Vanilla merasakan tubuhnya amat berat seperti ditimpa oleh tangan kekar, ini tidak seperti boneka beruang yang setiap hari menemani tidurnya bukan juga guling. Dia terbangun dari tidurnya dan segera berbalik dan menatap siapa pemilik tangan yang memeluk tubuhnya dari belakang. Vanilla memperhatikan pakaiannya dan sungguh terkejut dengan keadaannya sekarang.
Naked.
Air mata Vanilla tumpah seketika, dia berusaha bangun dari ranjang tersebut dan meraih potongan pakaiannya yang tergeletak di lantai. Untuk berjalanpun susah, rasanya sakit sekali. Dia mecoba mengingat apa yang terjadi semalam tapi rasanya sulit sekali.
Vanilla menangis sambil memeluk potongan pakaiannya, lidahnya kaku untuk berteriak atau sekadar mengeluarkan suara dan segera mengenakan pakaian lengkapnya.
"Lo siapa?" cicitnya saat pria itu membuka matanya. Vanilla mencoba mengingat wajah pria ini. "Lo yang semalam tolongin gue ternyata niat lo busuk?!" Suara Vanilla naik satu oktaf.
"Sorry, saya akan bertanggung jawab."
"Gak perlu, karena gue pasti gak hamil."
"Tapi biar bagaimanapun kita sudah melakukannya."
Tubuh Vanilla luruh ke lantai, menumpahkan seluruh air mata kesedihannya, harta yang selalu dia jaga selama ini akhirnya terenggut begitu saja. Dia sudah kehilangannya.
"Kenapa semua ini bisa terjadi?"
Arga mengambil celananya yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya kemudian dia menghampiri Vanilla. "Maafkan saya, semalam kamu mabuk."
"Mabuk?" Vanilla mendongak menatap Arga. "Becanda lo, gue gak mabuk. Gue baik-baik aja semalam."
Arga menghapus air mata di pipi Vanilla. "Di tengah perjalanan tiba-tiba kamu meracau gak jelas dan saya gak tahu harus mengantar kamu kemana dan saya putuskan untuk membawamu ke apartemen saya dan saya gak bisa menahannya tapi saya masih tahu batas untuk tidak mengeluarkan di dalam."
"Kamu yang pertama buat saya," lanjutnya lagi.
"Lo tahu apa yang paling gue jaga selama ini? Gue emang nakal, suka minum, rokok, hura-hura dan hobi gue clubbing tapi gue selalu jaga keperawanan gue karena yang boleh ambil cuma suami gue kelak!"
"Maka dari itu saya berani bertanggung jawab."
Vanilla bangkit dari duduknya meskipun di bawah sana masih perih. "Gue bahkan baru kenal lo, anggap aja gak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Lo pikir Menikah itu gampang?"
Kemudian Vanilla mengambil tasnya lalu berlari keluar kamar. Dia benar-benar tidak menyangka, dia sudah kehilangan keperawanannya di usia 18 tahun.
"Vanilla..." Vanilla mengabaikan Arga yang terus mengejarnya.
***
Saat Vanilla masuk ke rumahnya, dia melihat ada Papa, Mama tiri, Abang dan Salsa yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Andra Mahesa yang merupakan Papanya Vanilla langsung bangkit dari tempat duduknya dan menampar pipi Vanilla dengan keras. "SIAPA YANG MENGAJARIMU JADI ANAK NAKAL?" Teriakan sang Papa membuat Vanilla terkejut, bukan hanya Vanilla tapi semua orang yang ada di ruangan ini.
"Pa, Vanilla-"
"Di mana kamu tidur semalam, hah? Sudah berapa kali Papa bilang jadi anak baik, jangan suka clubbing!"
Andra memperhatikan cara berdiri Vanilla dan saat dia berjalan masuk ke dalam rumah. "Kamu habis ngapain, Vanilla?"
Plak!
Sakit yang tadi saja belum reda sekarang sudah ditampar lagi. "Kamu habis ngapain, kenapa cara jalan kamu seperti itu? Siapa yang ajarin kamu jadi p*****r?"
Vanilla tersenyum miring. "Vanilla gak sehina itu, Pa! Lagian sejak kapan Papa peduli sama aku?"
"VANILLA!"
"Bahkan aku matipun kalian nggak ada yang peduli, so. Papa gak usah ikut campur sama urusanku. Urus saja istrimu dan bisnismu."
Aref yang sedari tadi hanya diam saja, kini ikut berbicara. "Vanilla jaga bicaramu, apa yang Papa bilang benar. Stop jadi badgirl!"
Andra menarik napas pelan. "Kalau kamu gak mau diurusi oleh keluarga ini, kamu bisa pergi dari rumah. Cari kehidupan baru di luar sana."
Vanilla tidak menyangka Papanya akan berkata seperti itu, sehebat apapun pertengkaran mereka selama ini, Andra tidak pernah mengusir Vanilla. Hati Vanilla teriris mendengar perkataan sang Papa.
Air mata yang dia tahan akhirnya tumpah juga. "Ok!" Kemudian berjalan ke kamarnya dengan tertatih karena kakinya masih sulit berjalan.
"Vanilla kamu jangan pergi," ujar Aref yang masih didengar oleh Vanilla.
"Biarkan saja, biar dia tahu bagaimana kerasnya kehidupan di luar sana."
Sesampainya di kamar, Vanilla mangambil koper dan segera packing barang-barangnya, dia menghapus air matanya yang terus mengalir.
Pandangannya teralih ke pigura fotonya saat kecil. Saat keluarganya masih utuh, saat kehancuran belum terjadi. Dia meraih pigura itu lalu membantingnya dengan keras hingga menjadi pecahan berkeping-keping.
"I hate my family," lalu mengambil foto tersebut dan merobeknya tak beraturan.
"SIALAN KELUARGA GUE BENAR-BENAR HANCUR!" Teriaknya histeris, membiarkan air mata terus menguasai dirinya dan hatinya sudah hancur sehancur-hancurnya.
Hari ini gue resmi kehilangan keperawanan gue dan juga benar-benar kehilangan keluarga gue.
"Kasihan sekali kamu Vanilla hahaha." Vanilla menertawakan dirinya sendiri lalu bangkit dan meraih koper itu segera keluar dari rumah mewah yang seperti neraka ini.