Aris menjauhkan ponsel dari telinganya, begitu mendengar suara teriakan Vera. Pria itu meringis. Ponselnya kehabisan daya, dan dia baru saja menyalakan kembali setelah baterai ponselnya terisi.
Lalu suara notifikasi pesan masuk langsung menyerbu ponselnya. Siapa pengirim pesan yang lebih dari 10 tersebut? Hanya satu orang—Vera. Tak hanya pesan, Vera juga menghubunginya beberapa kali, yang tentu saja tidak tersambung lantaran ponselnya dalam keadaan mati.
Dan setelah Aris menghubungi balik Vera, wanita itu langsung berteriak marah.
“Baterai ponselku mati, Ver. Aku langsung menghubungimu setelah baterainya terisi kembali.” Aris menjelaskan.
“Kamu kenapa suka sekali membuatku marah? Aku sudah bilang padamu, kita akan ke rumah sakit. Tapi kamu tidak datang.”
“Tumben kamu tidak ke toko. Biasanya kamu langsung ke toko.” Aris meringis ketika mendengar decakan Vera.
“Aku tidak bisa pergi, pekerjaanku banyak.” Vera menghentak keras napasnya.
“Ya sudah, tidak usah marah-marah. Nanti pulang dari toko, aku ke tempatmu.” Aris mengernyit saat Vera tidak langsung menyahut kalimatnya. Tidak seperti Vera biasanya, batin pria itu.
Hingga beberapa detik terlewat, suara Vera masih belum terdengar kembali. Namun, Aris tahu pasti jika sambungan mereka masih belum terputus. Aris sudah akan membuka sepasang bibirnya, ketika akhirnya suara Vera menyapa gendang telinganya.
“Ris ….” Suara Vera terdengar seperti seorang anak kecil yang sedang merengek pada orang tuanya.
Aris menggumam. Lipatan di dahi pria itu bertambah. “Ada apa?”
“Aku merindukanmu.”
Aris mengerjap mendengar dua kata yang diucapkan oleh Vera dengan suara yang sudah berubah lembut. Napas pria itu mulai tertarik dan terhembus lebih cepat.
“Malam ini—” Vera tidak langsung menyelesaikan kalimatnya. “Bisa, kan?”
Aris berdehem. Dia tidak perlu bertanya apa yang Vera maksud dengan kalimatnya tersebut. Dia sudah tahu.
“Tapi jangan di tempatku. Aku akan pesan hotel.” Di tempatnya, Vera tersenyum. Jantungnya sudah berdetak lebih cepat dari ritme normalnya.
Aris menelan ludah kala pikirannya mulai melayang. Pria itu menggulir bola mata ke arah benda yang menggantung di salah satu sisi dinding ruang kerjanya. Malam masih lama.
“Jangan malam. Aku harus pulang ke rumah.”
Vera mendengkus begitu mendengar jawaban Aris. “Kamu pasti belum bicara dengan istrimu itu, kan?”
“Ver … aku butuh waktu. Biar bagaimanapun juga, aku pernah berhutang pada Resa. Dia yang dulu membiayai kuliahku.”
“Kamu sudah mengembalikan hutangmu itu dengan menikahinya. Memberinya makan, tempat tinggal tanpa dia harus lelah bekerja. Jangan terus merasa berhutang. Bayaran yang kamu kasih sudah lebih dari cukup.” Vera berkata panjang lebar. Dia tidak mau Aris terkekang hanya karena perasaan hutang budi itu.
Aris menghembuskan pelan napasnya. “Aku sedang mencarikannya calon suami.”
“Apa?” Vera nyaris tidak mempercayai pendengarannya sendiri. “Untuk apa kamu mencarikan dia calon suami? Aku tidak percaya ini. Seorang suami yang akan menceraikan istrinya, sibuk mencarikan pria untuk calon mantan istrinya.”
“Aku tidak bisa membiarkannya hidup terlunta, Vera. Dia ibu dari anak-anakku.”
“Kalau begitu, tidak perlu kamu ceraikan dia.” Napas Vera langsung memburu karena emosi. Kata-kata Aris membuatnya berpikir jika pria itu memang tidak berniat untuk menceraikan istrinya, dan hanya mempermainkan dirinya. Ditambah ketika Aris tak kunjung menyahut setelah dia mengatakan kalimatnya. Vera semakin terbakar emosi.
“Memang itu kan, yang sebenarnya kamu inginkan? kamu hanya ingin mempermainkanku, menikmati tubuhku, tapi kamu tidak mau bertanggung jawab. Sialan kamu, Aris. Kamu tidak tahu berapa laki-laki yang sudah antri menerimaku saat kamu memilih melepasku.”
“Hei … hei … kamu bicara apa? Aku bukan tidak mau menceraikan Resa. Aku hanya berusaha untuk mengatasi masalah tanpa masalah. Kalau aku langsung menceraikan Resa, lalu dia hidup terlunta-lunta, anak-anakku akan ikut menderita. Kamu sendiri bilang tidak mau mengurus anak-anakku.”
“Tentu saja aku tidak mau. Aku harus mengurus anakku sendiri. Sementara anak-anakmu masih punya ibu. Aku tidak mau menikah jika untuk kamu jadikan pelayan.” D*da Vera naik turun dengan cepat.
“Sudahlah. Sekarang aku sudah tahu, sepertinya aku tidak bisa mengharapkan dirimu. Kita berakhir di sini, Aris. Nikmati saja hidupmu dengan istrimu yang tidak bisa memberimu kepuasan itu. Aku akan mencari pria lain.” Lalu Vera mematikan sambungan telepon. Wanita itu berteriak kesal.
Sementara Aris masih terhenyak di tempatnya. Pria itu menurunkan ponsel lalu menatap layar yang sudah kembali menggelap. Aris mengedip beberapa kali. Mendadak hatinya panas ketika membayangkan pria lain menikmati tubuh Vera. Pria itu mengumpat. “Sialan.”
Aris kemudian bergegas bangkit dari tempat duduk—menyambar kunci mobil, lalu melangkah keluar ruang kerjanya.
***
Resa mengurangi kecepatan laju kendaraan roda duanya, ketika toko milik sang suami sudah tak jauh lagi. Wanita itu tersenyum. Bola matanya melirik sekilas ke arah goody bag berisi makanan yang sudah dia siapkan untuk pria itu.
Resa tidak akan menyerah. Dia akan berusaha membuat pria itu kembali menatap ke arahnya. Hari ini, dia bahkan pergi ke salon. Memotong rambutnya agar lebih rapi dan terlihat lebih muda. Resa mulai memperbaiki penampilan. Selama ini, dia terlalu fokus mengurus anak-anak dan juga rumah, hingga melupakan penampilan dirinya sendiri.
Resa sudah menyalakan lampu sein, ketika melihat mobil milik Aris keluar dari halaman depan toko. Wanita itu sedikit ragu antara mau membelokkan kendaraan masuk ke pelataran toko seperti niat semula, atau mengikuti sang suami.
Resa terlonjak hingga motor yang ditumpangi sedikit oleng saat mendengar suara klakson yang begitu keras. Buru-buru Resa meluruskan stang motornya.
“Naik motor yang benar, Mbak. Reting kiri, kok belok kanan!”
Resa buru-buru mematikan lampu sein setelah motornya melaju di jalan lurus. Akhirnya wanita itu memilih mengikuti Aris. Perasaannya tidak enak. Bayangan bekas lipstik di leher pria itu kembali berkelebat.
Wanita itu menarik gas lebih dalam ketika mobil yang Aris kendarai melaju lebih cepat. "Kemana kamu mau pergi, Mas?" gumam Resa.
Melirik ke arah spion, Resa menambah kecepatan hingga motor yang ia kendarai mendahului satu mobil di depannya. Resa tidak melepas fokus dari mobil milik sang suami.
Resa menghentikan laju motor ketika melihat kemana mobil suaminya itu berbelok. Sore itu, udara masih panas, tapi Resa merasakan dua telapak tangannya dingin. Resa mengatur napasnya. Wanita itu berusaha untuk membuang jauh pikiran-pikiran buruk. Setelah berpikir cukup lama, Resa akhirnya membuka tas slempang, lalu mengeluarkan ponsel.
Resa mencari kontak Aris. Menarik dalam napasnya, sebelum jari wanita itu menekan tombol panggil. Resa menelan saliva susah payah. Wanita itu masih berusaha untuk berpikir positif. Mungkin suaminya bertemu klien di hotel itu.
Melepas helm dengan satu tangan, tangan yang lain membawa ponsel ke telinga kanan. Jantung Resa berdegup semakin kencang seiring suara dering panggilan yang belum juga diterima oleh orang yang dihubungi.
“Halo.”
Resa menghembuskan napas lega begitu mendengar suara Aris. Wanita itu mengusap peluh di keningnya.
“Mas dimana sekarang?” Resa berharap Aris menjawab dengan jujur. “Kalau aku minta Mas yang jemput Syifa, bisa tidak?” tanya Resa dengan perasaan cemas. Putrinya itu masih mengikuti les di sekolahnya.
“Tidak bisa. Toko sedang ramai.”
Jawaban Aris membuat tangan Resa bergetar. Wanita itu berusaha untuk tetap tenang, sekalipun pukulan demi pukulan terasa di dalam d*danya.
“Oh … Mas sekarang masih di toko?” tanya Resa lagi memastikan. Napas wanita itu mulai terhela berat. D*danya terasa panas.
“Memangnya dimana lagi? Aku kerja. Sudah. Jangan ganggu.”
Resa meremas kuat ponsel di tangannya. Aris berbohong. Pria itu jelas membohonginya. Resa ingin sekali berteriak sekeras mungkin. Aris benar-benar membuatnya kecewa.
Aris yang langsung mematikan sambungan, membuat Resa semakin kecewa. Wanita itu meremas-remas tangannya sambil berkali-kali mengatur masuknya oksigen dan keluarnya karbondioksida. Berpikir apa yang harus dia lakukan.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa hatinya yang remuk, Resa akhirnya memutuskan untuk menyusul Aris. Ada sedikit tersisa harapan jika Aris tidak melakukan sesuatu yang terbayang di dalam kepalanya. Sesuatu yang akan membuatnya tidak hanya sakit hati, kecewa, dan juga marah. Lebih dari itu.