Bab 7. Mimpi Buruk Resa

1111 Words
Hari itu adalah hari yang paling buruk dalam hidup Resa. Saat dia melihat dengan mata kepalanya sendiri sang suami berada di dalam sebuah kamar hotel bersama perempuan lain. Dengan kondisi yang sangat tidak pantas. Tangan Resa masih bergetar. Kedua kakinya nyaris tidak bisa menahan bobot tubuhnya. Dia bahkan sampai harus dituntun oleh pegawai hotel yang membantunya. Resa melepas tangan sang pegawai hotel. Dengan mata basah, Resa membuka mulut. Mengucapkan kata terima kasih tanpa ada suara yang keluar. Suaranya hilang. Meskipun begitu, pegawai hotel itu paham. Wanita itu menganggukkan kepala, lalu benar-benar melepas Resa. Resa berjalan terseok keluar dari lobi hotel. Membelokkan langkah, sepasang kaki itu tertarik paksa ke tempat sepeda motornya terparkir. Resa merasa tidak sanggup melanjutkan langkah kakinya. Resa menahan bobot tubuh ke dinding, sebelum akhirnya tubuh ibu dua anak itu merosot. Resa terduduk di lantai. Menekuk sepasang kakinya, tangis wanita itu pecah. Air mata turun dengan deras, sekalipun suara wanita itu nyaris tak terdengar. *** Sementara di dalam sebuah kamar hotel, Aris dengan cepat memakai kembali pakaiannya. Vera yang masih berada di atas ranjang, mendengkus melihat Aris yang terlihat terburu-buru. “Mau pergi?” Vera mengikuti setiap pergerakan Aris. Sepasang rahang wanita itu mengeras. “Kalau kamu pergi, berarti kita benar-benar berakhir.” Kegiatan Aris yang sedang memasukkan kancing kemeja ke lubangnya terhenti. Pria itu memutar tubuh. Aris menatap Vera. Pria itu menghembuskan napasnya. “Tolong jangan menambah bebanku saat ini, Ver.” Satu tangan Ari terangkat menunjuk ke arah pintu masuk. “Resa baru saja melihat kita. Aku harus bicara dengannya sekarang.” “Ya … ya … Resa … Resa terus. Aku tahu dia istrimu!” Vera semakin terpancing emosi. “Pergi sana! Pergi dan jangan pernah mencariku lagi.” Vera meraih bantal, lalu melemparnya pada Aris. Aris memejamkan mata ketika bantal itu melayang ke wajahnya. Pria itu membiarkan. Aris melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Pria itu hanya diam sekalipun Vera kembali melemparnya dengan bantal yang lain. Aris dengan cepat memasukkan ujung bawah kemeja ke dalam celana panjang yang sudah dipakainya. Pria itu melangkah menghampiri Vera yang kini sudah menangis. “Pergi … pergi sana!” usir Vera sambil mendorong tubuh Aris menjauh. Wanita itu memukul tangan Aris yang berusaha untuk merengkuhnya. Air mata wanita itu mengalir. “Aku benci kamu, Aris. Aku benci kamu. Pergi sana … pergi!” “Dengarkan aku baik-baik, Ver. Dia masih istriku. Aku sudah bilang, aku akan menceraikannya. Aku hanya butuh sedikit waktu. Aku tidak ingin kami bermusuhan setelah bercerai. Aku punya dua anak darinya.” Aris menjelaskan panjang lebar. Aris menarik paksa tubuh Vera yang berusaha memberontak. Pria itu memeluk Vera erat, lalu mengecup puncak kepalanya. “Aku pergi dulu. Aku akan menghubungimu setelah urusanku dengan Resa selesai. Jangan khawatir, aku akan kembali padamu.” “Bohong! Kamu hanya mempermainkanku. Kamu tidak benar-benar mencintaiku. Kamu hanya menginginkan tubuhku. Sialan kamu, Aris. Pergi! Pergi!” Vera berusaha memukul apapun bagian tubuh Aris yang bisa dia gapai. Wanita itu berteriak meluapkan kemarahannya. Aris mengetatkan katupan sepasang rahangnya. Sekali lagi pria itu mencium puncak kepala Vera sebelum kemudian melepaskannya. “Aku pergi sekarang. Pakai pakaianmu dan pulanglah.” Lalu Aris memutar tubuh dan mengayun langkah meninggalkan Vera yang berteriak histeris. “Brengs*k kamu Aris! b******k kamu!” Tangan Aris sudah menekan handel pintu ketika kalimat yang Vera ucapkan membuat pria itu kembali memutar tubuh. “Aku akan gugurkan anak ini! Akan kubunuh anak ini!” Kedua mata Aris membesar, lalu sepasang kaki pria itu bergerak cepat. Aris berlari saat melihat Vera memukul-mukul perutnya sendiri sambil terus berteriak akan membunuh anaknya. “Apa yang kamu lakukan? Hentikan, Vera. Hentikan.” Aris langsung menahan kedua tangan Vera yang masih ingin memukul perutnya sendiri. “Lepaskan! Kamu tidak peduli padaku, apalagi pada anak ini nantinya. Kamu hanya akan terus memikirkan istrimu itu. Tidak ada gunanya dia lahir.” Aris terus menahan pergelangan tangan Vera. Pria itu menghembus napas berkali-kali. Aris akhirnya duduk di tepi ranjang—masih sambil menahan tangan Vera. “Jadi … kamu benar-benar hamil?” Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Aris membuat Vera semakin meradang. “Kamu pikir aku berbohong? Aku datang ke sini untuk memberitahumu soal anak ini. Tapi kamu … kamu bahkan tidak bertanya. Kamu tidak peduli!” Kulit wajah Vera sudah berubah merah padam. “Maaf … maaf, aku belum sempat bertanya. Kamu tahu, aku tidak bisa menahan nafsu setiap kali bersamamu.” Aris menatap Vera penuh permintaan maaf. Aris menarik oksigen masuk ke dalam paru-parunya. “Berapa bulan?” “Untuk apa kamu tanya? Besok dia tidak akan ada lagi di rahimku.” “Jangan bilang begitu. Dia bisa mendengarmu.” “Biarkan saja. Biar dia tahu kalau ayahnya tidak menginginkannya.” Vera mencoba menarik dua tangannya dari cengkeraman Aris, yang berakhir gagal. “Pergi, Ris, susul istrimu. Itu kan yang mau kamu lakukan?” Aris menelan susah payah ludahnya. Tatapan mata pria itu turun. Aris mengedip dengan napas yang sudah mulai tercekat ketika melihat bentuk tubuh Vera. d**a pria itu bergerak ke atas, lalu tertahan beberapa saat sebelum kemudian bergerak turun. “Baiklah. Aku tidak akan pergi.” *** Resa mengusap kasar wajahnya yang basah ketika ponsel di dalam tas berbunyi. Resa menarik napas pelan lalu menghembuskannya. Mengeluarkan ponsel, wanita itu segera menekan gambar telepon berwarna hijau begitu melihat nama siapa yang sedang berusaha untuk tersambung dengannya. “Ha-halo.” “Maaf, bu Resa. Ini Syifa sudah nunggu dari tadi. Apa hari ini ibu tidak bisa menjemput? Apa saya carikan ojek online saja?” Resa menarik napas panjang. Dia sampai lupa menjemput sang putri. Wanita itu susah payah bangkit. Satu tangan yang tidak sedang memegang ponsel, membersihkan pant*t yang kotor karena debu. “Saya … saya jalan sekarang, Bu. Tolong minta Syifa tunggu sebentar.” Resa berjalan ke arah motornya. Perempuan itu menurunkan ponsel setelah sang guru berpamitan padanya. Resa menguatkan hatinya. Ada anak-anak yang membutuhkan dirinya. Dia tidak boleh terus menangisi suaminya. Syifa dan Jannah. Mereka lebih penting. Wanita itu mengusap kasar wajah basahnya. Memakai helm setelah berada di atas motornya, air mata masih kembali turun. Dengan d*da yang terasa begitu sesak, Resa melajukan kendaraan roda duanya. Berulang kali Resa mengatur napas untuk membuang rasa yang bergejolak di dalam dad*nya. Mulut wanita itu setengah terbuka. Menarik lalu menghembuskan napas. Membiarkan air mata mengering tertiup angin. Resa mempercepat laju motor ketika teringat sang putri yang masih menunggunya. Dia akan menunggu Aris di rumah. Pria itu bahkan masih belum keluar setelah cukup lama dia menangis di pojok tempat parkir. Aris benar-benar sudah tidak peduli padanya. Resa tidak pernah bermimpi akan kehilangan cintanya. Aris. Dia terlalu percaya pada pria itu. Cintanya yang begitu besar pada pria itu, membuatnya buta hingga dia tidak pernah berpikir Aris akan tega menghianatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD