bab 4

1063 Words
Seminggu sudah aku resmi menjadi istri Mas Putra. Selama itu pula aku benar benar mengurusi semua kebutuhannya. Semula kami berencana akan pindah rumah setelah seminggu kami menikah. Tapi nyatanya Mas Putra memutuskan untuk pindah, tepat dihari ketiga kami menikah. Rasanya tak enak tinggal dirumah mertua, ujar Mas Putra. Walau mama papa tak ada masalah, tapi Mas Putra merasa tak enak saja. Apalagi dia masih dalam masa cuti. Seharian berada dikamar saja rasanya tak enak juga kan. Walaupun memang itu yang kami inginkan, wkwkkwkw. Entah begitu pulakah yang dirasakan oleh setiap pengantin baru atau hanya kami saja. Tapi memang rasanya, dunia seperti hanya milik kami berdua. Yang lain ngontrak. Walaupun sebenarnya kami juga belum bisa melakukan hal itu sekarang, tapi ada banyak hal yang bisa saling kami lakukan didalam kamar berdua. Kami pun akhirnya pindah ke rumah yang sudah Mas Putra beli sebulan sebelum kami resmi menikah. Aku sangat beruntung, Mas Putra adalah tipe lelaki yang pandai, ulet, disiplin dan pekerja keras. Tambahan lagi yaitu rajin menabung. Bahkan dia bisa membiayai sendiri kuliahnya dan menyisihkan uang untuk membeli rumah ini. Juga membiayai sendiri pernikahan kami kemarin tentunya. Walaupun rumah kami adalah rumah yang sederhana, tapi terasa sangat nyaman sekali. Beberapa perabot rumah tangga juga sudah tersedia, mulai dari kompor, panci, piring, sendok, sofa sudut bentuk L, kasur, kipas angin, lemari, tivi, mesin cuci dan beberapa perabot standart rumah tangga lainnya. Mas Putra bilang dia belum bisa menyediakan ac dikamar kami, dana nya belum ada sekarang, begitu ujarnya. Nanti beberapa bulan lagi dia berjanji akan membelinya. Khusus untuk dipasang dikamar kami. Aku sangat terharu mendengar penuturan Mas Putra itu. Kita memutuskan segera pindah agar bisa membereskan rumah, membersihkannya dan sedikit melakukan renovasi. Kita berdua membersihkan rumah dari debu, sehari sebelum kita pindah kesana. Aku memeluk Mas Putra erat, tak lupa juga aku ucapkan beribu terimakasih karena telah membuatku seperti ratu dikerajaan kecil kami ini. Aku bersyukur punya suami sepertinya, yang sudah menyiapkan segala sesuatu untuk masa depan kami dengan sebegitu rapih nya. saat itu aku sampai menitikkan air mata sangking terharu atas semua yang dia persembahkan buat ku. Mas Putra menghapus air mata yang menggenang di sudut mataku. Dia bilang tak perlu menangis seperti itu, karena dengan aku mau menerima dirinya saja sudah membuatnya merasa bahagia. Dia hanya membalas nya dengan cara berusaha membahagiakanku, mencukupi semua kebutuhanku, sebisa mungkin. Dia juga berjanji akan terus berusaha memberikanku yang terbaik. Mas Putra berkata, " Apapun yang terjadi Yu, jangan pernah kamu pergi dari rumah ini tanpa aku atau tanpa seizinku ". Saat itu aku menggenggam tanganya, mengangguk kemudian memeluknya erat. rasanya aneh, entah apa. Tapi aku merasa ada sesuatu hal yang akan terjadi. Baru saja empat hari kami menempati rumah ini. Keadaan membuat kami harus berpisah kembali. Meski ini hanya sementara, tetap saja aku merasa kepergianku kali ini terasa berbeda. Namun walau bagimanapun juga aku harus tetap pergi, karena aku harus menyelesaikan studiku diluar kota. Sayang sekali jika harus ditunda lagi. Karena hanya tinggal selangkah lagi. Aku harus menuntaskan kuliahku. Mas Putra pun selalu menyemangatiku, " Ayo yu kamu harus bisa. tak apa berpisah sekarang, nanti kan selamanya kita akan terus bersama " ucapnya meyakinkanku. Mendengar ucapan semangat dari Mas Putra, Akhirnya aku pergi juga. Aku pergi dengan menaiki kereta api. Aku diantar ke stasiun oleh Mas Putra. Kami berpisah di stasiun itu. Mas Putra memelukku erat saat mau melepasku pergi, sambil kembali berpesan " Baik baik disana ya sayang " Dia pun lanjut berkata " Nanti setelah selesai sidang, Mas akan menjemput mu ya sayangku " ucapnya. Aku mengangguk, seraya menatap mata Mas Putra. Entah rasa apa ini, rasanya seperti ada yang mengganjal. Tapi aku tak tau apa yang sesungguhnya akan terjadi. ..... Kabar itu datang, tepat setelah aku menyelesaikan sidang skripsiku. Rasanya bagai petir disiang bolong, aku merasa sangat terkejut saat Ayah menjemputku secara tiba tiba. Awalnya mereka bilang, saat ini Mas Putra masuk rumah sakit karena kecelakaan. Mendengar itu saja, rasanya jantungku sudah seperti akan loncat keluar dari tubuhku. Tak berpikir panjang lagi, aku pun bergegas ikut pulang bersama Ayah ku. Saking paniknya, bahkan aku hanya memakai pakaian yang tadi ku kenakan. Aku tak membawa apa apa lagi. Hanya apa yang ada ditubuhku saat itu dan satu tas slempang saja yang kuraih begitu saja. Aku tak bisa berpikir panjang. Otak ku tiba tiba terasa beku. Hingga... Ketika kami tiba dikota tempat kami tinggal, aku mendadak merasa bingung. Mengapa ayah tak mengantarkan ku kerumah sakit, bukannya tadi Ayah bilang Mas Putra ada dirumah sakit ya. Kenapa malah mobil Ayah menuju kearah rumah ku. Aku tambah panik saat melihat kerumunan orang didepan rumahku. Begitu banyak orang yang tengah sibuk berlalu lalang disekitar rumah ku itu. dan... deg.... Ada pertanda itu, bendera kuning. Tanda apakah ini. Sehabis itu, aku tak ingat apa apa lagi. Pandanganku perlahan mengabur dan berubah hitam, kepala ku berputar hebat. Terakhir, aku hanya mendengar teriakan dari Ayah ku saja. Lalu kemudian aku tak sadarkan diri setelah itu. .... Setelah berjam jam lamanya aku tak sadarkan diri, akhirnya akupun terbangun. Aku menangis se jadinya. Masih dengan tatapan tak percaya, kucari cari orang yang bisa aku tanyai. Tapi mereka semua membuatku merasa ingin pingsan lagi, tak seorangpun yang membenarkan pertapnyaan ku. " Katakan... Mas Putra masih hidup kan, dia pasti masih hidup " Aku menagis pilu. Saat otakku memutar kembali rekaman ingatanku kemasa itu. Tak pernah ku sangka kini, semua rencana kami hanya tinggal lah rencana. Ternyata Tuhan lebih menyayangi Mas Putra. Dan memilih mengambilnya secepat ini. Aku bersaksi dengan segenap ragaku, dia adalah orang yang sangat baik. Sudah seminggu lamanya aku mengurung diri dikamar ini. Tak hentinya Ayah dan Ibu ku mengajak ku untuk pulang kerumah mereka. Tapi tak pernah kuhiraukan. Aku memilih bertahan, tetap tinggal disini. Aku akan menepati janjiku pada Mas Putra, bahwa aku tak akan pernah pergi meninggalkan rumah ini tanpa ijin darinya. Kedua orang tuaku tampak khawatir dengan keadaanku. Tak hanya mereka, Mama dan Papa mertuaku pun silih berganti menjaga aku. Bahkan Angga, kakak dari Mas Putra pun sesekali datang bertandang bersama istri dan anaknya untuk menengok keadaan ku. Aku sudah seperti seorang pesakitan yang butuh belas kasihan. Mereka mungkin saat ini menganggapku seperti itu. Aku sudah seperti orang yang terkena gangguan mental, namun sejatinya aku sangat lah sadar. Jiwaku normal, tubuhku pun sehat meski belum bisa menyentuh makanan seperti sedia kala. Saat ini, Aku hanya butuh waktu untuk sendiri dan merenungi semua yang tiba tiba saja datang menimpa hidupku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD