terpaksa Mama akan jodohkan kamu dengan seseorang."
"Mama!"
Mamanya langsung mematikan sambungannya secara sepihak kalau saja mengumpat kepada orangtua tidak dosa, rasanya Arga ingin sekali mengumpat dengan perkataan yang kasar, sayangnya Arga masih tahu dosa.
Satu-satunya pilihan sekarang adalah Vanilla. Ya, Arga akan membawa perempuan itu ke hadapan orangtuanya nanti malam. Hanya Vanilla yang Arga mau, bukan perempuan manapun. Dia langsung melangkahkan kakinya ke ruangan Vanilla, berharap perempuan itu tidak menolaknya.
Arga menarik kursi samping ranjang Vanilla dan menatap wajah Vanilla. "Van..."
Vanilla mendesah. "Ya?"
"Boleh saya minta sesuatu sama kamu?"
"Apa?" tanyanya ketus.
"Malam ini kamu datang ke rumah saya terus perkenalkan diri kamu sebagai calon istri saya di hadapan orangtua saya, bisa?"
Vanilla hampir saja terkena serangan jantung mendengar permintaan konyol Arga, dia langsung menggeleng dengan kuat. "Gue lagi sakit!"
"Itu bukan alasan, Vanilla. Saya tahu kamu sudah cukup kuat untuk berjalan. Ayolah bantu saya."
Vanilla tanpa berpikir sejenak, dia menyipitkan matanya mencoba menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan oleh Arga. "Gue tahu, lo pasti minta gue buat jadi istri palsu lo 'kan terus kita buat perjanjian hitam di atas putih. Ya, istilah kerennya kawin kontrak!"
Arga berdecak. "Kebanyakan nonton drama jadi gini otaknya!" Arga menjeda kalimatnya. "Saya serius meminta kamu jadi istri saya. Bukan sebagai istri palsu atau kawin kontrak seperti pikiran kamu."
Vanilla menggeleng-geleng tak percaya. "Lucu, lo pikir nikah itu gampang? Apalagi kita gak saling kenal."
"Van, tolong bantu saya. Ibu saya memaksa agar saya membawa calon menantu, kalau tidak. Beliau akan menjodohkan saya dengan perempuan pilihannya."
Vanilla memutar bola matanya jengah. "Urusannya sama gue apa?"
Jleb. Vanilla benar-benar keras kepala, Arga harus mencari cara agar Vanilla mau diajak kerumahnya. "Van, ini justru bagus buat kamu. Setelah kamu menerima tawaran saya kamu akan mendapatkan kehidupan layak."
"Gue gak butuh!"
"Kenapa kamu memilih hidup susah sementara ada yang menawarkanmu untuk hidup yang lebih layak?"
"Dengan cara kita menikah?"
Arga mengangguk.
"Sorry gue gak tertarik dengan kata menikah. Untuk apa menikah kalau pada akhirnya berpisah?"
"Saya jamin kita tidak akan berpisah!"
Vanilla tersenyum miring. "Darimana lo bisa jamin? Lo bukan Tuhan."
"Tapi setidaknya kita mencoba dulu, Vanilla."
"Gue gak mau mencoba sesuatu hal yang pada akhirnya membuat gue jatuh terlalu dalam."
Arga yakin pasti ada sesuatu yang telah terjadi dengan Vanilla, dia harus mencari tahu. "Setidaknya kita bisa belajar saling mencintai setelah adanya pernikahan itu, Vanilla."
Vanilla tertawa hambar. "Mencintai? Bullshit! Cinta gak ada di dunia ini. Cinta hanya semu."
"Kalau cinta itu benar ada kenapa nyokap buang gue sejak kecil, kalau cinta itu ada kenapa bokap tega usir gue dan kalau cinta itu ada kenapa Abang satu-satu yang gue miliki gak pernah peduli sama gue." Setetes air mata yang jatuh langsung Vanilla tepis, dia tidak ingin terlihat lemah. "Sekarang gue tanya, kalau cinta itu ada kenapa keluarga gue hancur?"
Arga jadi sedikit tahu tentang kehidupan Vanilla yang tumbuh menjadi anak broken home, itu adalah salah satu hal yang membuat dirinya seperti ini. Dia masih terbayang-bayang akan masalalu pahitnya.
Jujur Arga terenyuh mendengar pengakuan Vanilla, dia tahu di balik sikap bad, keras kepala yang dimiliki oleh Vanilla, dia mempunyai hati yang sangat rapuh. "Saya memang gak tahu seperti apa masalalu kamu, tapi izinkan saya merangkulmu menuju masa depan yang lebih baik."
"Receh."
"Saya serius."
"Jangan buat gue terbang ke langit ke tujuh kalau nantinya lo akan menghempaskan gue ke lautan terdalam."
Arga mengusap lembut rambut Vanilla. "Katakanlah saya gila karena saya mulai tertarik denganmu saat pertama kali saya melihatmu dan rasa ingin memiliki kembali menyerang hati saya saat kita selesai melakukan itu. Tapi sungguh, saya ingin menjadikanmu seorang istri."
"Istri? Yang benar-benar istri?"
Arga mengangguk. "Iya, selayaknya perempuan yang saya cintai. Saya akan memperlakukan kamu selayaknya seorang istri."
"Dari mana gue yakin?"
"Maka dari itu beri hatimu kesempatan untuk mengenal saya lebih jauh."
Vanilla terdiam, tidak ada salahnya ia mencoba. Lagipula Arga tampan apalagi profesinya sebagai seorang dokter pasti di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan posisi Vanilla saat ini.
"So, can you dinner with my family tonight?"
Vanilla menghela napas. "Yes."
Arga hampir saja ingin jingkrak-jingkran mendengar jawaban Vanilla tapi untung saja dia masih ingat ini rumah sakit dan tentu menjaga image-nya di depan Vanilla.
"Thanks my future wife."
"Yes buat dinner-nya bukan buat nikahnya."
"Iya, tapi ingat dengan kamu menerima ajakan makan malamku berarti kamu menerima lamaranku."
"Semerdeka lo aja, Tuan pemaksa."
***
Sebelum ke rumah orangtuanya, Arga terlebih dahulu membawa Vanilla ke salon. Arga memang tinggal terpisah dengan orangtuanya sejak bekerja karena Arga tinggal di apartemen sekitar rumah sakit.
Vanilla gugup, rasanya dia kesulitan bernapas, apalagi dia sekarang memakai dress dan high heels serta wajahnya penuh dengan make up yang sebenarnya ini bukan style Vanilla.
"Ayo turun," ujar Arga saat mobilnya berhenti di depan rumah mewah bergaya eropa modern.
Vanilla menggeleng. "Gak nyaman gue, Ga. I'm a badgirl not an angel!"
"Apapun penampilan kamu, kamu tetap cantik."
"Tapi kenapa lo paksa gue pakai beginian?"
"Untuk malam ini berikan kesan terbaik saat pertama kali bertemu orangtua saya. Dan usahakan untuk bicara yang lebih sopan. Jangan gue-lo, tapi yang lebih formal."
"Saya gitu? Ih geli gue. Apalagi pas dengar lo ngomong saya. Berasa hidup di era 90-an."
"Ok, sekarang kita ganti panggilan. Aku-kamu."
"Jijik."
Rasanya saya ingin mencium bibir yang suka protes itu, Vanilla.
"Yasudah, ayo turun."
Mereka berdua turun dari mobil dan berjalan beriringan ke dalam rumah. Terlihat Mamanya baru turun dari tangga.
"Ini Arga bawakan calon menantu untuk Mama," ujar Arga saat mamanya sudah mendekat.
Lita–Mama Arga tersenyum sekilas. "Saya Lita."
"Vanilla, Tante."
"Ayo langsung saja ke ruang makan. Di sana sudah ada Papa dan adiknya Arga."
Vanilla masih belum bisa mengatur ritme jantungnya apalagi sekarang ia akan bertemu dengan papanya Arga.
"Agas?"
"Vanilla?"
Agas dan Vanilla saling terkejut saat bertatapan di ruang makan. Lidah Vanilla kelu saat menatap lelaki itu rasanya dia tak sanggup lagi bernapas untuk saat ini.