Jadi Sopir

731 Words
Tubuh Julia menegang, kaku. Sesuatu seolah menekan tubuhnya sangat kuat hingga ia tidak bisa bergerak juga seketika napas tertahan. Seseorang yang seolah berjalan lambat, dengan senyum ramah meneduhkan, muncul dari luar. Sosok yang sudah begitu lama dilupakan bahkan memimpikannya pun, tidak. Hati dan pikirannya sudah ia putuskan dari masa lalu. Bahkan sejak ia memasuki bandara dan berpisah dengan keluarganya, di benak Julia yang ada hanyalah masa kini dan masa depan. Semuanya sudah ia buang menjadi masa lalu. Tak disangka, Masa lalu yang ia kira sudah ia buang sangat jauh, berdatangan. Mengetuk kenyamanannya. Menganggu ketenangannya. Merusak semua jalan cerita yang sudah ia susun. Sejak kemunculan Juan, Julia tak bisa berpikir tenang. Banyak yang hilang sejak keberangkatannya ke luar negeri untuk sekolah dan yang hilang itu belum sempat ia cari tahu. Belum juga ia tanyakan ke Juan perihal orang tuanya, kini sang ayah justru muncul dengan wajah bahagianya. Tentu Hartono tersenyum sumringah. Ia sempat menatap putrinya untuk sepersekian detik. Waktu yang sangat singkat namun sangat memuaskan bagi Hartono. Ia sempat melihat wajah putrinya yang sudah sangat lama ia tak melihatnya. Meski begitu, tak pernah secuil pun dari bagian fisik Julia yang ia lupakan. Sengaja Hartono datang dengan menggunakan kemeja kotak-kotak warna merah cabai dengan garis kotak warna hitam. Pakaian yang sangat norak dan tidak sesuai dengan Hartono. Tapi, saat itu Hartono sangat bahagia menerimanya karena itu pertama kalinya Julia memberikannya hadiah. Kini Hartono mengenakannya di hadapan Julia, agar putrinya bisa menilai sendiri bagaiman kejinya ia pada orang tua sendiri dengan memberikan hadiah yang begitu memalukan. Hadiah yang sepertinya hanya asal comot dari kotak baju diskonan di mal-mal sederhana. Wajah Hartono yang cerah menular pada yang lain, Saskia dan Soraya ikut tersenyum. Keduanya mengira Hartono pastilah sangat antusias untuk menjadi sopir di keluarga mereka. Keduanya juga menganggap Hartono adalah seorang baik yang ramah. Saskia dan Soraya langsung menyukai sosok Hartono. Juan sendiri juga memiliki senyum paling lebar. Walaupun posisinya membelakangi Julia, tetapi dia bisa menduga ekspresi Julia. Terlebih tadi Juan menangkap tatapan ayahnya yang sekilas tertuju pada Julia. Juan yakin, sofa yang diduduki pastilah berduri tajam. "Selamat pagi," sapa salam Hartono dengan suaranya yang berat tetapi lembut. "Pagi, Pak Hartono." Juan segera menghampiri Hartono dan membimbing lelaki itu agar lebiih dekat dengan Soraya dan Saskia yang sudah berdiri. "Pak Hartono, ini Tante Soraya dan putrinya, Saskia." Hartono dengan sigap mengulurkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Uluran tangannya disambut ramah oleh Soraya juga Saskia. "Silahkan duduk, Pak." Soraya mempersilakan Hartono duduk dan mereka semua duduk. Saskia sempat menoleh sengit ke arah Julia yang duduk dengan tatapan tajam terarah pada Hartono. Ingin sekali Saskia menegur Julia agar lebih sopan pada orang tanpa memandang kedudukan. "Sombong," desis Saskia lirih. Juan mendengar. Melihat arah tatapan Saskia, Juan paham. Ia  menyenggol Saskia dan mengerling serta memberikan gelengan kepala. Isyarat bagi Saskia untuk tak memedulikan lainnya. "Tadi sudah di restoran, ya, Pak?" tanya Soraya. "Sudah, Bu." "Jauh dong, ya, ke sini." "Enggak, Bu. Naik motor, cepat sampai sininya." Hartono terkekeh diikuti lainnya. "Bapak, enak mana kerja sama dubes itu atau sama Juan?" goda Soraya dibarengi rasa penasaran akan bagaimana Hartono menilai orang. "Hehehe..., sama enaknya, Bu. Saya gak pilih-pilih bos, Bu. Siapa pun bos saya, mereka adalah orang baik. Termasuk Pak Juan." Tawa berderai bagi lainnya. Namun bagi Julia, tubuhnya seperti terbakar. Ia sendirian. Tak ada seorang pun yang memerhatikannya, atau ada, tetapi pura-pura tak melihat. Amarahnya mendidih. Uacapan ayahnya adalah sindiran telak bagi Julia. "Pak Hartono mau jadi sopir saya?" Sebuah pertanyaan dari Soraya yang jelas-jelas mengisyaratkan keinginan. Hartono pura-pura menatap Juan untuk meminta pertimbangan. Membentuk penilaian baik bagi Soraya bahwa Hartno masih punya etika dan tidak serakah. "Mau saja, Pak. Dari pada sama saya kena omel melulu," ucap Juan. "Lagi pula, saya lebih senang bawa mobil sendiri. Jadi Pak Hartono gak perlu merasa tidak enak hati jika menerima pekerjaan ini." Hartono terkekeh dan mengangguk. "Siap, Bu. Saya mau kerja di sini." Semua lega. Hanya satu yang tak bisa lega. Rasa terkejut, amarah, bingung, kusut, menjadi satu dalam diri Julia. Mematikan kepalanya untuk berpikir. Ia yang tadinya sudah menyusun rencana dan kata-kata untuk membatalkan kemunculan orang barunya Juan, kini menjadi kisut tak berkutik. Nyalinya menguap bersamaan isi kepala yang kosong. Untuk sekali lagi ia kalah dari Juan. Julia sudah menyuruh seseorang menyelidiki Juan dan keberadaan ayah ibunya. Dan itu baru saja kemarin ia lakukan. Belum juga indormasi di dapat, yang sedang dicari justru muncul di depan batang hidungnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD