Ini Ciuman Kita

1585 Words
Mobil sport warna hitam sudah terparkir rapi di parkiran restoran milik Juan. Mobil yang berbeda dengan maksud dan tujuan yang tak lain adalah agar tidak dikenali. Di dalamnya, duduk Saskia dengan kebingungannya sendiri. Ia bukan tanpa sadar masuk ke restoran Juan. Hanya tidak sadar sepenuhnya. Ini karena di sepanjang jalannya, Saskia lebih banyak menimbang antara menemui Juan di restorannya atau mendiamkan saja Juan. Dalam keadaannya yang terombang-ambing, mobilnya justru membelok dan masuk ke restoran Juan. Padahal restoran Juan masih adalah sebuah pilihan bukan ketetapan. "Masuk?" tanya Saskia pada dirinya sendiri. "Trus mau apa?" Dan Saskia akhirnya monolog. "Labrak, dong. Kurang ajar sekali pulang tanpa pamit sama saya." "Gitu?" "Harus begitu. Juan harus tahu bahwa kejadian ciuman itu tidak berefek apa-apa. Ayo, keluar." Saskia menarik napas. Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya ada keputusan tegas. Saskia akan menghadapi Juan. Dirinya sangat yakin sanggup berhadapan dengan Juan. Langkahnya mantap. Aura kepercayaan dirinya terpancar hingga beberapa pria yang baru keluar restoran atau baru akan masuk restoran, selalu menyempatkan menoleh menatap Saskia, tersenyum, dan kemudian penasaran akan sosok Saskia yang rupawan. Namun, hal tak terduga terjadi. Saat Saskia akan menarik salah satu pintu ganda, di saat itu juga Juan mendorong daun pintu satunya. Itu membuat keduanya berpapasan tepat di ambang pintu. Ekspresi terkejut tak bisa disembunyikan dari wajah Saskia ataupun wajah Juan. Masing-masing sama-sama tak mengira kalau akan bertemu, bertatap muka secepat itu. Saskia yang bahkan saat jalan menuju restoran sudah sangat percaya diri, seketika dirinya merasa kerdil. Ia menjadi tidak siap bertatap muka dengan Juan dan tubuhnya meronta agar Saskia memutar tubuh da berlari masuk ke dalam mobil. Juan yang juga tadinya terkejut dengan kemunculan Saskia, mencoba untuk menguasai diri. Dirinya menduga jika kedatangan Saskia pasti ingin memarahinya karena pergi tanpa ijin. Gadis itu pasti sangat marah sampai-sampai merasa perlu menemuinya. "Mau sarapan?" tanya Juan. Suara Juan hanya membuat Saskia makin tidak karuan. Bingung bagaimana ia bisa menjadi benar-benar marah. "Enggak," jawab ketus Saskia. "Oke. Lalu, ada perlu sesuatu?" Kenapa kamu tinggalin saya? Kenapa kamu pergi tanpa pamit? "Gak ada." Dan Saskia bagai orang bodoh yang linglung, justru memutar tubuhnya dan akan kembali menuju parkiran. Tapi baru ia berbalik, sepasang pria dan wanita melangkah cepat akan masuk. Hampir saja Saskia menabrak keduanya, untungnya Juan menarik lengan Saskia hingga membuat tubuh gadis itu oleng dan merepet ke d**a Juan. Sepasang wanita dan pria itu tersenyum penuh arti pada Juan dan Saskia. Di benak keduanya, kemungkinan Juan dan Saskia adalah sepasang kekasih yang sedang ada masalah, tetapi pagi ini sedang negoisasi memperbaiki hubungan. Dan dugaan pasangan tersebut ada benarnya dan tidaknya. Yang tidak adalah, Juan dan Saskia bukan sepsang kekasih. Tanpa banyak bicara, Juan membawa Saskia masuk ke dalam restoran dan langsung ke ruang kerjanya. Juan menutup pintu dan berdiri membelakangi pintu, memandangi punggung Saskia. Saskia sendiri yang sudah melangkah duluan masuk, merasakan kehangatan di bagian belakang tubuhnya. Ia sangat yakin Juan menatap dirinya. Saskia menyesal kenapa ia harus buru-buru melangkah masuk. Sepertinya ini akan jadi adu diam. Saling menunggu siapa yang akan menjadi pembuka. Dan Saskia kalah. Ia tak tahan dengan rasa hangat yang membuatnya gugup. Ia pun memutar tubuhnya kasar dan melipat kedua tangannya di d**a. Sebagai perlindungan sekaligus pertahanan diri. "Kenapa?" Juan menghela napas. Akhirnya ada yang mulai bicara. Juan merasa tidak perlu bertanya apa yang ditanyakan Saskia. Ia sudah paham. Ini adalah tentang dirinya yang meninggalkan rumah Saskia sebelum gadis itu bangun. "Maaf." Juan mengucapkannya dengan tulus. "Maaf? Hanya maaf?" Nada suara Saskia sengit dan meninggi. Saskia menjadi marah karena kata maaf yang dirasa Saskia dilontarkan dengan sangat santai. Padahal dirinya sedarian tadi bahkan sejak semalam, melewati waktu dengan kegelisahan. Sedangkan pria di depannya dengan begitu santainya mengucapkan maaf. "Saya minta maaf karena saya pulang tanpa pamit ke kamu dulu." Saskia langsung tidak bisa berkata-kata. Juan meminta maaf atas apa yang menjadi keresahaannya. Salah satu keresahannya. "Saya mau meluruskan masalah ciuman itu," ucap tegas Saskia. Kata maaf Juan sebagian besarnya membuat Saskia sakit hati. Ia merasa Juan sedang kecewa dan kekecewaan itu pasti karena dirinya. Juan kecewa atas dirinya. "Bisakah kita tidak membahas itu. Saya yang salah dan saya minta maaf." "Kamu bukan sedang minta maaf. Kamu sedang meremehkan saya. Karena mencium saya ternyata tidak seperti yang kamu inginkan, 'kan?" Juan mengernyit. Kali ini benar-benar bingung, ke arah mana Saskia bicara. "Gak usah sok-sokan berekspresi begitu, saya tahu kok apa yang di pikiran kamu. Ya, saya memang tidak pernah berciuman dan kamu laki-laki pertama. Puas?" Juan mulai tidak nyaman. Ia merasakan jika Saskia di puncak kemarahannya hingga tidak mengontrol kalimatnya yang keluar. Pun begitu, menyisip rasa senang menngetahui kenyataan kalau dirinya adalah lelaki pertama untuk Saskia. "Saya memang tidak sama dengan wanita-wanitamu yang entah siapa. Saya yakin wanitamu tidak satu. Tapi bukan berarti kamu kemudian meremehkan saya? Kamu kan bisa bersikap profesional dan melupakan kejadian semalam?" Masalahnya saya tidak bisa melupakan kejadian itu sedetik saja, keluh Juan. "Dengar ya Juan, ciuman semalam itu tidak ada maknanya apa-apa. Dan kamu harusnya tidak menghina saya dengan memperlakukan saya seperti pagi ini. Meninggalkan saya karena kekecewaanmu. Saya tidak terima! Kamu pikir saya ini apa? Yang bisa kamu cium sesuka hati, yang kemudian karena menurutmu tidak enak, kamu secepatnya menghina saya dengan meninggalkan saya tanpa pamit? Kamu tau gak gimana malunya saya? Kamu bisa-bisanya pergi tanpa pamitan dan bicara dulu, hingga yang lain berprasangka kalau kita sedang apa-apa. Dan bisa-bisanya kamu pergi begitu saja, membuat saya malu pada diri saya sendiri yang sudah membiarkan untuk dicium kamu, yang kemudian kamu lepaskan dengan jijik. Sebegitu jijiknya sampai kamu pergi begitu saja!" Juan tercekat saat mendengar nada suara Saskia sedikit bergetar. Di dalam mata Saskia ia melihat anakan sungai yang bersiap menjadi air terjun. Juan tak ingin Saskia menangis. Ia mendekat. Tetapi, baru selangkah, Saskia justru mundur selangkah. "Jangan dekati saya. Kita harus kembali ke tujuan awal. Mulai detik ini, jangan pernah ada sentuhan antara dirimu dan saya, kecuali memang dibutuhkan dan di depan orang." Saskia menunduk kemudian melangkah lebar dan hendak keluar. Ia harus cepat keluar karena dirinya tak mau dipermalukan lagi oleh Juan. Jangan sampai Juan melihat air matanya dan kemudian jatuh iba, mengasihani dirinya. Juan memegang lengan Saskia saat Saskia akan melewati dirinya. Tapi Saskia berontak. "Lepaskan! Atau saya berteriak dan reputasi restoranmu buruk!" ancam Saskia. "Kamu salah, Sas. Kamu harus dengarkan saya." "Lepaskan!" Saskia mulai meninggikan suaranya. "Saya tidak mau dengar apa-apa. Semua sudah jelas." "Semua tidak ada yang jelas. Hubungan kita yang harusnya profesional, sudan mulai tidak jelas. Ciuman itu semakin membuat ini semua tidak jelas." Juan meluapkan  rasa frustasinya dan itu kini membuat Saskia tercekat, menatap Juan bingung. "Kamu pikir saya bisa tidur? Kamu pikir saya bisa tenang? Kamu pikir saya berpikir seperti yang kamu ucapkan tadi? Saya memang b4jing4n, Sas. Pergaulan saya dengan wanita, bukan hanya kamu. Tapi hanya kamu yang membuat saya begini!" "Be...begini..., ba...bagaimana?" tanya Saskia lirih. Juan melepaskan cengkeramannya di lengan Saskia. Ia yakin pegangannya terlalu kuat dan Saskia menahan sakitnya. "Ya..., begini.... Saya bingung menjelaskan. Yang jelas, saya tidak seperti yang kamu pikirkan. Yang ada saya justru merasa bersalah. Saya..., saya justru khawatir kamu memandang saya dengan jijik." "Saya tidak memandangmu demikian. Saya yang berpikir bahwa saya mejijikkan bagimu, karenanya kamu..., mmm...." Saskia menunduk malu tetapi ia tetap melanjutkan kalimatnya dengan lebih lirih, "Karenanya kamu melepaskan ciuman itu dengan kasar." "Sepertinya, saya salah mengakhiri ciumannya. Saya akan memperbaikinya agar kamu tidak salah paham atas saya." Saskia mendongak. Mendapati wajah Juan sangat dekat. Jantungnya bergetar. Instingnya mengatakan kalau ini akan ada ciuman lagi. Kedua tangan Juan menangkup wajah Saskia yang sepertinya pasrah. Juan ingin Saskia tidak memandang salah perihal ciuman. Juan tidak ingin Saskia merendahkan dirinya sendiri. Salah paham harus diluruskan. "Ka...kamu, a...akan memperbaikinya?" tanya Saskia lemas dan terbata-bata. "Ya." Dan Juan memberikan yang terbaik untuk bibir Saskia. *** Saskia membawa mobilnya jauh lebih ringan ketimbang saat tadi berangkat dari rumah. Paginya mendadak sangat cerah. Kebisingan dan kepadatan jalan benar-benar tak mengganggu dirinya. Senyum pun terus terukir di wajahnya yang lembut. Bibirnya menyanyi lirih mengikuti lantunan lagu yang keluar dari alat pemutar lagu di mobilnya. Saat di lampu merah, Saskia akan menurunkan sunroof yang dibaliknya ada cermin kecil untuk berkaca. Yang Saskia pandangi adalah bibirnya. Saat bibirnya ia sentuh, yang ia rasakan adalah bibir Juan masih menempel di bibirnya. Akhirnya Saskia memekik geli sekaligus bahagia. Setelahnya tersenyum dikulum karena malu sendiri. Mobil Saskia merangkak perlahan dan berhenti lagi. Lampu merah yang lama dan kepadatan yang panjang. Saskia tak keberatan. Karena ia masih menikmati sisa ciuman pagi harinya dengan Juan. Ponselnya berdering, saat membaca nama si penelepon, Saskia langsung menerima dan memekik riang. "Jeny!" "Ya, Tuhan! Sakit telinga saya, ih. Pake teriak begitu. Kamu dah di kantor, memangnya? Gak malu ama orang kantor kamu teriak begitu?" berondong Jeny dari seberang telepon. "Saya masih di jalan. Saya lagi bahagia." "Bahagia kenapa?" "Mmm..., kasih tau gak, ya?" goda Saskia. "Kasih tau atau kita gak jadi sahabat!" ancam Jeny. "Ish, selalu itu ancamannya." "Bahagia kenapa?" "Mmm..., nanti aja, deh. Ini dah mau jalan lagi. Nanti siang kita makan siang sama-sama, ya." "Boleh. Mmm..., tapi kita berdua aja ya. Gak usah bawa Juan." Saskia mengernyit. "Kenapa? Kamu gak suka Juan?" "Hahaha..., bukan begitu. Kan kita belum pernah makan berdua aja. Besties time." Saskia tersenyum lega. "Oke. Saya gak ajak Juan. Tempat biasa?" "Oke. Eh, tunggu...!" "Apa?" "Apa kebahagiaanmu terkait dengan Juan?" "Hehehe..., gitulah. Eh, udah ya. Saya gak fokus setir ini." Jeny meng-iya-kan dan mengingatkan Saskia untuk fokus juga hati-hati di jalan. Di tempatnya, setelah telepon ditutup, Jeny termenung menatap ponselnya. "Dia gak pernah sebahagia tadi sama cowok. Aduh..., bagaimana ini? Jadi gak tega. Arghhh...." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD