Si Kecil yang Pemberani dan Pemalas

1325 Words
Di antara teman temannya, bocah ini adalah yang paling muda usianya. Tapi cara berpikirnya melebihi bocah seusianya. Teman temannya juga kebanyakan dari usia yang lebih tua darinya. Meski kecil ia tidak bisa dianggap remeh, kecil orangnya tapi mentalnya bukan kaleng kaleng. Selain pemberani, ia juga tidak mudah percaya dengan omongan orang. Paling sulit menerima informasi yang tidak ia lihat dengan mata dan kepala sendiri. Sifatnya yang paling jelek adalah rasa malas. Tidak hanya terkenal malas di kalangan teman sekampungnya, tapi dalam keluarga juga selalu saja berusaha menghindar jika di suruh mamaknya membantu jualan gorengan. Ada saja alasan untuk menolak perintah tersebut. Tapi jika ada sesuatu yang di inginkan, pasti ia sangat rajin meski tidak di minta. Itulah kelakukan bulus si Cecep. Adik kandung dari Didi yang sekelas dengan kakaknya. Cara berpikir dan mengambil keputusan juga sangat jauh beda dengan Didi. Ia lebih banyak perhituang untung rugi ketimbang kakaknya. Paling susah kalau di mintai tolong atau di suruh oleh teman temannya. Kecuali kalau disuruh sewa film p***o kegemarannya bersama Yuyung. Orang tuanya yang menjual gorengan jarang mendapat bantuan dari bocah satu ini ketimbang kakaknya yang sangat rajin. Cecep lebih memilih bermain dari pada harus membantu jualan emaknya. Usianya beda 2 tahunan dengan Didi. Tapi ia lebih dewasa dari kakaknya. Mungkin efek lingkungan dengan teman teman yang lebih tua makanya ia bisa cepat menyesuaikan. Nama sesungguhnya adalah Suratman. Asli keturunan Jawa sama dengan Didi kakaknya. Tinggi badannya paling pendek di antara teman temannya. Gerakannya yang lincah dan paling kecil menjadi alasan untuk di suruh suruh oleh teman temannya. Meski sebenarnya ia selalu menolaknya karena sifat pemalasnya. Cecep juga anaknya sportif jika memang ia salah selalu berani untuk mengakuinya. Begitu juga ketika ada yang salah ia berani menegurnya, bahkan jika tak sesuai dengan prinsipnya ia berani menolaknya. Saat duduk di sekolah menengah pertama (SMP) ia memilih sekolah yang sama dengan kakaknya si Didi, yaitu Sekolah Teknik (ST). Hanya jurusan yang ia pilih beda dengan kakaknya yang lebih menyukai teknik mesin. Ia lebih memilih jalur teknik elektro. Harapan kedua bocah ini jelas ingin bekerja mandiri saat sudah mencapai sekolah tertinggi nantinya. Kedua orang tua Cecep tak pernah memaksa anaknya untuk sekolah dimana. Mereka hanya mendukung dan membantu mengarahkan agar tidak salah nantinya. Mereka adalah orang tua yang sangat penyayang. Bercanda dalam keseharian di keluarga ini juga sangatlah alami tanpa di buat buat. Sungai di belakang rumah adalah mainan keseharian Cecep bersama teman temannya. Berenang, lempar bola di air, leduman, tepongan, batu bettor dan jenis mainan bahari yang kini sudah hilang di makan zaman. Di depan rumahnya juga jadi arena bermain kasti dan bulu tangkis level tarkam. Sepulang sekolah Cecep langsung bermain dengan dunianya. Ia kebalikan dari Didi yang pulang sekolah membantu emaknya berjualan, atau minimal membantu di rumah. Apalagi jika ada hari libur, sudah pasti ia tidak ada di rumah seharian. Ngelayap entah kemana. **************** Beberapa tahun kemudian saat ia mulai memasuki dunia kerja. Cecep menjadi karyawan sementara di sebuah toko elektronik. Sesuai dengan skill yang ia pelajari di sekolah dengan jurusan teknik elektro membuat ia harus belajar lagi untuk mengimplementasikan ilmunya ke dunia kerja yang sebenarnya. Ia duduk di meja reparasi khusus barang barang elektronik yang rusak. Posisi yang ia dapat sebenarnya adalah sebagai teknisi di toko itu, namun karena prinsip kerja di toko itu oleh ownernya semua harus merangkap jabatan. Tidak hanya pintar dengan kerjaan utamanya tapi juga harus bisa dengan pekerjaan lainnya. Cecep tidak hanya memperbaiki elektronik yang rusak tapi ia juga di tuntut untuk bisa jualan barang di toko. Meski tidak ada target dari pemiliknya. Ia terpaksa menjalankan profesi tersebut. Saat ia sedang focus memperbaiki barang di tempat ia bekerja, saat itulah di mulainya terror menghantui seorang Cecep. Mulanya adalah alat alat perkakasnya yang tiba tiba bergerak sendiri. Ia pikir itu hanya halusinasinya. Tidak hanya sekali tapi lebih dari itu. Sementara yang melihat kejadian itu hanya dia sendiri. Padahal di sampingnya ada 2 orang temannya yang sama kerjanya sebagai teknisi. Ia pikir saat itu mungkin sedang kelelahan karena semalam begadang tak tidur menonton siaran bola. Sehingga muncul halusinasi yang tidak tidak. Cecep lalu meninggalkan tempat kerjaannya untuk sesaat. Ia pergi keluar untuk mulai menyulut rokoknya. Di tengkukny sedari tadi sudah mulai meremang meski ia sudah berpindah tempat. Perasaan Cecep semakin tak nyaman di buatnya. Merokokpun ia dibuat gelisah. Asap yang keluar dari mulut terasa begitu pahit tidak seperti biasanya. Tangannya juga turut bergetar memegang sebatang rokok itu. Padahal ia tidak punya penyakit berat seperti darah tinggi, diabetes atau stroke. Di luar juga ia sering berolah raga. Terakhir cek kesehatan beberapa minggu lalu, semua hasilnya normal. Jadi rasanya tak mungkin ia sedang sakit. Belum habis rokok tersebut langsung ia buang. Perasaannya semakin tak nyaman. Ia kembali tempat ia bekerja. Tapi ketika tiba di tempat tadi, ia tidak menemukan satu orang pun disana. Kedua temannya sudah tidak berada di tempat. Di meja mereka juga tampak rapi, begitu juga dengan mejanya. Bersih tanpa tersisa, padahal ia tadi tak merasa membereskan perlengkapan kerjaannya karena ia hanya keluar sebentar untuk mencari angin segar. Cecep mengedarkan netranya ke sekeliling ruangan. Semua tampak bersih. Apa mungkin teman teman kerjaku yang beresin ya? Tapi tumben mereka mau, biasanya juga semuanya di biarkan tergeletak. Cecep berusaha memikir keras apa yang terjadi di ruangan kerjanya. Sementara di ruangan juga tidak ada teman kerjanya. Sementara di tengkuk lehernya mulai terasa panas. Sekujur tubuh rasanya tidak karuan. Merinding sebadanan. Hawa di sekitarnya juga terasa panas padahal di ruangan itu AC tidak mati dan baru 2 hari yang lalu di servis rutin oleh teknisinya. Cecep masih positif thinking dan ia kembali ingin melanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi. Ia rebahkan ekornya di sebuat kursi yang usang, yang biasa menjadi tempat ia bekerja seharian. Sebuah televisi berbentuk tabung yang sudah semingguan mengkrak di meja kerjanya. Semua tampak biasa, namun ketika ia mendapati di atas meja itu ada suatu benda yang tak begitu asing, matanya langsung terbelalak. Tubuhnya agak termundur setelah melihatnya. Degupan jantungnya langsung berpacu dengan begitu cepat. Ia seakan tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya. Sudah lama ia tak melihat barang itu karena seingatnya telah ia buang ke sungai di belakang rumahnya sewaktu ia masih sekolah di STM. Lalu kenapa barang itu bisa ada di situ? Cecep lalu menoleh ke sekeliling ruangannya tapi tidak menemukan siapapun selain dirinya. Ia mengira ini adalah bagian prank dari teman teman sekantornya. Tetapi ia baru ingat jika selama ini tidak ada yang tahu tentang barang itu selain teman masa kecilnya dulu. Ia memberanikan diri untuk menyentuh barang tersebut. Perlahan lahan ia coba memegangnya. Begitu ia sentuh dengan kedua jarinya, seketika itu barang tersebut terlontar dari tangannya. Benda itu rupanya terasa panas ketika di pegang olehnya. Sontak ia pun terkejut karena tak mengira jika panas demikian. Makanya jadi terpental dari tangannya. Alhasil di kedua jarinya mengalami lecet yang cukup nyeri. Hah, kenapa jadi panas begitu barangnya? Apa ada yang iseng ya dengan barang itu? Jika teman kantor rasanya tak mungkin tahu tentang barang itu? Cecep masih terus berpikir keras, perasaannya ini ada yang sedang ngerjain dirinya. Tapi nyatanya di ruangan itu tetap nihil, tidak ada satupun manusianya. Jika teman teman kecilnya juga rasanya tak mungkin karena mereka sudah lama terpisah dengan kehidupan masing masing. Untuk masuk ke ruangan ini juga tidak bisa sembarang orang yang boleh masuk. Dia masih penasaran dengan benda tadi, tapi sekarang posisinya entah ada dimana karena reflex tadi ia tak sengaja melepas dari pegangannya. Ia lalu mencari dimana posisi barang itu sekarang. Netranya di arahkan ke bawah, ke kiri lalu ke kanan, dan terus begitu berulang ulang. Ia tak juga menemukannya. Benda itu tidak begitu kecil dan masih bisa terlihat dari jarak yang tak harus dekat. Sudah cukup lama ia mencari cari benda tersebut di setiap sudut ruangan itu. Begitu juga di antara barang barang yang ada sudah ia geledah sedemikian rupa tapi hasilnya juga nihil. Hingga ia nyaris frustasi, lalu duduk di kursinya tadi di depan meja kerjanya. Ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya untuk sesaat. Berharap ini semua hanya halusinasi saja. Bukan kejadian sebenarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD