Bagian 7

1380 Words
Sepertinya p****t Johana mulai panas, mengingat bahwa ia menunggu Candra beberapa jam yang lalu. Jam sudah menunjukkan 10 pagi menjelang siang, namun batang hidung pria itu tak kunjung datang. Beberapa kali Johana juga menanyakan kapan tepatnya kedatangan Candra di kantor kepada petugas resepsionis. Akan tetapi, wanita yang berumur kisaran 25 itu hanya mengatakan bahwa Candra akan segera datang. Datang? Hei! Pria itu menyuruh Johana datang jam 6 pagi hanya untuk menunggu saja, begitu? Johana mendengus kesal sesekali menghela napas berat. 4 jam ia hanya duduk dan memainkan ponselnya yang tidak menarik sama sekali baginya. Bahkan ia melewatkan sarapan pagi bersama ayahnya hanya demi sebuah pekerjaan satu ini yang entah bagian mana Johana akan ditempatkan. Selang beberapa menit berlalu, akhirnya sosok yang Johana tunggu sedari tadi muncul dan berjalan menuju lobi sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. Johana segera menghampirinya, "Pak?" Langkah Candra terhenti saat Johana berdiri di sebelahnya sambil membungkukkan badan seolah memberi hormat. "Iya, ada apa?" Tanya Candra mengangkat salah satu alisnya. "Saya sudah datang jam 6 pagi sesuai yang Anda perintahkan. Apakah saya bisa mulai bekerja hari ini?" Johana tersenyum lebar. Tapi Candra tahu bahwa senyum itu penuh dengan kepalsuan. Ia berspekulasi jika Johana pasti sangat kesal karena harus menunggunya cukup lama. Candra bedehem pelan, "ya, kamu bisa bekerja hari ini." "Baik, Pak." Sorot mata Candra kini berkeliling menelusuri setiap sudut lobi seolah sedang mencari seseorang, hingga pandangannya terhenti pada pria paruh baya yang tengah mengepel lantai. "Pak? Pak Misno!" Seru Candra memberi isyarat pada pria itu untuk kemari. Pria tersebut sedikit terkejut namun segera berlari kecil menghampiri Candra. "Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Tiba-tiba Candra menepuk bahu Johana pelan. "Ini karyawan baru. Tolong dibimbing ya, Pak." Ujar Candra tegas namun terdengar sedikit lembut. Kemudian, ia berjalan kembali meninggalkan Johana yang masih mematung di tempat, mencerna apa yang sedang terjadi. Tunggu? Jangan bilang Candra menempatkan Johana sebagai Office Girl. Setelah menyadari hal itu, Johana buru-buru berlari menghampiri Candra lagi, "Pak? Pak Candra?" "Ada apa?" Candra menghentikan langkahnya. Asisten pribadi dan beberapa orang yang berada di belakang Candra menatap Johana dengan tajam seolah gadis itu adalah sebuah gangguan. Johana menggigit bibirnya pelan, "apakah saya ditempatkan di bagian office girl?" Tanya Johana ragu. "Bukankah sudah jelas?" "Tapi- "Bukankah kamu meminta untuk memulai dari awal?" Imbuh Candra mengerutkan dahinya. Astaga! Memulai dari awal yang Johana maksud bukanlah hal seperti ini. Johana tidak bermaksud merendahkan sebuah pekerjaan. Ia mengerti jika office boy atau office girl sangatlah berperan penting dalam mendukung kelancaran operasional kantor. Tapi- hei! Nilai IPK Johana bahkan hampir menyentuh 4.00. Ia juga berharap mendapat pekerjaan yang sesuai dengan apa yang ia minati. Di divisi umum, setidaknya. Johana hanya melayangkan senyum sekilas pada Candra, "Baik, Pak. Saya akan bekerja sebaik mungkin." "Bagus." Singkat, jelas, dan padat. Candra segera menuju lift dan meninggalkan Johana yang menahan amarah. Ia merasa sedang dipermainkan oleh pria itu. "Mbak?" Sebuah suara menyadarkan Johana. "Eh iya, Pak." Johana membalikkan badan lalu menghadap di depan pria paruh baya yang tadi dipanggil Candra. "Saya Pak Misno, mohon kerja samanya ya." Tutur Pak Misno mengarahkan tangan kanannya untuk bersalaman. Johana segera meraihnya. "Saya Johana. Panggil saja Hana, Pak. Mohon bimbingannya." Pak Misno tersenyum lebar sambil mengangguk pelan. Perawakan Pak Misno tidak terlalu tinggi tapi juga tidak terlalu pendek. Ideal untuk ukuran tinggi pria. Bisa dibilang Pak Misno mungkin seumuran dengan Ayah Johana. Johana pun cukup lega bekerja dengan orang yang lebih tua darinya. Ia mungkin bisa mendapatkan banyak pengalaman hidup dari Pak Misno, mengingat sudah berapa tahun ia menjalani hidup. "Bapak, sudah berapa tahun bekerja disini?" "Hampir 3 tahun, mbak." Sahut Pak Misno sopan. "Panggil Hana aja, Pak." Pak Misno mengangguk paham. "Udah agak lama ya, bapak betah kerja disini?" "Betah banget, Hana. Apalagi Pak Candra baik banget ke karyawannya. Waktu itu saya pernah sakit selama 2 minggu, tiba-tiba dia dateng ngejenguk saya ke rumah sakit, mana bawa banyak bingkisan. Saya agak sungkan abis itu." Ujar Pak Misno ceria. "Baik orangnya ya?" "Baik banget." Pak Misno mengantarkan Johana ke ruangan istirahat. Di sana terdapat beberapa loker milik office boy dan office girl. "Nah, ini loker kamu. Seragamnya ada di dalam loker. Kalo mau ganti baju, bisa langsung kesana." Imbuh Pak Misno menunjuk ke arah ruangan yang tertutup di sebelah jajaran loker. Johana mengangguk paham. "Siap, Pak. Makasih ya." "Oh ya, nanti kamu bersihin lantai dua. Di sana ada divisi produksi. Orangnya agak galak-galak. Jadi jangan kaget ya." Tukas Pak Misno memberitahu Johana sebelumnya. *** Hari ini genap dua minggu Johana bekerja. Di setiap lantai terdapat 2 orang OB atau OG yang bertugas. Johana mendapat bagian membersihkan lantai dua bersama seorang OB muda yang seumuran dengannya, Aria namanya. Pria itu sangat ramah, murah senyum dan selalu ceria. Ia kerap menyapa tiap karyawan di sana tanpa terkecuali. Menebar energi positif di sekitarnya dan juga menjadi orang paling banyak omong di antara para OB lainnya. Perawakan Aria terbilang tinggi, bahkan tinggi Johana hanya sebatas d**a pria itu. Wajah Aria juga tampan. Seharusnya ia melamar kerja menjadi model saja daripada menjadi OB di sini. Sangat disayangkan, bukan? "Pekerjaan hari ini akhirnya cepat selesai karena ada bantuan kamu." Ujar Aria menyenggol lengan Johana. Johana hanya mengangguk pelan sembari tersenyum simpul. Mereka terdiam sejenak, "kamu emang pendiem ya orangnya?" "Enggak kok." Sahut Johana melirik Aria canggung. "Apa akunya aja yang terlalu sok asik?" Johana langsung menggelengkan kepala cepat, "enggak kok, kamu asik. Aku cuma masih butuh waktu buat adaptasi." Sebenarnya bukan Aria yang SKSD (Sok Kenal Sok Deket), tapi Johana yang memang sedikit mengurangi kalkulasi bicaranya di tempat baru, apalagi tempat ini milik Candra. Ia hanya tidak ingin terlalu menonjol. Ia juga berharap tak semua orang harus mengenal dirinya. Johana takut jika suatu saat nanti fakta dimana ia adalah mantan Candra akan tersebar luas di seluruh kantor. "Iya kah? Semoga seiring waktu kita makin akrab ya!" Seru Aria antusias lalu menarik tangan Johana cepat. "Yuk makan!" Imbuhnya. Johana kini duduk berhadapan dengan Aria di kantin kantor. Gadis itu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dengan lesu sambil berpikir akan ketakutannya tentang masa lalu. Namun di balik kegelisahannya tersebut, ada satu hal yang membebani pikiran Johana, yaitu tentang bagaimana ia harus mendapat tambahan uang untuk pengobatan ayahnya. Minggu lalu, tepatnya 7 hari Johana baru masuk kerja. Ia mendapat telepon dari tetangga sebelah rumah yang mengabarkan bahwa Tio masuk rumah sakit. Setelah diperiksa dokter, ternyata Tio mengidap penyakit kanker paru-paru. Hal tersebut sontak membuat Johana syok berat. Sepulang kerja ia langsung menuju rumah sakit dan merawat ayahnya. "Hana!" Teriak Aria cukup lantang. Johana tersadar dari lamunannya, "dipanggilin dari tadi gak nyaut, lagi mikirin apa sih?" Tanya Pak Misno yang sudah duduk di sebelah Aria. Sejak kapan Pak Misno datang? Johana menatap Pak Misno bingung, "kenapa? Pasti gak liat kalo saya datang." "Hehehe enggak." Sahut Johana menyengir. "Udah seminggu ini, bapak liatin kamu sering ngelamun. Lagi mikirin apa to nak?" Tanya Pak Misno ragu, takut menyinggung hati Johana. Alih-alih menjawab jujur pertanyaan Pak Misno, Johana hanya membalasnya dengan senyuman lalu menggelengkan kepala pelan. "Gak ada kok, Pak. Cuma kebiasaan lama aja." Pak Misno mengangguk pelan. "Jangan sering ngelamun. Takutnya tiba-tiba kerasukan." "Emang disini angker, Pak?" Tanya Johana takut. "Tiap tempat pasti ada penunggunya, Na. Yang penting kamu gak usil ke mereka, pasti bakalan aman." Sementara Aria yang sedari tadi berfokus pada makanannya kini ikut menimpali, "biasanya sih Pak, kalo sering ngelamun gitu ada sesuatu yang terjadi. Aku tebak..... pasti kamu abis putus sama pacarmu ya?" "Eh— enggak kok. Aku gak punya pacar." "Bohong." Tukas Aria menggoda. "Suwer! Aku jomblo ya." Sahut Johana mengangkat jarinya membentuk peace seolah ia bersumpah bahwa apa yang ia katakan adalah hal benar. Aria menahan senyumnya, "iya deh iya." "Denger-denger minggu lusa ada acara gede di sini." "Acara apa, Pak?" Tanya Johana penasaran. "Entahlah, yang pasti ada kerjaan lembur untuk kita semua." Jawab Pak Misno dengan lesu. Lembur adalah hal yang paling melelahkan bagi seorang OB ataupun OG, karena mereka akan menjadi orang paling terakhir yang harus menyelesaikan tugasnya. Dimana semua orang sudah selesai dengan kegiatan mereka. OB dan OG justru baru memulai tugas mereka untuk bersih-bersih. Namun berbeda halnya dengan Johana. Ia sangat antusias jika ada lembur, karena ia akan mendapatkan gaji tambahan untuk hal tersebut. Bahkan jika ada pekerjaan berat apapun yang menghasilkan cukup banyak uang, Johana akan suka rela menerimanya. Sebab, saat ini fokus hidupnya adalah mendapatkan uang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD