Slamet Pamitan

1591 Words
Sembari menemani Saskia sarapan, pikiran Juan ke mana-mana. Ia penasaran akan bagaimana sakitnya ayah Saskia yag tiba-tiba dan pernikahan Julia yang terburu-buru dengan si sulung dari Pamungkas. Pasti ada kaitannya. Sikap Julia merujuk pada suatu perbuatan yang tak terduga. Julia terlalu perhatian dan terlalu over protektif terhadap Pamungkas. Sampai-sampai obatnya hanya Julia yang simpan. Itu terlalu berlebihan. Tidak masuk di akal. Sangat ingin Juan bertanya pada Saskia, kenapa begini, kenapa begitu, tetapi Juan menahan diri. Saskia sudah menuduhnya memiliki hubungan dengan Julia. Tuduhan yang setengahnya benar dan setengahnya salah. Ia memang punya hubungan dengan Julia, namun bukan percintaan seperti yang Saskia perkirakan. Juan memilih sabar dan hati-hati dalam mengorek informasi. Jika ia terburu-buru, kesan yang timbul bisa negatif lagi. Kalem aja dulu. Kan ada Bapak. Nanti biar Bapak yang mencari tahu, simpul Juan. "Saya sudah selesai." Juan tersenyum senang. Tak ada yang tersisa. Kuah sotonya pun habis, begitu juga minuman jeruk hangatnya. Benar-benar wanita idaman. Eh.... Juan menghapus senyumnya dan menjadi kaku. Melirik Saskia yang menatapnya tajam, seperti tidak menyukai sesuatu dan akan melontarkannya menjadi kata-kata pedas. Juan jadi khawatir jika apa yang dipikirkannya menjadi butiran partikel paling kecil yang kemudian terbawa angin dan menempel di kepala Saskia. Bisa malu tujuh kwadrat kalau Saskia bisa membaca pikirannya. "Saya menghabiskan semua karena saya tidak suka ada makanan sisa. Bukan karena masakanmu dan minuman hangat yang kamu buat itu enak." Saskia langsung turun dari kursinya dan melenggang menuju sofa untuk mengambil tas kerjanya berikut tas jinjing laptopnya. Sedangkan Juan, langsung bernapas lega. Senyum gelinya terulir lagi di wajahnya. Ia pun mengikuti Saskia yang sudah menuju ke lift. "Saya antar kamu ke kantor, ya," tawar Juan setelah masuk ke dalam lift. "Gak usah. Nanti hutang budi saya numpuk kayak gunung Makalu." "Hahaha.... Gak perlu perhitungan seperti itu juga, 'kan? Dibawa santai saja. Lagi pula, kita kan sepasang kekasih. Akan aneh kalau saya sampai pagi-pagi datang ke sini, memasakkan makanan, tapi tidak bisa mengantarmu kerja. Apa kamu mau sandiwara kita kebongkar oleh Julia yang jeli itu." Saskia langsung menoleh dengan sengit. "Kok, kamu bisa sebegitu memahami Julia?" Kembali nada curiga dilontarkan Saskia. "Apa kamu pikir saya ini bodoh? Tidak bisa menilai orang, begitu? Dari caramu bercerita tentang Julia dan pertemuan saya dengannya, saya sudah bisa menilai dia itu seperti apa. Gak perlu kamu curiga seperti itu. Saya bukan orang bodoh dan saya tidak buta." Bunyi denting pintu lift yang terbuka, menahan perdebatan yang baru dimulai. Banyak pasang mata yang akan melihat dan banyak pasang telinga yang akan dengan semangat mendengar jika keduanya berdebat. Lift berhenti di dekat ruang makan. Juan dan Saskia menuju ruang makan karena Soraya dan lainya masih di sana. Ada lagi seorang pria yang berdiri di dekat Soraya. Badannya membungkuk dengan kepala tertunduk dan sesekali mengangguk-angguk. Saskia berjalan bergegas menghampiri ibunya, memeluk dan mencium pipi ibunya yang masih duduk. "Pagi, Ma. Pak Slamet, kenapa? Ada masalah?" tanya Saskia langsung. "Pak Slamet akan mengundurkan diri, Sas," jawab Soraya mewakili Slamet. "Kok, buru-buru. Ada apa?" "Maaf, Mbak. Ada masalah keluarga dan ada hal lainnya yang tidak bisa saya sampaikan karena memalukan." Juan yang sudah mendekati Saskia, dengan lembut memegang pundak gadis itu, menuntunnya untuk duduk di sebelah Soraya. Megajarkan kepribadian pada gadis itu, untuk duduk saat berbicara. Soraya tersenyum dikulum melihat putrinya yang menurut, meskipun Saskia setengah hati menurut. Wajah putrinya masam dan Juan tak menanggapi dengan tetap bersikap manis. Soraya semakin suka pada Juan. Lelaki yang tenang menghadapi singa betina, adalah lelaki yang tangguh juga bisa diandalkan. Itu sangat dibutuhkan oleh putrinya. Berbeda dengan Soraya, Julia justru melayangkan tatapan muak bercampur jijik akan ulah adiknya. Juan sudah dipastikan sedang membangun kepercayaan Saskia dan ibu mertuanya. Menampilkan sisi terbaiknya agar diterima di keluarga ini. Sekaligus akan menjadi bencana bagi kehidupan Julia selanjutnya. "Ya, tapi kan gak bisa buru-buru begini. Mama saya nanti bagaimana kalau ke mana-mana," protes Saskia. "Apa pakai sopir saya dulu?" tawar Anggara. Bodoh! Sok perhatian! umpat Julia dalam hati. Angara dengan Soraya dan Saskia hubungannya adalah tiri. Tetapi, karena sikap Soraya yang begitu lembut dan tenang, membuat Anggara tak bisa membenci wanita tersebut. Apalagi kehadiran Soraya bukan sedang merebut posisi ibunya, melainkan menggantikan posisi ibunya yang meninggal. "Kamu nanti bagaimana, Sayang? Kamu kan setiap harinya harus keluar ke sana ke sini untuk melakukan hal terkait bisnis, kalau gak ada sopir, kamunya pasti kecapekan di jalan. Kalau ada sopir, kamu di dalam mobil kan bisa ambil waktu sebentar untuk santai. Kesehatanmu kan juga kurang bagus, 'kan?" Wajah Julia terlihat khawatir. Ia bahkan meremas jemari suaminya, mempertontonlan pada semua bahwa ia benar-benar keberatan dan tak ingin suaminya kerepotan. Sikap yang sangat romantis. Kekhawatiran yang nyata. Rasa jijik dan muak terlukis di wajah Juan dan Saskia. Keduanya sangat tahu jika Julia berpura-pura khawatir. Keduanya juga lebih tahu jika Julia sebenarnya tak peduli pada lainnya, juga pada Anggara. Yang dilakukan Julia hanya agar Soraya tidak mengangganggu kehidupannya. "Kalau ada meeting atau kunjungan di luar kan saya sama tim. Biar salah satunya menjadi sopir saya." Anggara yang lugu dan tidak paham situasi, mencoba menenangkan istrinya. Hal yang dilakukan Julia seperti inilah yang membuatnya semakin mencintai Julia. "Ya, kan, gak gitu juga, Sayang. Kamu itu mengurusi perusahaan besar. Bebanmu banyak. Kalau kamu sakit, nanti bagaimana?" "Saya aja, Ma yang jadi sopir Mama." Saskia berujar dengan sangat ketus. Kedua bola matanya terarah pada Julia. "Kalau cuma bawa mobil seputaran Jakarta saja, gak akan bikin orang mati." Suasana di ruang makan berubah tegang. Julia dan Saskia saling pandang dengan level ketidaksukaan yang sama. "Sudah, Sas." Soraya memahami perasaan putrinya yang marah. Ia juga bisa merasakan ketidaksukaan Julia yang menatap tegas ke arah Saskia. "Orang, kok terlalu berlebihan. Kak Anggara sendiri juga gak keberatan. Kok, kamu yang repot ngalangin." Saskia semakin ketus menyampaikan kemarahannya. "Saya mungkin egois. Tapi, saya mikirkan kesehatan suami saya. Makanya..., cepatlah menikah dengan Onel, agar kamu merasakan bagaimana kekhawatiran suamimu jika ia bekerja," jawab Julia. "Apa hubungannya menikah sama Onel? Kok, jadi merembet ke mana-mana? Lagi gak jelas atau lagi gila, kamu?" "Sas!" Anggara membentak adik tirinya yang dirasanya sudah berlebihan. "Jaga bicaramu. Julia ini juga adalah kakakmu." "Sudah, sudah, Mama juga tidak ke mana-mana. Mama tidak butuh sopir baru, kok." Soraya mencoba menenangkan situasi. Slamet terlihat semakin membungkuk dan ekspresi wajahnya semakin kusut. Ia merasa menyesal menyampaikan dengan buru-buru. Harusnya menunggu majikan-majikan mudanya berangkat bekerja. Saskia yang tidak terima dibentak Anggara dan membuatnya pada posisi salah, sudah akan melanjutkan perangnya andai jemarinya tidak diremas lembut Juan. Saskia memutar tubuhnya dan menoleh cepat dengan angkara. "Apa?" bentak Saskia. "Quokka Sayang, sudah." Juan menyentil hidung Saskia, membuat gadis itu terperangah. "Masalah sopir buat Tante, biar saya yang bantu. Kan, Tante Soraya nantinya juga akan jadi Mama saya. Ya, 'kan, Tan?" Juan memiringkan tubuhnya agar bisa menatap Soraya yang posisinya terlindungi tubuh Saskia. Soraya terenyum dengan kelegaan. Ia mengangguk senang. Yang penting putrinya tidak menyambar lagi seperti api. Julia kini ganti berada pada posisi terburuknya. Ia seketika muak pada cara menjilat adiknya. Bola sudah bergulir padanya. Pilihan bagi Julia adalah menghindari bola atau berusaha agar bisa melakukan umpan balik yang fatal. "Apaan, sih! Lagi begini, malah genit. Bisa baca situasi gak?" bentak Saskia gusar. "Genit sama kekasih sendiri kan gak masalah." Juan menowel pipi Saskia. Sebelum Saskia menyembur lagi, Juan langsung bicara pada Soraya. "Tante, mau pakai sopir saya saja?" "Kamu punya sopir?" Saskia keheranan. Selama ini ia tak melihat Juan diantar sopir. Bahkan saat makan malam, Juan datang sendiri tanpa sopir. "Aduh, jangan Juan. Malah repotin kamu. Nanti kamunya juga butuh buat antar ke mana-mana," tolak halus Soraya. "Saya gak pa-pa, Tante. Lagi pula saya lebih senang bawa mobil sendiri tanpa sopir." "Kalau kamu punya sopir, kenapa sekarang kamu sendirian?" tanya Saskia. "Kan tadi sudah dijawab. Saya lebih nyaman bawa mobil sendiri." "Trus kok puya sopir?" "Dia dititipkan oleh seorang sahabat di kedutaan. Sahabat saya sudah dipindah tugaskan, jadi dia menitipkan sopirnya pada saya." "Sopir dubes? Rapi biasanya bawa mobilnya. Apa gak pa-pa untuk Mama?" tanya Anggara yang mulai melupakan kekesalannya pada Saskia. "Gak pa-pa. Dia juga selama ini tugasnya malah jadi bersih-bersih rumah." "Usianya berapa?" "Mmm...." Juan menoleh pada Pak Slamet, seolah sedang mengira-mengira. "Kurang lebih sama dengan Bapak ini." "Gimana, Ma?" tanya Anggara. "Mau, Ma?" "Tapi, benar kamu gak pa-pa?" tanya Soraya. "Saya tidak apa-apa, Tante." Soraya tersenyum lebar dan mengangguk. Kelegaan juga tersirat di wajah Anggara. Setidaknya pertikaian istri dan adik tirinya selesai. Slamet lebih-lebih leganya. Karena merasa sudah selesai, Slamet berpamitan. Soraya melarang Slamet langsung pulang. Dimintanya Slamet menunggu dulu. Soraya berniat memberikan Slamet pesangon. Slamet menangguk, mengucapkan terima kasih, dan berlalu dari ruang makan. Julia yang justru berubah gusar. Juan membawa masuk orangnya ke dalam rumah. Seseorang yang bisa memantau dari pagi sampai malam. Seseorang yang akan selalu bersama dengan ibu mertuanya. Seseorang yang akan memberikan informasi pada Juan secara berkala. Ini tidak bisa. Julia tidak bisa membiarkan antek Juan menguasai rumah ini. Menjadi mata-mata bagi Juan. "Ya, udah. Bawa saja ke sini Juan. Langsung kerja aja," ucap antusias Anggara. "Tunggu. Kita kan musti lihat dia bagaimana?" cegah Julia sembari menatap Juan yang justru membalas tatapan Julia dengan ejekan samar. "Kan Juan sudah bilang kalau dia mantan sopir dubes. Jua pasti pernah pakai. Gimana Juan bawa mobilnya?" taya Anggara. "Sangat baik, Kak. Bahkan beliau bisa diminta mengerjakan lainnya selain sebagai sopir tanpa perlu menambah hgajinya." "Nah, ya udah. Kamu telpon dia saja suruh ke sini sekarang. Apa gak pa-pa?" "Saya telpon sekarang." Juan bergegas berdiri sebelum Julia bicara. Dia tak peduli Julia akan berdebat bagaimana, yang Juan yakin, Anggara pasti tidak mau ribet perihal ibu tirinya yang tidak punya sopir. Demi kebaikan semua, lebih baik menerima tawaran sopir dari Juan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD