Semua orang berkompetisi menuju puncak piramida. Semua orang berlarian untuk menjadi yang terbaik. Semua orang —hampir semuanya, selalu menatap ke depan dan fokus pada angannya. Tak ada yang bisa menerka kehidupan yang terjadi satu detik kemudian.
Nyatanya kehidupan bagaikan kertas yang kita tulis setiap harinya. Peristiwa yang terjadi segalanya adalah tragedi. Pena hitam adalah tubuh kita, ia lah yang menentukannya.
Dan Johana menghindari sebuah tragedi yang ia harap tidak terulang kembali.
Ia harus menyusun rapi naskah hidup yang ia rancang, meskipun Tuhan yang berkehendak atas takdir setiap insan. Bukankah manusia hanya bisa merencanakan dan Tuhan yang menentukan?
Johana hanya perlu membatasi diri dari Candra, mencari kesibukan lainnya, dan fokus mendapatkan uang sebanyaknya demi ayah yang sedang berbaring melawan penyakitnya. Tapi, sebaik apapun tujuan kita, mengharap bulan agar selalu terlihat bulat sempurna itu mustahil. Semua ada fasenya termasuk saat purnama pun kadang rupanya tertutup awan.
Kadang kita hanya lupa diri kita ini manusia. Hal-hal baik yang selalu direncanakan tidak selalu langsung sesuai harapan. Ada yang berniat, kemudian melakukannya dan langsung mendapatkan hasil. Tapi ada pula yang sebaliknya. Seperti Johana saat ini.
Johana cukup tenang mengerjakan tugasnya sebagai official girl di kantor ini. Terlebih lagi saat ia mendapatkan teman kerja yang baik seperti Aria. Pak Misno juga tak kalah baik kepadanya, bahkan terkadang pria paruh baya tersebut kerap berbagi bekal pada Johana saat ia lupa menyiapkan bekal dari rumah karena terlalu sibuk merawat Tio yang berada di rumah sakit. Sebenarnya di kantor sudah menyediakan makan siang untuk karyawannya. Namun mereka mendapat bagian paling terakhir setelah karyawan kantor yang lain selesai. Pak Misno juga secara terang-terangan, menganggap Johana seperti anaknya sendiri. Mungkin karena Pak Misno tak memiliki anak perempuan, maka dari itu saat ia bertemu dengan Johana yang terlihat seperti gadis baik nan lugu, ia tak segan-segan menunjukkan rasa kasih sayangnya pada gadis itu sebagai ayahnya.
Akan tetapi, ketenangan tersebut tak berlangsung lama. Karena seorang wanita berpakaian kemeja putih polos serta blazer yang bertaut di bahunya kian mendekati Johana dengan tatapan tajam. Kemudian, wanita itu mendorong Johana yang sedang menyapu lantai dengan kasar, membuat Johana terjatuh tanpa persiapan.
"Auuuu... " Rintihan Johana terdengar lirih. Semua pasang mata menatap ke arahnya.
Johana masih berusaha menerka apa yang sedang terjadi. Ia segera berdiri dan menghampiri wanita tadi yang kini tengah menekuk kedua tangannya di depan d**a.
"Ada masalah apa ya mbak?" Tanya Johana pelan sembari membersihkan seragamnya yang sedikit kotor akibat terjatuh ke lantai.
Wanita itu mendengus kesal, "masalah? Masalahnya adalah lo gak ngaca! Harusnya lo tau posisi lo disini cuma sebatas karyawan kecil biasa yang tugasnya bersihin lantai kita." Sahut wanita itu ketus. Johana mengerutkan dahinya merasa kebingungan. Ia memang hanyalah karyawan kecil yang bahkan gajinya tidak seberapa dibandingan gaji wanita yang berada tepat di depannya. Tapi apa masalah yang membuat wanita itu terlihat sangat kesal kepadanya?
"Maaf mbak, saya memang cuma OG disini. Saya tau itu, tapi saya benar-benar tidak tahu apa yang mbak maksud?"
Wanita itu kini memalingkan wajahnya ke samping sembari mendengus seolah meremehkan.
"Jangan pura-pura sok lugu deh! Waktu ada acara kemarin, gue liat lo digendong Pak Candra cuma karena tangan lo kena kaca, kan?" Tanya wanita tersebut langsung meraih jari Johana yang terluka, lalu melihatnya sekilas. Kemudian dihempaskannya cukup kasar.
"Padahal cuma luka kecil kayak gitu, gak usah cari perhatian deh lo!" Imbuhnya sedikit membentak.
Johana yang mendengar kesaksian wanita tersebut sontak membulatkan kedua matanya sempurna. Ia tidak tahu bahwa kejadian itu dilihat oleh wanita ini. Astaga! Bisa celaka dirinya. Johana hanya diam membisu tanpa merespon ucapan wanita yang entah siapa namanya itu. "Lo denger gak?"
"Iya mbak, denger." Sahut Johana menundukkan kepalanya.
Semua orang yang berada di sana tidak bisa berkutik. Karena wanita yang ada di hadapan Johana saat ini adalah kepala divisi produksi di lantai dua. Sebenarnya Johana tahu betul posisi jabatan wanita tersebut di kantor ini. Akan tetapi ia tidak terlalu menghafal nama setiap karyawan yang ada di sana. Lebih tepatnya, Johana memang tidak berusaha mengenal setiap karyawan. Tidak seperti Aria yang memang sangat mudah berkomunikasi dan mengakrabkan diri sebagai kawan.
Sialnya, hari ini Aria tidak masuk kerja karena ia sedang demam. Jadi untuk saat ini, Johana benar-benar terjebak di situasi yang menegangkan.
"Lain kali gak usah caper!"
"Gak usah genit di depan Pak Candra!"
"Lo pikir dia bakal kepincut sama lo?" Seru wanita itu bertubi-tubi melayangkan kalimat tidak mengenakkan untuk didengar. Tak lupa wanita itu mendorong-dorong tubuh Johana sedikit demi sedikit ke belakang hingga punggung gadis itu menambrak sesuatu yang keras bersamaan dengan terhentinya gerakan wanita tadi. Johana spontan berbalik badan melihat siapa yang ia tabrak. Mata Johana seakan hampir keluar saat melihat sosok Candra lah yang kini ada di hadapannya.
"Ada apa ini, Bella?" Tanya Candra dingin sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Ini —ini Pak. Dia gak becus kerjanya." Sahut Bella sedikit gugup.
Candra mengangkat salah satu alisnya seolah memastikan kebenaran tersebut. "Benarkah itu?"
"Benar, Pak. Lantai masih kotor dan beberapa kertas penting juga ikut terbuang. Iya kan teman-teman?" Celoteh Bella beralibi dengan mengajak teman-temannya membuat pernyataan. Namun beberapa mereka tampak ragu untuk menjawab dan hanya menganggukkan kepala pelan.
"Tapi yang saya dengar sedari tadi, anda justru menyudutkan OG saya dengan mengatakan bahwa ia sangat genit."
"Tidak, Pak. Saya tidak pernah mengatakan hal itu." Balas Bella mulai panik.
"Benarkah? Kalau begitu telinga saya yang perlu dibawa ke dokter." Ucap Candra mengorek telinganya pelan sambil tersenyum menyeringai. Sementara Johana yang masih berdiri di antara kedua manusia berdebat itu hanya bisa diam mematung tanpa ada pergerakan, ia semakin menggenggam erat sapu yang ia pegang sambil berharap Candra tidak mengungkit apa yang telah ia lakukan.
"Johana Gamalria."
"Iya, Pak." Sahut Johana cepat sembari mendekat satu langkah pada Candra dengan sigap.
"Apakah kamu tidak bekerja dengan baik selama berada di tempat ini?"
Johana diam. Ia bahkan tidak bisa menilai hasil kerja kerasnya sendiri. Bukankah yang bisa menilai suatu tindakan seseorang adalah orang lain yang melihatnya? "Kenapa hanya diam?"
"Benarkah apa yang dikatakan Bella?"
"Saya tidak tahu, Pak. Saya merasa melakukan tugas sebaik mungkin. Jika anda bertanya baik tidaknya pekerjaan saya, anda mungkin bisa bertanya pada karyawan lainnya." Balas Johana membela diri namun tampak sedikit gugup. Kekhawatiran memang selalu muncul disaat situasi seperti ini, ia takut jika Candra akan memecatnya. Lalu ia akan menjadi pengangguran dan tidak bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ayahnya.
"Baik kalau begitu, saya tidak perlu bertanya pada yang lain. Tapi saya akan memindahkanmu bertugas di lantai atas, lebih tepatnya di ruangan saya supaya saya bisa melihat jelas hasil kerja anda." Ucap Candra santai.
Johana membulatkan kedua matanya tak percaya.
Hei! Selama bekerja di sini, Johana bahkan berusaha keras menghindari sosok Candra. Tapi sekarang apa yang ia usahakan justru sia-sia. Johana malah di tempatkan lebih dekat dengan pria yang sudah lama ia rindukan tapi mati-matian ingin ia lupakan.
"Tapi Pak —jika saya dipindahkan ke lantai atas. Aria tidak memiliki rekan kerja untuk mengurus lantai ini."
"Jangan khawatirkan hal itu. Pak Misno akan mencarikan penggantimu." Sahut Candra tetap terlihat santai sambil menepuk bahu Johana pelan.
"Mulai besok kamu bisa langsung bersih-bersih di ruangan saya." Imbuhnya langsung pergi meninggalkan tempat itu. Tapi setelah itu, Candra justru berbalik badan dan menatap ke arah seluruh karyawan yang ada di sana. "Dan satu lagi —tidak boleh ada penindasan di kantor saya. Jika ada seseorang yang menindas kalian, kalian bisa melaporkan langsung kepada saya. Orang tersebut kemungkinan besar akan saya pecat."
Candra menatap tajam ke arah Bella saat ia melontarkan kata terakhirnya dengan penuh menekankan.
"Baik, Pak." Seru mereka serempak lalu membungkukkan badan memberi hormat.
Sedangkan Bella yang merasa tersindir kian meremas roknya dengan cukup keras sembari menatap tajam Johana. "Awas kau, jalang!" Umpatnya pelan.