"Sekarang?!" Hartono bertanya dan setengah terkejut.
Ia yang semula akan leha-leha, duduk di ambangn pintu, sembari menyapa siapa saja yang lewat asal ia kenal, seketika kebingungan. Kopi yang masih panas, baru ia seruput sekali dan itu pun terasa hanya setetes. Tergesa Hartono berdiri sembari memegang gelas kopinya.
"Bapak belum siap?"
Suara Juan terdengar khawatir.
"Bapak sudah bangun dari subuh tadi," jelas Hartono, berharap itu bisa sedikit menenangkan putranya yang pernah tersakiti. "Bapak juga sudah siapkan bajunya. Tapi, Bapak kira, Bapak ke sana siang nanti atau bahkan baru besoknya."
"Bapak tidak minum?"
"Tidak. Dari setelah ketemu kamu, Bapak tidak minum setetes pun."
Hartono tersenyum tipis setelah mendengar deru napas halus yang menandakan kalau Juan merasa lega. Ia dan Juan adalah pesakitan. Menanggung derita atas seseorang yang tidak tahu diri. Kematian istrinya, membuat Hartono dan Juan menjadi dekat meski dengan cara aneh.
Hartono kemudian memilih mengurus putranya tanpa ikut campur dalam kehidupan Juan. Sebagai orang tua, Hartono menjalani kewajibannya dengan memastikan biaya sekolah Juan tidak terkandala. Perut Juan tidak sampai kelaparan. Dan Juan dipastikan masih ada tempat untuk tinggal dengan Hartono tetap membayar biaya rumah kontrakan.
Namun, bagaimana kemudian Juan menjalani hari-harinya, Hartono tutup mata. Juga ketika perlahan tapi pasti Juan mendapati kemakmurannya, Hartono pun tutup mata, tutup telinga. Hartono tidak akan menganggu.
Yang terpenting bagi Hartono, dia masih memiliki seseorang dalam hidupnya.
Juan tak pernah sekali pun mengabaikannya meskipun Hartono pernah menghajar putranya sampai babak belur. Juan bahkan dengan setia mengurusnya ketika Hartono sedang dalam masalah dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Juan tidak punya dendam untuknya.
Dendam Juan adalah dendam Hartono. Julia. Anak perempuan yang memiliki ramalan paling sempurna. Yang membuat Hartono buta sekaligus berharap setinggi langit. Tersisa satu ramalan yang Hartono kemudian merasakan kebenarannya.
"Pak...! Bapak...?" Suara Juan tertahan saat memanggil ayahnya.
"Apa?" jawab Hartono sedikit ketus karena malu. Meskipun Juan tak bisa melihat, tetapi Hartono yakin kalau Juan tahu dirinya melamun.
"Bisa berangkat sekarang juga, 'kan?"
"Bisa. Saya menemui siapa di sana?"
"Ibu Soraya Pamungkas. Bilang sama satpam kalau Bapak adalah calon sopir baru untuk Ibu Soraya Pamungkas."
"Kamu di sana?"
"Sebelumnya saya sudah terlanjur janji, mengantar Saskia kerja. Tapi saya akan lihat situasinya. Saya akan lihat bagaimana Kak Julia."
"Julia belum kerja? Dia bagaimana setelah tahu saya akan jadi sopir?" Hartono merapatkan ponselnya ke telinga. Penasaran akan jawaban Juan.
"Dia belum tahu kalau itu Bapak. Ini akan jadi kejutan baginya. Ya, sudah, ya Pak. Bapak harus bilang kalau sudah ke restoran. Lain-lainnya Bapak sudah paham?"
"Hmm, ya."
Di tempatnya, wajah Juan tersenyum senang. Apa yang tersusun sebagai rencana, berjalan baik bahkan mulus. Ayahnya mengikuti arahannya. Juan menutup teleponnya dan kembali menuju ke ruang makan. Memastikan keadaan kakak tercinta masih baik-baik saja.
Sementara Juna masih menelepon di ruangan terpisah, di meja makan telah terjadi ketegangan,
Julia masih berupaya menggagalkan Juan untuk mendatangkan sopir baru bagi ibu mertuanya. Julia sangat yakin, si sopir adalah seorang yang akan menjadi mata dan telinga bagi Juan. Julia juga yakin jika Juan pasti mendatang orang terbaik yang loyalitasnya pada Juan sudah teruji. Julia pesimis bisa memengaruhi si sopir. Karenanya Julia harus menggagalkan rencana menggunakan sopir yang Jua rekomendasikan.
"Kita ini kan baru kenal sama Juan. Kok, peracaya aja sama orang yang dibawa Juan?" protes Julia setelah Juan menjauh dari ruang makan.
"Kamu kok meremehkan Juan?" sengit Saskia.
"Memang kenyataannya begitu, 'kan? Yang kenal sama Juan kan hanya kamu. Namanya orang jatuh cinta, apa-apa bisa terlihat baik, Dear."
"Ha'! Berarti kamu sedang jatuh cinta sama Onel, sampai-sampai kamu buta sama kelakuannya," cetus sengit Saskia.
Hati Julia bagai kena tinju. Ia sempat gamang karena terkejut. Syak wasangka memenuhi dadanya akan kemungkinan. Bertanya-tanya sendiri apakah Saskia tahu sesuatu tentang dirinya ataukah Saskia hanya melontarkan kata-kata saja?
"Ma...maksud kamu apa?" tanya Saskia berusaha agar nadanya normal. Padahal perasaannya gamang. Rasa penasarannya mengalahkan kekhawatirannya. Ia perlu tahu dan harus pasti jelasnya.
"Saya masih gak ngerti bagaimana kamu bisa menjadikan Onel sebagai tunangan saya? Jelas dia pemalas, kerjanya cuma ke sana kemari gak jelas. Wanitanya juga banyak. Dalam keluarganya saja dia diremehkan. Hal begini saja, kamu tidak tahu atau sudah tahu tapi buta?"
Kelegaan menyusup di hati Julia. Senyum kelegaan berusaha ia tahan. Saskia terbukti tidak tahu apa-apa. Gadis itu membicarakan yang lain.
"Kamu kan hanya tahu dari katanya. Cobalah kamu dekat dengan Onel. Jangan terlalu banyak prasangka."
"Lupa? Siapa yang mulai berprasangka duluan?" sindir Saskia.
"Sudah, Saskia. Julia, Mama mau lihat dulu sopirnya bagaimana. Kalau Mama merasa cocok, kita coba dulu." Soraya mencoba menengahi.
"Tapi, Ma. Bagaimana kalau sopir ini bukan orang baik. Kita kan harus hati-hati." Julia ngotot. Ia merasa posisinya tidak beruntung karena ibu mertuanya justru terlihat memihak ke Juan dan Saskia.
"Kak Julia bisa melihat orangnya nanti."
Semua langsung menoleh ke arah Juan yang masuk lagi ke ruang makan dengan wajah tenang menatap Julia.
"Orangnya sebentar lagi datang. Dia soalnya sudah ada di restoran. Dari restoran ke sini, tidak sampai satu jam, kok." Juan tersenyum sangat manis pada Julia sebelum kemudian duduk.
"Juan benar. Kamu temani Mama untuk seleksi. Kamu lihat langsung orangnya dulu." Anggara melihat jam tangannya. "Saya ke kantor dulu. Ada meeting jam sepuluh. Kamu ke kantos, Sas?"
Sesaat Saskia menimbang. "Nanti dulu. Saya juga mau lihat sopirnya. Lagian Juan mau antar saya ke kantor."
Tadi nolak, batin Juan menaha geli akan keputusan plin-plan Saskia. Tapi, Juan memahami jika Saskia begitu karena dipicu Julia.
"Oke. Ma, nanti kalau sopirnya tidak cocok, beri tahu saya. Biar nanti sopir, saya suruh pulang."
Soraya menolak dan mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. Tapi Anggara bersiteguh untuk memberikan sopirnya untuk Soraya, kalau-kalau sopir yang dibawa Juan tidak cocok.
Semua kemudian berpindah ke ruang tamu yang luas. Terlihat lega karena paduan warna putih, krem, dan cokelat, yang dipadu secara pas. Putih paling dominan, yang saat matahari masuk, membiaskan cahaya lega untuk di beberapa sudut. Semakin terasa luas karena sofa-sofa panjang yang tebal, ditemani bantal duduk panjang, yang pas untuk sandaran punggung.
Furnitur lainnya didominasi dengan kayu, begitu juga meja tamunya yang berbahan kayu pilihan dengan warna pucat. Di bagian tengah terdapat vas bunga dari keramik Cina. Terdapat tiga tangkai bunga Dahlia yang masih segar.
Juan dan Soraya duduk bersisian dan saling berhadapan. Keduanya membicarakan hal-hal umum. Soraya terlihat sangat senang. Selain Saskia yang notabene anak, Juan adalah orang kedua yang membuatnya tertawa.
Saskia yang duduk di kursi lain, tak peduli kelihat kedekatan ibunya dan Juan. Ia memilih menyalakan laptop dan mulai bekerja seadanya sembari menunggu calon sopir baru datang. Sesekali saja ia menimpali jika pembicaraan mulai mengarah pada dirinya.
Pagi yang hangat. Setidaknya begitu yang dirasakan ketiganya. Tidak berlaku dengan Julia.
Ia terus menatap tajam ke arah kedekatan Juan dengan Soraya. Pikirannya kacau akan praduga. Akan seperti apa lelaki yang akan menjadi mata-mata Juan.
Seorang satpam mengetuk pintu, menginformasikan siapa yang datang.
Debar jantung Julia semakin terpacu kuat. Perasaan takut tanpa sebab, menyusup menguasai diri Julia. Dirinya seolah mendengar sirine yang mendengung di telinga.
"Suruh masuk aja," ujar Soraya.
SI satpam mengangguk dan kembali keluar.
Napas Julia berhenti. Kakinya menuntut tubuh Julia untuk berlari. Untuk bersembunyi.
Setelah si satpam keluar, tak lama, Hartono masuk.
***