Hati Tamara yang awalnya cemas, berubah menjadi senang dan bahagia. Pertama, dia patut bersyukur bahwa dirinya tidak perlu mengganti rugi jas CEO yang mungkin dikotorinya. Kedua, ternyata CEO itu adalah teman masa kecilnya. Ketiga, adalah puncak dari kebahagiaannya, mendapatkan pekerjaan yang diimpikan oleh hampir semua orang yaitu pekerjaan ringan dengan gaji yang luar bisa besar.
Tamara, tidak pernah berhenti tersenyum selepas dia keluar dari ruangan CEO. Tapi ada sedikit rasa ragu, bukankah pekerjaan yang terlihat biasa dengan gaji yang besar mungkin saja beresiko bagi nyawanya. Bagaimana jika Kenzo adalah cucu seorang mafia. Memikirkan itu Tamara sontak bergidik ngeri dan mengurungkan niatnya untuk terlibat dan bekerja dengan Kenzo.
Satu hal yang Tamara harus lakukan adalah kembali ke Bandung untuk berpikir sementara waktu, untung saja dia punya waktu seminggu untuk menerima tawaran itu ataupun tidak.
“Halo, Ris?”
“Halo iya Ra. Kenapa lo, udah beres?”
“Iya udah. Gue balik ke Bandung hari ini, niatnya ngambil tas pakaian di rumah lo dulu. Terus lanjut ke terminal.”
“Aduh, gimana ya Ra. Gue masih kerja nih. Gak bisa ditinggal. Lo tau kan kerjaan teller.”
“Iya Ris, gak masalah kok say. Gue pamit yah”
“Iya sist, sampai ketemu. Kok sedih sih, lo cuman sehari doang.”
“Iya sabar aja. Ada kemungkinan gue kerja di Jakarta.”
“Ah yang bener lo!?”
“Iya tapi masih gue pikirin. Minta restu abah dan ambu dulu.”
“Iya kabarin yah.”
“Iyaaa.”
Setelah menutup panggilannya, Tamara memilih transportasi ojol yang dianggapnya mampu menembus kemacetan ibukota. Rencananya setelah pamit ke orang tua Riris dia akan segera ke terminal mencari bus menuju Bandung kemudian ke kampung halamannya Ciwidey.
Tamara terlebih dahulu memberi pesan ke Abahnya untuk menjemputnya di terminal.
“Abah…,” sapa Tamara dan mencium punggung tangan, pria yang sangat disayanginya.
Perjalanan panjang dan melelahkan seolah lenyap setelah tiba di kampung halamannya.
“Ayuk. Motor abah disana,” ajak Abah Tamara menuju parkiran motor sembari menjinjing tas putrinya.
***
Keesokan paginya,
“Abah, Ambu, Teh Ara sudah tiba?” tanya Tomy adik Tamara sembari menyuap oncom ke dalam mulutnya hanya dengan sekali lahap.
“Iya semalam. Kamu udah tidur,” jawab Ambu.
“Abah, Tomy bisa atuh minta sesuatu,” Tomy memainkan kuku jarinya seolah takut untuk menyampaikan maksudnya.
“Apa?” tanya Abah sambil menyesap kopinya.
“Tomy pengen kuliah di ITB Abah. Di Bandung.”
“Tapi kuliah di Bandung mahal atuh Tomy,” Ambu yang menyahut.
“Ih ambu, Teh Ara kok bisa. Masa iya Tomy sok dilarang tea. Ambu sok ngabédakeun anakna,” keluh Tomy.
“Astaghfirullah kamu salah sangka. Teh Ara biasa hidup hemat dan gak banyak nuntut. Kalau kamu, pasti mintanya sekalian motor juga kan buat ke kampus. Uang Abah dan Ambu mana cukup atuh Tomy…,” balas Ambu tidak terima.
Tamara yang berjalan menuju ke dapur untuk mengambil air putih, terpaksa mendengarkan pembicaraan ketiganya.
“Kenapa sih Tomy pagi-pagi udah bikin heboh aja,” kali ini Tamara akhirnya nimbrung dalam pembicaraan.
“Teh, Tomy pengen kuliah di Bandung,” rengek Tomy ke Tamara.
Terbersit penawaran dari Kenzo semalam, pekerjaan dengan gaji besar bisa membantu adiknya Tomy untuk berkuliah. Kapanlagi dirinya bisa membuat orangtuanya bahagia dan tidak usah memikirkan kehidupan anak-anaknya.
“Abah, Ambu. Biar urusan si Tomy jadi urusan Ara. Ara ditawarin kerja di Jakarta. Gajinya juga gede. Ara pasti sanggup buat tanggungin kuliahnya Tomy, si barudak banyak mauna,” ungkap Tamara.
“Kerja apaan Teh?” tanya Abah.
“Abah, Ambu masih ingat Ijo gak?” tanya Tamara ke kedua orangtuanya.
“Ijo?” kompak keduanya mengernyitkan alisnya.
“Eh maksudnya Kenzo, tetangga kita waktu itu di Medan sebelum Abah bisa pindah tugas kesini.”
“Oh iya anak Ibu Marsella.”
“Iya. ternyata dia sekarang jadi orang kaya. Gedung kantornya tinggi. Nah dia nawarin Tamara jadi asisten pribadi dia. Masa iya Tamara ditawarin gaji 100 juta.”
Brrr…
Abah yang mendengar itu tidak sengaja menyemprotkan kopinya ke muka Tomy.
“Abaaaah, emang cuman sayang ke Teh Ara. Masa iya, Teh Ara yang ngomong, malahan Tomy yang disemprot sih,” protes Tomy tidak terima dan mengelap bekas kopi di wajahnya.
“Hahaha…maaf gak sengaja. Lagian kamu kan yang duduk di depan Abah,” alasan Abah.
“Terus…terus Teh,” cecar Ambu penasaran.
“Iya Ara minta waktu seminggu buat mikir.”
“Di Jakarta kamu tinggal dimana? Masa iya numpang di temen kamu Riris,” usut Abah lagi.
“Disana dikasih fasilitas rumah Bah,” jawab Tamara berbohong. Tidak mungkin dia harus memberitahukan orangtuanya dia akan tinggal bersama Kenzo.
“Lagian kalau Ara ngumpulin gaji setahun aja, udah bisa kali yah beli rumah gede di Jakarta dengan gaji segitu,” lanjut Tamara.
“Tapi biasanya gaji gede setara juga dengan tanggung jawab yang besar Teh,” ucap Abah bijak.
“Iya sih. Mungkin Ara minta gaji 10 juta aja kali yah Bah. Biar tugasnya duduk aja catet-catet apa gitu.”
“Itu aja masih gede bagi Abah.”
“Di Jakarta beda atuh Abah, standar gaji dengan di kampung kita. Disana biaya hidup tinggi.”
“Jadi, kamu ambil pekerjaan itu?” tanya Ambu semangat.
“Iya kayaknya jadi deh. Kasian liat Tomy. Biar jadi orang bener. Kerjaannya cuman nongkrong aja di parapatan godain cewek-cewek kalau dia gak kuliah.”
“Hehehe Teteh bisa aja, adeknya kan ganteng ya harus nyari yang geulis atuh Teh.”
Selepas pembicaraan itu, Tamara akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta dua hari kemudian. Sebenarnya dia tidak mau terlalu kelihatan bersemangat menerima pekerjaan ini, padahal siapapun pasti tidak akan menolak.
“Eh kok empingnya dikeluarin lagi?” tanya Ambu.
“Gak usah Ambu. Kenzo sekarang udah kaya, gak akan suka makan emping.”
“Eh tapi, kan malu udah dikasih pekerjaan. Kamu gak bawain oleh-oleh. Gak enak.”
“Ih Ambu mah. Dia sekarang beli pabrik emping juga bisa. Gak usah yah,” Tamara mengeluarkan kantongan emping dari dalam tasnya.
Ambu menghela napas, “Ya udah terserah kamu. Sampai disana kabarin yah. Salam buat nak Kenzo, dari calon mertua.”
“Ih Ambu apaan sih. Calon mertua apaan. Emang tahu Kenzo suka sama Ara.”
“Ya taulah. Dia sejak SMP sampai SMU udah suka kamu kan. Sedih banget waktu kita harus kembali kesini saat kalian lulus SMU.”
Tamara sebenarnya tahu perasaan Kenzo. Dahulu mereka berbeda karena paras Kenzo yang goodlooking, sekarang bertambah dengan perbedaan harta dan tahta, malah makin insecure-lah Tamara.
“Dia sekarang udah bisa dapet cewek yang cantik Ambu. Apalah Ara, gak cocok” jawab Tamara rendah diri sekaligus sadar diri.
“Iya sih. Masa iya mau sama kamu,” Ambu menambahkan.
“Ih Ambu malah jatuhin mental.”
“Ya emang gitu kenyataannya. Ya udah kamu beres-beres biar cepat berangkat ke Jakartanya. Takutnya kemaleman,” Ambu beranjak ke dapur buat menyiapkan makanan.
Tamara kembali memastikan pakaiannya dan barang bawaannya. Padahal pakaiannya tidak ada yang sesuai sebagai asisten pribadi seorang CEO, tentu saja setelah melihat hasil googling. Tamara merasa jauh dari kata layak. Sebaiknya gaji pertamanya harus disisihkan buat penampilannya kelak.
Drrt...drtt…
“Ih siapa sih nomor baru,” desis Tamara.
“Halo”
“Halo selamat pagi dengan nona Tamara?”
“Iya betul. Dengan siapa yah?”
“Maaf Tuan Muda Bietio ingin berbicara dengan anda.”
“Oh Ijo, iya udah mana.”
Tanpa terlihat oleh Tamara, Rico mengerutkan alisnya tidak terima panggilan Tamara ke atasannya tapi urung menegurnya karena Kenzo buru-buru mengambil alih panggilan itu.
“Tam…Tam!!!”
“Iya kenapa?”
“Kamu jadi gak sih ambil pekerjaan dari aku.”
“Iya jadi…”
“Ah beneran!!!”
“Iya.”
“Terus kapan dong kamu ke Jakartanya.”
“Iya ini udah ngepak-ngepak pakaian.”
“Oh ya udah. Aku jemput yah. Kamu naik pesawat?”
“Ya enggaklah duit darimana. Naik bus.”
“Oh gitu. Aku jemput di terminal kalau gitu. Kabarin yah.”
“Iya. Awas yah kalau gak jemput. Aku balik lagi kembali Ciwidey.”
“Gak dong. Kamu kan kesayangan aku.”
”Ih kesayangan apaan.”
“Sahabat rasa pacar kan hehehe…,” Kenzo terkekeh dibalik sambungan telepon
“Ogah. Udah ah, gangguin aja.”
“Ya udah Tam…Tam. Sampai ketemu yah.”
“Iya bye.”
Tamara tersenyum dan menggeleng geli setelah Kenzo menutup panggilannya. Semoga keputusannya ini tepat dan akan mengubah kehidupannya dan keluarganya.