Flashback on
“Sst…sst…sst…,” seorang bocah laki-laki bertampang bule berdiri di seberang rumah berpagar bambu.
“Ih apaan sih!” jawab bocah perempuan itu risih dan kembali asyik dengan mainannya.
“Hei, main mobilan yuk atau robot-robotan,” ajak bocah laki-laki itu lagi.
“Ih gak mau, aku tuh anak perempuan!!! Gak pantes main mobil-mobilan,” tolaknya dengan wajah cemberut.
“Ah beneran kamu cewek yah? Kirain cowok,” tatap bocah laki-laki itu tak percaya.
“Yah terus kenapa?” tantang bocah perempuan itu.
“Sori, galak amat sih. Eh aku baru pindah loh kemarin. Aku sendirian di rumah. Ibuku harus kerja di pabrik, sore baru baliknya,” curhat si bocah laki-laki, mendengar itu bocah perempuan terhenyak sesaat dan merasa kasihan.
“Ya udah kamu kesini deh. Main sama aku,” usul bocah perempuan itu.
Bocah laki-laki itu segera berlari dan menghampiri bocah perempuan itu dengan wajah bahagia.
“Hai kenalin nama aku Kenzo Alvaro, panggil aja Kenzo,” bocah bertampang bule itu mengulurkan tangannya.
“Aku Tamara Anjani, panggil aja Ara,” membalas uluran tangan bocah laki-laki itu.
“Salam kenal Tim-Tam seneng deh aku punya temen baru,” Kenzo tersenyum manis.
“Eh aku tadi ngomongnya Ara yah bukan Tim-Tam,” protes Tamara.
“Habisnya kamu manis kayak coklat.”
“Terserah kamu deh Ijo.”
“Bales nih, nama aku Kenzo loh.”
“Mata kamu kan ijo, cocok,” sanggah Tamara.
“Iya terserah deh.”
Pertemuan pertama Tamara dan Kenzo saat mereka berusia 7 tahun. Keduanya akhirnya bersekolah di sekolah SD yang sama. Ibu Kenzo yang selama ini berpindah-pindah pekerjaan diterima sebagai buruh tetap di pabrik plastik di Kota Medan.
Pagi-pagi sekali ibu Kenzo harus meninggalkan anaknya dan bekerja demi menghidupi keduanya. Sedih pasti dirasakan Kenzo tapi dia juga harus mengerti bahwa yang dilakukan ibunya demi kehidupan mereka. Ayahnya meninggal tanpa pernah wajahnya dilihat oleh Kenzo. Ayahnya meninggalkan ibunya dan dirinya yang masih berusia 9 bulan di dalam kandungan.
Orangtua Tamara yang kasihan dengan Kenzo, dengan sukarela menjaga Kenzo selama ibunya bekerja. Kenzo sangat akrab dengan keluarga mereka. Hanya saat ibu Kenzo pulang barulah dia meninggalkan rumah Tamara.
“Bu, Kenzo pijiitin yah?” ucap Kenzo yang melihat ibunya keletihan, memegang tengkuknya sepulang kerja di pabrik.
“Makasih yah nak.”
Ibu Kenzo berbaring di sebuah kasur tipis di dalam kamar. Rumah kontrakan yang sempit dengan sebuah kamar dinding tripleks, kamar mandi kecil dan juga dapur sederhana.
“Nak, maafin ibu yah sibuk bekerja. Gak bisa temenin kamu main.”
“Bu, gak usah ngomong gitu. Kenzo ngerti kok bu. Ibu lakuin demi kita berdua kan. Kenzo janji cepat gede, biar Kenzo yang bekerja, ibu istirahat di rumah aja.”
“Kamu terlalu kecil buat mikirin hal yang berat kayak gitu nak. Yang harus kamu lakuin hanya sekolah setinggi-tingginya. Banggain ibu, ibu hanya butuh itu.”
“Iya bu, Kenzo janji!” seru Kenzo.
Selepas pulang dari sekolah bersama Ambu dan Tamara membuat Kenzo sering numpang makan di rumah Tamara.
“Kamu numpang makan lagi disini yah?” sengit Tamara menatap tidak suka melihat Kenzo makan dengan lahap masakan Ambu.
“Ara, kok ngomong gitu sih neng. Gak sopan,” tegur Ambu dan mengelus bahu Kenzo yang terlihat menikmati masakan buatan Ambu. Dia mengangguk sebagai pertanda agak Kenzo tidak mempermasalahkan omongan Tamara dan tetap melanjutkan makannya.
“Habisnya dia tiap hari kesini Ambu, mana rese lagi sama Ara,” tambah Ara.
“Gak kok Ambu, habisnya Tim-Tam sering nyuekin Kenzo Ambu, kalo main sama temen lain. Yang lain natap Kenzo aneh, aku katanya kayak orang asing jadi ngejauhin aku,” keluh Kenzo.
Mungkin sebagian orang menatap aneh seorang bocah bertampang bule di sekitar mereka.
“Ya Allah kasian. Udah nambah lagi yah,” Ambu mengambil lauk untuk disendokkan ke piring Kenzo. Tentu saja diterima dengan suka cita oleh Kenzo.
“Ambu, aku bisa minta sedikit buat Ibu gak, ibu pasti suka makanan ini,” pinta Kenzo.
"Udah makan, bungkus lagi," ucap lirih Tamara yang tidak bisa didengar oleh Kenzo dan Ambu.
“Ih boleh atuh. Sok,” Ambu segera ke dapur mengambil sebuah kotak untuk mengisi makanan.
Tamara hanya memajukan bibirnya tidak suka melihat kedekatan Ambu dan Kenzo. Dia merasa keberadaan Kenzo membuat kasih sayang Ambu terbagi.
Bertahun-tahun kedekatan keduanya. Tamara dan Kenzo akhirnya lulus di sekolah dasar dan melanjutkan ke sekolah negeri pertama, lagi-lagi Kenzo memilih sekolah yang sama dengan Tamara. Tamara akhirnya mempunyai adik saat dirinya di kelas 5 SD tapi malahan Kenzo yang lebih merasa bahagia karena merasa bahwa dia mempunyai teman yang bisa diajak main.
“Tam-Tam, bareng yuk!” Kenzo menghampiri Tamara di pintu gerbang sekolah.
“Ijo, kamu jangan pulang bareng aku deh. Aku malu, kita dikatain pacaran. Masih SMP juga, pacar-pacaran,” keluh Tamara dan berjalan cepat meninggalkan Kenzo.
“Yah gak masalah, biar cowok-cowok gak jelas mundur buat deketin kamu,” Kenzo merangkul bahu Tamara dan berjalan bersama.
“Jadi kamu harepin aku jomblo seumur hidup yah!” Tamara menatap sinis ke Kenzo.
“Gaklah, kan ada aku. Aku yang akan jadi suami kamu,” goda Kenzo.
“Suami…suami, ini, kerjain PR aku!” perintah Tamara dan memberikan buku PR-nya ke Kenzo.
“Beres.”
Tamara dengan kepintaran standar, sebenarnya beruntung memiliki Kenzo yang mempunyai otak cemerlang. Selain jahil dan usil serta urakan, Kenzo pandai dalam pelajaran. Andaikan dibarengi harta, wajah tampan dan kepintaran Kenzo adalah paket lengkap.
Kenzo selalu meraih peringkat pertama demi mengejar beasiswa dari pemerintah untuk anak kurang mampu yang berprestasi. Kenzo lakukan agar bisa sedikit membantu ibunya yang banting tulang tanpa henti demi membayar kontrakan dan kebutuhan lainnya.
Perpisahan mereka saat di SMP, Kenzo menampilkan sebuah lagi di acara Pensi sekolahan. Ya, satu lagi. Kenzo jago bermain gitar dan sering mengiringi Tamara bernyanyi di depan rumahnya. Duduk berdua dan menikmati pemandangan lingkungan mereka.
“Baik kita panggilkan Kenzo Alvaro ke atas panggung!” ucap seorang mc teman sekelas mereka mempersilahkan Kenzo untuk tampil. Tamara yang berdiri di depan panggung, dengan semangat berdiri terdepan agar jelas melihat penampilan Kenzo.
“Aku akan nyanyikan sebuah lagu, untuk seorang spesial dalam hidupku. Semoga kalian suka. Friendzone oleh Budi Doremi,” ucap Kenzo.
Semuanya bersorak dan bertepuk tangan riang, penasaran dengan aksi Kenzo di atas panggung. Penampilan Kenzo dengan kemeja hitam dan celana jeans serta sepatu kets membuat semua cewek-cewek di sekolahnya terpana bahkan Tamara sekali pun.
Pandangan Kenzo yang sesekali melirik ke bawah panggung sembari menyanyi dengan penuh penghayatan, dia yang sesekali menatap Tamara membuat tatapan mereka bertemu. Tiba-tiba ada rasa berdebar yang dirasakan keduanya. Tamara seolah memahami bahwa lagu itu ditujukan untuknya. Mereka adalah sahabat sejak kecil, siapa lagi gadis sekaligus teman dekat Kenzo selain dia.
Kenzo seolah menolak untuk dekat dengan siapa pun. Dia hanya nyaman bersama Tamara. Sesekali hanya bergabung dengan teman cowok di sekolah mereka. Itu pun hanya karena takut dicap sombong.
Setelah hari itu, keduanya tidak bisa melihat hubungan mereka hanya sekedar persahabatan lagi. Keakraban akibat pertemanan mereka, berubah menjadi perasaan saling suka satu sama lain. Tapi tidak ada yang memulai duluan untuk mengungkapkan perasaan itu.
“Ijo, kok semakin tinggi jenjang sekolah, pelajaran jadi sulit gini sih,” keluh Tamara yang mengerjakan PR Matematika di rumah Tamara.
Keduanya beranjak di kelas satu SMU. Andaikan bukan dorongan dan bantuan Kenzo, bisa dipastikan Tamara tidak akan lolos untuk masuk di sekolah tersebut. Sekolah yang dipilih oleh keduanya adalah sekolah unggulan. Tetapi Kenzo yang bersikeras agar bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan Tamara sehingga membantu Tamara belajar dengan giat untuk masuk ke sekolah itu. Ternyata penderitaan Tamara belum berakhir, otaknya seakan dipaksa untuk memahami semua pelajaran.
“Sini, gue jelasin. Gampang banget,” Kenzo yang duduk di kursi akhirnya turun ke bawah, kemudian duduk di samping Tamara.
Kenzo yang sangat serius menjelaskan, membuat Tamara gagal fokus. Tamara hanya menikmati pemandangan wajah Kenzo yang semakin dewasa semakin tampan saja. Pantas saja Kenzo menjadi idola para cewek-cewek di sekolah mereka.
“Tim-Tam, lo denger gak sih?” Kenzo memastikan bahwa semua penjelasannya semoga bisa ditangkap oleh Tamara dengan otak yang sederhana itu.
“Ah iy-iya, gue denger,” jawab Tamara gelagapan.
Flashback off