Bagian 8

1284 Words
Hari Minggu seharusnya menjadi hari dimana Johana akan menghabiskan waktu dengan bersantai merebahkan diri sambil memainkan ponsel. Sesekali ia pergi ke warung untuk membeli camilan, lalu menonton netflix. Kadang Hari Minggu menjadi hari dimana Johana akan berjalan-jalan. Meskipun tidak pergi ke tempat wisata yang dikunjungi banyak orang, setidaknya ia berkunjung ke tempat yang justru menenangkan. Untung saja bukit di dekat daerahnya terbilang masih alami, belum disentuh banyak orang. Johana pun berharap hanya segelintir orang yang mengetahui keberadaan bukit tersebut. Takut, jika suatu saat nanti seseorang akan mengunggah video tentang bukit itu di sosial media. Lalu akhirnya menjadi viral dan banyak wisatawan tak bertanggung jawab yang merusak alam tersebut. Sangat disayangkan, bukan? Apalagi jika beberapa oknum justru memfasilitasi tempat itu dengan memberikan banyak hiasan, terutama hiasan bentuk hati yang sering ditemukan di tempat wisata Indonesia. Terlalu familiar, bukan? Namun Hari Minggu kali ini sedikit berbeda. Johana harus menghabiskan waktu di tempat kerja karena ada acara besar yang telah menantinya. Menanti untuk disiapkan serta dibersihkan jika sudah selesai. "Na! Tolong ambilkan lap bersih." Seru Aria panik saat ada beberapa minuman terjatuh. Sebenarnya itu bukan ulah Aria, hanya saja bagaimana pun juga tugas seorang OB adalah memastikan semuanya bersih dan rapi tanpa ada celah. Johana segera berlari mengambil lap, "ini." Ucap Johana menyodorkan lap tersebut. "Tolong buangkan ini ya, biar aku aja yang ngebersihin." "Biar aku aja, mas. Aku yang jatuhin." Cegah seorang gadis muda tiba-tiba menahan tangan Aria yang mulai membersihkan. Aria tersenyum ramah, "tidak apa, ini tugas kami. Kamu kembali ke dapur aja, kali aja ada yang butuh bantuanmu." "Maaf, mas. Aku gak sengaja. Maaf ya." "Gapapa, santai aja kali." Sahut Aria tenang. Gadis itu berulang kali membungkukkan badan sekaligus meminta maaf. Kemudian pergi meninggalkan Johana dan Aria yang masih di tempat. "Perlu bantuan gak?" Tanya Johana pelan. Aria mendongakkan kepalanya menatap Johana lekat. "Ada! Itu pecahan kaca di tanganmu, cepat dibuang." "Eh iya, lupa." Balas Johana terkekeh pelan. Bagaimana bisa ia melamun disaat sedang membawa pecahan kaca yang hanya di bungkus plastik tipis di tangannya? Haruskah ia meminum kopi terlebih dahulu agar fokusnya tidak buyar? "Hati-hati bawanya!" Seru Aria memperingati. Johana hanya mengangguk pelan. Acara mulai setengah jam lagi, masih ada waktu untuk Aria membersihkan noda tadi. Johana juga masih memiliki banyak waktu untuk memastikan semuanya sudah beres dan bersih. Saat Johana akan membuang pecahan kaca yang ia bawa tadi, tiba-tiba plastik tipis yang membungkusnya sobek dan menjatuhkan pecahan kaca tersebut. Padahal tinggal beberapa langkah lagi Johana tiba di tempat pembuangan sampah. Naasnya, hal sial justru terjadi. Sial sekali, memang. Kemudian Johana segera memungut serpihan kaca tersebut secara perlahan. Ia takut melukai tangannya. Apalagi jika ada seseorang yang lewat di sekitar sini dan terluka akibat ulahnya. Belum selesai Johana berpikir akan sebuah keselamatan bersama. Kini serpihan kaca itu justru melukai jarinya. "Auuuuu.... " Johana merintih pelan. Lalu mengusap lukanya pada seragam yang ia pakai. Namun tiba-tiba tangannya ditarik paksa seseorang yang membuatnya sontak ikut berdiri dan berjalan mengikuti langkah orang itu. "Bodoh!" "Bagaimana bisa luka kayak gitu malah diusap ke kain yang entah bersih atau tidak?" Pekik orang tersebut terdengar kesal. Johana sangat hafal suara itu. Candra Athanasius. "Lepaskan saya!" Seru Johana menepis tangan Candra dengan kasar. "Saya bisa mengatasinya sendiri, Pak!" Imbuhnya berbicara formal. Secara harfiah, bila seorang karyawan bertemu dengan atasannya, ia akan berbicara dengan sopan dan memberikan rasa hormat. Yah walaupun tindakan Johana tak mencerminkan nilai kesopanan sama sekali. Tapi untung saja tidak ada orang di sekitar sini. Jadi ia tidak terlalu mengkhawatirkan hal tersebut. "Gak perlu bicara formal kayak gitu, Jo." Ujar Candra lembut seketika. "Maaf sebelumnya, Pak. Jika saya tadi sempat berbuat kasar. Saya permisi dulu." Balas Johana tanpa menanggapi pernyataan yang Candra lontarkan sekian detik yang lalu. Sementara Candra yang tidak puas dengan respon dari Johana, hanya bisa mengeraskan rahangnya seolah sedang menahan sesuatu yang sebentar lagi akan meledak. Dan benar saja apa yang dikhawatirkan. Candra berlari kecil mengejar Johana lalu menangkap tubuh gadis itu dengan enteng. Kemudian, merangkul tubuh mungil tersebut di atas bahu kanannya seolah sedang mengangkut sekarung beras. Johana meronta-ronta sambil memukul keras punggung pria itu, "turunin saya, Pak!" "Pak Candra!" Teriak Johana cukup lantang. Ia yakin suaranya pasti akan terdengar oleh beberapa orang yang sedang lewat, meskipun mereka tak melihat dua sosok manusia tengah berdebat di belakang gudang. Candra tetap menyeimbangkan tubuh Johana dirangkulannya meskipun gadis itu masih meronta-ronta. "Turunkan saya, Pak. Saya mohon." Pinta Johana lirih. Kini Candra menghentikan langkahnya di depan wastafel lalu menurunkan tubuh Johana perlahan. Kemudian ia meraih cepat lengan Johana supaya gadis itu tidak melarikan diri dan mengindarinya. Tangan kiri Candra menghidupkan kran air wastafel sementara tangan kanannya menggenggam tangan Johana lalu mengalirkan air pada luka di jari gadis itu. "Itu hanya luka kecil, Pak!" "Berhenti memanggilku 'Pak', aku bukan bapakmu." Bentak Candra kesal. Johana agak terkejut saat Candra menatapnya dengan tajam. "Tapi saya- "Berhenti berbicara formal kalau kita lagi berdua!" Pekik Candra tegas. "Apa salahnya dengan itu? Saya hanya menerapkan SOP yang berlaku." "Joo.. Jangan buat aku semakin marah!" Desis Candra mengingatkan. "Kalau begitu anda tidak perlu mengurusi karyawan kecil seperti saya, Pak. Jika anda memiliki tugas penting yang ditunggu banyak orang. Saya bisa mengurus luka ini sendiri. Terima kasih atas perhatian anda. Saya mohon anda tidak perlu berlebihan, takutnya ada kesalahpahaman. Permisi." Balas Johana berusaha sesopan mungkin sambil tersenyum simpul. Kemudian, ia membungkukkan badan berpamitan lalu segera meninggalkan Candra yang masih tidak berkutik di tempat. Pria itu menggertakkan giginya sangat keras seolah sedang menahan amarah. Candra benar-benar tidak menyukai situasi ini. Apakah ia akan mengalami situasi seperti ini selamanya bersama Johana? Padahal tujuan asli Candra menerima Johana sebagai karyawannya supaya ia bisa mengawasi gadis itu dari dekat. Atau lebih tepatnya, supaya gadis itu tetap di sisinya. Detik berikutnya, Candra kembali mengejar Johana lalu meraih tangan gadis itu dengan cepat sambil memberikan plaster yang ia ambil dari saku jasnya. "Pakai itu." "Berhati-hatilah dalam bekerja!" Seru Candra langsung berbalik meninggalkan Johana yang mematung. "Terima kasih." Teriak Johana sedikit lebih keras karena Candra hampir tak terlihat dari pandangannya. Setelah itu Johana bergegas menuju ke dalam ruangan untuk membantu yang lain. Tapi ternyata acara yang dinanti sudah digelar beberapa menit tadi. Ia juga melihat Candra kini berjalan menuju atas panggung sembari menjabat para tamu penting lalu sedikit memberi sambutan. Johana menatap sosok Candra Athanasius sangat lekat. Kemudian ia kembali melihat dirinya sendiri seolah menelusuri perbedaan strata yang ia alami. Ia hanya menghela napas berat sambil berpikir sejenak. Seorang pembantu yang bisa menikah dengan atasannya hanyalah kisah n****+ yang kemungkinan terjadi di dunia nyata. Ia tidak terlalu berharap mendapat pasangan yang kaya raya dan sulit digapai olehnya. Johana hanya berharap mendapat pasangan yang bertanggungjawab dan setia. "Hana!" Seru seseorang menepuk bahunya pelan. Johana langsung berbalik badan melihat sosok yang memanggilnya. "Ada apa, Aria?" "Darimana aja kamu, Na?" Tanya Aria khawatir. Belum sempat Johana menjawab pertanyaan Aria, kini sorot mata Aria langsung menatap jari telunjuk Johana dengan tajam dan menarik tangan gadis itu cepat. "Kamu terluka?" "Gitu deh, cuma kena serpihan kaca dikit." Sahut Johana sambil mengelus tengkuk lehernya canggung. "Sorry ya, harusnya aku aja yang buang kacanya tadi." Ucap Aria menyesal. "Ih santai aja kali." "Kan udah aku bilang, hati-hati!" Celetuk Aria cemberut. "Iya iya sorry." Johana tersenyum ramah sambil menepuk bahu Aria pelan. Mereka berdua berbincang seru. Sesekali Aria mencubit pipi Johana dengan gemas. Akan tetapi tanpa mereka ketahui, ada satu pasang mata yang menatap mereka dengan tatapan tajam seolah mereka berdua adalah mangsa yang cocok disantap untuk makan malam. Sorot mata itu seakan-akan menahan gejolak kecemburuan yang mendalam. Mata tersebut milik seorang pria yang sedang duduk di atas kursi panggung sambil mengeraskan rahangnya. Siapa lagi kalau bukan Candra Athanasius. Candra begitu tidak suka saat Johana melemparkan senyum pada pria lain. Johana Gamalria hanya miliknya dan tidak ada yang boleh menyentuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD