Bab 1. Perselingkuhan Terungkap
“Bersihkan tubuhmu, lalu pulanglah. Maka aku akan memaafkanmu, Mas.” Resa lalu menggeser pandangan matanya. “Dan kamu … carilah pria yang belum beristri, apalagi beranak. Jangan merendahkan diri sendiri dengan menjadi pelakor. Tidak akan ada kebahagiaan saat kamu mengambil kebahagiaan wanita lain.”
Dengan menahan katupan rahangnya, Resa memutar tubuh, kemudian berjalan ke luar tempat yang membuat seluruh syarafnya terasa kehilangan fungsi saat itu juga. Hanya karena dua malaikat kecilnya, dia masih sanggup berdiri dengan tegak seperti saat ini.
Tiba di luar ruangan, Resa tidak lagi bisa menahan air mata yang sudah sudah payah ia bendung. Air itu mengalir begitu deras turun dari kedua sudut matanya. Kali ini, kakinya goyah. Dia tidak lagi mampu menyangga tubuhnya sendiri.
Resa meraih apapun untuk bisa bertahan. Isak tangis wanita itu terdengar, hingga membuat petugas hotel yang menemaninya, tidak sampai hati berdiam diri.
“Mari Bu, saya bantu.”
Resa tidak sanggup menjawab. Wanita itu hanya mendongak menatap sang petugas hotel dengan wajah basahnya. Bibirnya bergetar.
***
Satu minggu sebelumnya.
“Res ….”
Resa yang sedang menyetrika, menoleh.
“Eh … sudah pulang, Mas. Maaf, aku tidak mendengar suara mobil masuk.” Resa terkekeh. “Mobil baru sih, ya. Bunyinya alus pisan sampai nggak kedengeran.” Wanita itu kembali terkekeh.
Suaminya baru saja mengganti mobil tua miliknya, dengan mobil yang benar-benar baru. Bahkan plat nomornya pun belum keluar. Tentu saja Resa merasa senang, lantaran itu membuktikan jika toko bangunan milik suaminya sudah semakin maju.
“Bisa kita bicara sebentar, Res?”
Kening Resa mengernyit. Wanita itu kemudian mencabut setrika, sebelum berjalan mengikuti sang suami ke kamar mereka.
Rumah mereka bukanlah rumah besar, apalagi mewah. Hanya rumah satu lantai yang didapat dua tahun lalu, ketika sang suami mendapatkan pembagian harta dari penjualan sawah orang tuanya di kampung.
Resa, dan Aris adalah sepasang kekasih yang merantau pertama kali saat keduanya di terima di kampus kebanggaan kota besar Jakarta. Mereka berasal dari kampung yang sama di Jawa Tengah. Sayangnya, Resa harus rela berhenti kuliah, ketika kondisi keuangan mereka berdua tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan bersama-sama. Biaya hidup di kota besar ternyata jauh lebih mahal dibanding biaya hidup di kampung.
Demi Aris, Resa kemudian memilih bekerja untuk bisa menyokong biaya kuliah kekasihnya. Dia tidak bisa membiarkan Aris juga putus kuliah. Mereka berdua sudah memiliki rencana untuk menikah, setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan. Dan sebagai seorang pria, Aris lah yang nantinya harus menjadi tulang punggung keluarga. Sebuah alasan yang bagi Resa tidak akan pernah dia sesali seumur hidup. Dia mencintai Aris, dan berharap pria itu bisa sukses di kemudian hari.
Namun ternyata, setelah lulus kuliah, Aris tak juga mendapatkan pekerjaan. Mencari pekerjaan di ibu kota ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan. Sekalipun dia lulus dengan IPK lebih dari 3, namun ternyata hanya penolakan yang didapatinya setiap kali ia melamar pekerjaan.
Hingga sampai pada satu titik Aris nyaris saja menyerah, sebelum akhirnya mendapatkan tawaran untuk membuka usaha dari salah satu teman semasa kuliahnya.
Memang tidak mudah membangun usaha sendiri. Buktinya, Aris harus pontang panting dan baru bisa merasakan hasil setelah nyaris 4 tahun menjalani usahanya. Saat itu, ia dan Resa sudah menikah dan memiliki seorang putri yang mereka beri nama Syifa.
Sekarang, setelah 10 tahun pernikahannya dengan Resa, ia sudah memiliki dua orang anak yang berjenis kelamin perempuan. Syifa sudah berusai 8 tahun, dan sang adik Jannah sudah berusia 5 tahun.
Aris menepuk sisi ranjang, setelah ia sendiri duduk. “Anak-anak kemana?” tanya pria itu.
“Masih TPA, pulang nanti setelah Maghrib seperti biasa.”
Aris menganggukkan kepala. Pria itu mengamati tubuh berbalut daster coklat yang sedang menghela kaki menghampirinya.
Resa duduk di samping sang suami, seperti yang pria itu inginkan. kepalanya menoleh ke samping dengan kernyit pada keningnya. Tidak biasanya sang suami berwajah seserius ini, batinnya.
“Apa … ada masalah di toko?” tanya Resa yang sudah mulai khawatir.
Setelah sekian lama sang suami tidak pernah mengeluh ada masalah di toko, Resa tidak berharap badai akan kembali menerjang usaha suaminya tersebut.
“Tidak. Bukan itu yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Resa mengedip. Sepasang mata wanita dengan wajah polos tak tersentuh make up sedikitpun itu, menatap bertanya sang suami.
Aris mendesah. Merasa sulit untuk memulai pembicaraan yang ia tahu pasti akan menyakiti perempuan yang sudah memberinya dua orang putri ini. Akan tetapi, di satu sisi, dia tidak punya pilihan lain selain segera berbicara.
Resa meneguk ludahnya. Melihat sang suami yang mengalihkan tatapan mata darinya, seakan mencoba menghindarinya—membuat perasaannya tidak karuan. Ada rasa takut yang tiba-tiba saja menyerangnya.
“Lalu … ada … apa, Mas?” Resa bertanya dengan perasaan gundah yang membuatnya tidak sadar sudah meremas kain daster yang ia kenakan. “Jangan membuatku takut.”
Aris tidak berani membawa tatapan matanya ke arah sepasang mata yang masih menatapnya dengan tatapan bingung, dan juga takut bercampur jadi satu.
Aris meraup oksigen sebanyak yang mampu ia usahakan. Hati dan logikanya saling bertentangan. Ada rasa tidak tega saat melihat wajah istrinya, akan tetapi dia juga tidak bisa memunda terlalu lama. Pria itu menghembus pelan nafasnya. Berusaha untuk menenangkan gejolak hati, dan memantapkan hati untuk memberi tahu sang istri seperti rencananya semula.
Cepat atau lambat, Resa harus tahu. Semakin cepat, semakin baik. Baik untuk semua orang.
“Res … sudah berapa lama kita bersama?”
Kening Resa kembali mengernyit. “Kita pacaran 7 tahun, lalu menikah 10 tahun. Kenapa memangnya? Apa Mas sudah lupa?”
Kepala Aris menggeleng. “Apa … kamu tidak bosan padaku?”
Sepasang mata Resa membesar mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang suami. Pertanyaan apa itu? batin kesal Resa.
“Mas kenapa, sih?”
“Jawab saja, Res.”
Resa sedikit tersentak ketika Aris berbicara dengan nada yang sedikit mengeras. Ada apa sebenarnya dengan sang suami? Apa benar toko sedang mengalami masalah sampai suaminya stres lalu bicara ngelantur?
“Tidak.” Resa menjawab sembari menatap sang suami dalam-dalam. Wanita itu seolah sedang berusaha untuk membaca isi kepala suaminya.
“Kenapa tiba-tiba Mas bertanya seperti itu? Apa Mas merasa ada yang aneh denganku?” tanya balik Resa.
Akhirnya, kepala Aris memutar. Sepasang mata pria itu membalas tatap mata sang istri. Ada sedikit gentar dalam hati ketika tatapannya bertemu dengan sepasang kelereng hitam sang istri.
Beberapa detik terlewat, sepasang suami istri itu hanya saling beradu pandang. Keduanya seakan sedang mencoba untuk mencari tahu apa yang ada di dalam kepala masing-masing.
Resa sungguh tidak tahu apa yang terjadi pada suaminya. Tatapan hangat yang biasa ia dapati dari satu-satunya pria yang ada di hatinya tersebut, tak lagi tampak. Wanita itu meremas kain dasternya semakin kuat.
“Bagaimana … jika aku … yang merasa … bosan?”
Resa merasa seperti baru saja di sambar petir di siang hari. Setelah sekian lama tidak pernah ada gelagat aneh pada suaminya, tiba-tiba sang suami memberi isyarat jika pria itu bosan padanya. Bibir Resa bergetar, saat sang pemilik berusaha untuk membukanya.
“Mas … bosan?”
Dan hati Resa benar-benar sakit, ketika melihat kepala pria yang dia cintai dengan sepenuh hati, bergerak turun naik. Membenarkan pertanyaanya.
“Ayo … kita berpisah, Res.”