bab 5

1203 Words
Hari pertama hingga tujuh hari berselang. Memang semenjak Mas Putra pergi untuk selamanya, Ayah Ibuku serta Mama mertuaku bergantian menemaniku dirumah. Akan tetapi selepas selametan tujuh harian Mas Putra, mereka pamit untuk pulang kerumah masing masing. Mau tak mau satu persatu dari mereka pun harus pergi, kembali ke aktivitas mereka masing masing. Tak kurang kurangnya Ayah dan Ibuku membujukku untuk ikut serta pulang kerumah kami bersama mereka. Namun masih sama seperti pendirian ku semula, aku tetap kekeh tak mau pindah dari rumah ini. Disinilah rumahku, walau Mas Putra kini telah pergi meninggalkan aku untuk selama lamanya. " Yu. Ibu harus segera pulang " Pamit Ibu ku. " Iya bu tak apa, Ibu pulang saja " jawabku. " Apa kamu beneran gak mau ikut pulang bersama ibu nak" Tanya ibu ku sekali lagi. Aku tersenyum lantas menggenggam jemari tangan ibuku. " Tidak bu. Ayu mau disini saja, rumah ini sekarang menjadi rumah Ayu bu" jawabku. Ibu tentu tak bisa berbuat apa apa lagi. Dia hanya memeluk ku erat seraya berkata agar aku kuat menjalani ini semua. Sebelum benar benar pulang, Ibu menyambangiku, masuk kembali kedalam kamar. Terlihat gurat kecemasan diwajahnya. Untuk meyakinkan ibu, dan membuatnya tak terlalu khawatir, aku menguatkan diriku untuk bangkit, keluar dari kamar dan mengantarkan nya kedepan. Aku berusaha menampilkan seulas senyum dipipiku. Walau sebetulnya hati ini masih tetap terus menjerit. " Kamu baik baik disini ya sayang, kami akan selalu merindukanmu. Datanglah ke rumah kapanpun kamu mau. Kapan saja kamu bisa kembali kerumah kita nak..." kata Ibu sambil memeluk aku. " Iya bu. Ayu pasti akan baik baik saja, nanti Ayu akan sering sering main kerumah ya bu" jawabku. " Iya nak, Ibu pulang dulu ya. Nanti kalau ada apa apa jangan sungkan hubungi Ibu " ucap Ibu lagi. " Baik buu..." Aku pun mengecup pipi Ibu, kemudian melambaikan tangan, untuk melepas kepulangan nya. Setelah mobil taksi yang Ibuku tumpangi tak terlihat lagi, perlahan kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah kembali. Baru sebentar saja, aku sudah merasa kesepian. Rumah ini begitu sunyi, sama halnya dengan suasana hatiku saat ini. Kududukkan bokongku disofa sudut ruang tamu, kuarahkan pandanganku ke bingkai foto yang tergantung ditembok. Itu foto pernikahan kami, masih tergambar jelas dibenakku saat foto itu diambil. kami saling melempar senyum malu. Buncah bahagia kala itu bahkan masih membekas dihatiku. Kuedarkan pandangan ku kesekeliling ruang tamu kecil ini. Sekelebat bayangan tentang dua orang yang sedang memadu kasih pun muncul dibenakku. Saat itu, mungkin sehari setelah kami tinggal dirumah ini. Aku mengantarkan teh hangat kepada Mas Putra. Aku meletakkan gelas itu diatas meja. Ya tepat diatas meja ini, meja yang sekarang ada dihadapanku. Saat itu Mas Putra sedang duduk santai. Setelah gelas kuletakkan diatas meja, dia lantas menyuruhku untuk duduk disampingnya. Tak seperti biasa, hari itu Mas Putra tampak lain. Pandangan matanya serasa lebih teduh dari biasanya. Diremasnya jemariku pelan, hangat tangannya pun masih sangat kuingat hingga kini. Kami pun lantas bercengkrama sore itu. Kuletakkan kepalaku dipangkuannya, dipandanginya wajahku. Binar cinta dari sorot matanya sangat kentara, entah sudah keberapa kali dia ucapkan kata cinta itu. Mungkin sudah beratus kali jumlahnya, selama pernikahan kami berlangsung. Aku meraba sandaran sofa tempat biasanya Mas Putra menyandarkan punggung nya. Kuciumi tempat itu, wangi tubuh suamiku masih bisa kuhirup sampai kini meski samar. Aku semakin pilu menahan tangis. Mas, kenapa kamu pergi meninggalkan ku. Kamukan sudah janji, tak akan pernah pergi meninggalkan aku sendiri. Mas lupa ya, kita pernah berjanji. Huhuhuhhhhuuuu.. Aku kembali menumpahkan air mata ku. Aku menangis, menumpahkan segala kesedihan ini. Kini aku merasa, aku adalah wanita yang memiliki nasib yang sangat memilukan. Aku bahkan tak berhenti menyalahkan takdir cintaku yang begitu kejam ini. ..... Walaupun aku tersiksa dengan perasaanku sendiri, aku merasa nyaman tinggal dirumah ini. Aku tersiksa dengan bayangan suamiku. Walau hanya sebentar kami menjalani hidup bersama, tapi rasa manis itu masih saja terngiang dibenakku. Selama hidupnya, Mas Putra memperlakukan aku bak seorang ratu, melayaniku setulus hati, memberikan perhatian dan kasih sayang yang sangat berlimpah padaku. Aku membiarkan tubuh ku tak terurus, Aku bahkan tak pernah menyisir rambut, tak pernah memoles wajahku dengan bedak, apalagi memakai gincu. Aku hanya mengisi perutku satu kali dalam satu hari. Hingga membuat perubahan yang begitu drastis pada penampilanku. Kantung mata ku menghitam, kulitku terlihat bersisik tak terawat. Dan badanku mungkin sekarang sudah turun sepuluh kilo bahkan tanpa melakukan diet ataupun olahraga. Tapi semua penampilan fisikku yang amat mengerikan itu masih lebih baik jika dibanding dengan kejiwaan ku. Walaupun orang tak tau, tapi sejatinya aku sudah benar benar hancur berkeping. Sore itu Mama Mertuaku datang, beliau sangat terkejud dengan perubahan fisikku. Mama sangat prihatin. Dengan pandangan mata yang mengiba dan penuh dengan perasaan kasihan, Mama perlahan mengelus rambutku yang sangat kusut. " Ayu.. Mama tau kamu pasti sangat sedih. Mama pun sama, Mama juga tak kalah hancurnya dengan dirimu" Mama menghela napas sebentar lalu meneliti kembali penampilanku. " Tapi hidup itu harus tetap berjalan Yu. Kamu tak bisa seperti ini terus, kamu harus bangkit" Ucap mama menasehatiku. Aku pun menangis tersedu. Ku telungkupkan wajahku dipangkuan Mama. Beliau kembali membelai lembut rambutku yang sangat kusut itu. Mama menyuruhku menatap matanya, beliau tak ingin ada air mata yang jatuh lagi. " Ayu, kamu tau Putra itu sangat tidak suka pada keputus asaan, Mama yakin disana Putra pun sama sedihnya dengan kita. Putra pasti menginginkanmu tetap bahagia, kamu harus segera bangkit nak. Jangan seperti ini terus" Mama mengambil sisir diata meja rias. lantas disisirnya lembut rambutku yang sudah tak berbentuk itu. Aku hanya bisa menunduk menyembunyikan tangisku. Mama mertuaku mengajak ku ke dapur. Dia lihat suasana dapur pun tak kalah berantakan nya dengan sang empunya rumah. Dengan telaten Mama membersihkan satu persatu piring, panci, gelas dan juga sampah yang bercecer. Tak ada raut kesal diwajahnya. Mungkin beliau maklum dengan keadaanku. Selesai membersihkan semuanya, Mama memasakkanku telur dadar ditambah dengan tumis kacang panjang. Semua bahan itu mungkin ada dikulkas, entah aku tak tau benda apa yang masih ada didalam kulkas. Selama ini aku tak pernah membukanya. Mama menyuruhku makan, beliau juga sekalian ikut mengambil sedikit nasi menemaniku makan, mungkin agar aku tak canggung makan sendirian. Selesai makan, Mama memberiku wejangan lagi " Yu... Mama pengen melihatmu bahagia. Kamu tau kan Mama sudah menganggapmu seperti putri Mama sendiri, dari dulu sebelum kalian menikah, Mama sudah suka pada kamu, Mama sayang dan mengangapmu sama seperti Putra, anak Mama sendiri. Kamu gak boleh terus terpuruk nak. Bagaimana kalau kamu cari kesibukan saja, biar kamu bisa segera menghilangkan rasa sedihmu itu " Ucap Mama. Aku mendengar Mama berbicara sambil menunduk. Aku sungguh beruntung mendapatkan mertua yang amat baik sekali. Lama Mama memperhatikan ku. Lantas dia seperti teringat sesuatu. " Satu lagi, Mama kesini karena ingin memberikan semua peninggalan Putra Yu. Aset yang dia punya " Ucap Mama. Aku menegakkan kepala ku, mataku membelalak. " Maksudnya Ma. Aset apa Ma..." Tanyaku. " Ya surat rumah ini contohnya. Sama ada juga sebidang tanah yang Putra beli dengan uangnya sendiri, berikut kendaraan. Dan ada juga beberapa tabungan serta asuransi milik Putra " Ucap Mama menjelaskan. Kembali aku menangis setelah mendengar penuturan Mama itu. Aku tak tau, aku harus bahagia atau sedih. Tak mungkin pula aku bahagia, aku jelas bersedih saat mengingat semua kebaikan suamiku itu, dia begitu prepare dengan masa depan kami. Tak terasa air mataku kembali tumpah tangisku pun pecah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD