Cinta Itu Apa?

1555 Words
"Tante Sonya. Tante waktu kapan lalu ketemu di sydney, cowok yang sama Tante itu siapa na.... Aduh, Tante. Sakit, ih." Pertanyaan Jeny belumlah selesai saat tantenya mencengkeram tangannya dengan kuat dan secepatnya menarik Jeny ke tempat lebih aman dan jauh dari ibunya Jeny beserta para wanita lainnya. "Sttt!" Sonya menempelkan jari telunjuknya di bibir dan menyipitkan mata, meminta Jeny tidak bersuara keras. "Kamu, tuh kalau mau tanya liat-liat situasi, dong. Nanti kalau mereka semua tanya-tanya, bagaimana? Kan malah tambah rame." Jeny cengengesan. Memahami situasinya. Mulai memahami hubungan kedekatan antara si pria muda dn tantenya. "Iya. Iya. Terus itu siapa?" tanya Jeny menuntut dengan tidak sabar.  "Kenapa memangnya?" "Gak pa-pa. Cuma tiba-tiba keinget aja. Memangnya itu siapa?" "Kamu gini ini cerita ke mamamu?" "Enggak. Enggak. Ini gak ada kaitannya dengan Mama atau Om. Cuma ini penasaran banget karena keinget gitu." Sonya menatap Jeny tajam. Mencari-cari kemungkinan keponakan dari garis suaminya itu tidak sedang melakukan sesuatu yang bakal merugikan dirinya. "Tante. Saya buka anak kecil. Dari waktu itu kita bertemu, yang mana Tante wanti-wanti jangan bilang siapa-siapa, saya sudah menduga kok apa hubungan Tante sama dia. Bukan sekedar rekan bisnis saja. Tetapi ada yang lebih intim. Tapi, apa saya ada omong ke Mama atau Om? Aman, 'kan?" Ucapan Jeny membuat Sonya bernapas tenang. Keponakannya itu bisa diandalkan. "Namanya Juan." *** Jeny mendesah gelisah ketika ingatan akan percakapannya dengan Sonya pagi tadi. Nama Juan tersebut dengan jelas. Pria muda yang menjadi kekasih simpanan tantenya, kini berhubungan dengan sahabatnya. Jeny benar-benar ingin memisahkan keduanya. Namun, ingatan lain muncul. Yaitu suara Saskia yang begitu senang. Saskia bahkan mengakui kalau dirinya sedang bahagia karena Juan. Ada perasaan tidak tega di Jeny untuk menyampaikan kebenarannya. Lebih-lebih saat Saskia datang dengan keceriaan yang tampak sejak pintu restoran dibukanya. Langkah sahabatnya itu sangat ringan bahkan seperti melayang. Terburu-buru mendekati Jeny. Memeluk Jeny dengan erat. Dan tertawa geli sendirian untuk alasan yang belum diucapkan tetapi sudah diduga Jeny. "Makasih...." Saskia menyeruput minuman yang sudah dipesankan Jeny. "Bahagia sekali. Bahagianya bagaimana? Cerita, dong," pinta Jeny sembari menyodorkan buku menu restoran ke Saskia. "Kamu mau makan apa?" Seorang pelayan restoran datang dan mulai mencatat pesanan kedua sahabat. "Kayaknya saya lagi jatuh cinta, deh," ucap Saskia setelah pelayan pergi dengan catatan pesanan dirinya dan Jeny. "Dengan Juan?" tanya Jeny hati-hati. Saskia tak menjawab. Ia hanya tersenyum lebar sembari memainkan sedotan di gelasnya. Tetapi, senyum itu agak memudar kemudian, membuat Jeny mengernyit heran. "Kenapa?" Saskia menghela napas dan menyandarkan duduknya di sofa. Restoran favorit mereka memiliki gaya kebarat-baratan Amerika. Beberapa meja dikelilingi kursi-kursi tunggal ala kursi koboi dan beberapa lainnya adalah sofa setengah lingkaran yang memang dipertuntukan bagi pasangan. "Jen...." "Hmmm...?" "Bagaimana rasanya dicium oleh lelaki yang kamu sukai?" "Kamu dicium Juan?" Tebakan Jeny membuat Saskia memekik malu sembari menangkup wajahnya sendiri. Ada senyum senang yang membuat Jeny semakin tidak karuan. "Terlihat, ya?" Pertanyaan Saskia membuat Jeny jadi tertawa geli. Saskia begitu lugunya dan kembali menjadi anak-anak. Hal yang pernah Jeny alami dulu saat ia jatuh cinta. "Hahaha.... Ciumannya sih gak terlihat. Tapi, bekasnya kelihatan," goda Jeny. "Ha? Serius?" Saskia panik. Ia sampai perlu merogoh tasnya dan mengeluarka bedak padat yang wadahnya ada cermin untuk berkaca. "Di mana? Di mana, Jen?" "Di mukamu." Saskia terus memeriksa wajahnya dengan seksama. Ia memyipitkan kedua matanya hanya agar bisa melihat di mana bekas ciuman yang Jeny maksud. Sampai kenudian ia menyadari, bahwa Jeny menggodanya. "Sial4n. Dikerjain." Saskia merengut melihat Jeny yang tertawa ngakak. "Memangnya Juan cium seluruh wajah kamu?" goda Jeny lagi. "Br3ngsek." "Jadi, bagaimana rasanya dicium cowok?" Saskia memasukkan bedak padat ke dalam tas dengan tersenyum malu. Kembali ia menyandarkan tubuhnya ke sofa da menerawang. "Entahlah..., seperti..., antara melayang. Saya merasakannya secara fisik juga batin.Tetapi, saya juga seperti tidak merasakannya, saya seperti..., berada di tempat lain dengan cara yang tidak saya mengerti. Apakah berciuman itu begitu?" "Ya. Pasti ada seperti serangga yang mengaduk-ngaduk perutmu. Sesuatu yang halus." Saskia mengangguk cepat bagai seorang anak kecil yang antusias menjawab iya. "Kamu mencintai Juan?" tanya Jeny dengan d**a berdegup cepat. Saskia menunduk. Menghela napas dan mengaduk lagi minumannya. Ia tidak memahami konsep cinta yang bagaimana. tetapi ia jujur dalam hati jika kehadiran Juan sudah memberi warna lain dalam hidupnya, bahkan sejak pertama kali bertemu. Ciuman yang ia rasakan adalah puncak dari perasaan-perasaan lain yang memendar dengan cara yang aneh. "Entahlah. Sepertinya begitu. Tapi...." Apakah Juan juga merasakan hal yang sama seperti saya rsakan? "Tapi apa?" "Saya tidak tahu bagaimana perasaannya," jawab jujur Saskia. Jeny menjadi curiga kemudian akan hubungan sahabatnya. Ada yang ganjil di sini. Dan itu baru dirinya sadari. "Sebentar. Ini ciuman pertamamu?" Saskia mengangguk dengan tatapan terarah pada gelas minumnya. "Kamu bilang kalau kalian sudah bertunangan enam bulan ini. Artinya ada hubungan percintaan sebelumnya. Selama itu, kamu baru dicium hari ini?" Saskia mengerjap menyadari bahwa Jeny begitu kritis dan kebohongannya tak bisa lama dibungkam. "Kok, gak masuk di akal, ya." Jeny menatap tajam Saskia. Ada perasaan kesal yang mulai muncul yang membuat Saskia tak berani menatap lama sahabatnya. "Saskia." Suara Jeny dalam dan tajam. "Ya," jawab Saskia dengan sungkan. "Saya merasa kamu sedang mendustai saya. Jika kamu masih anggap saya adalah sahabatmu. Ceritakan yang sebenarnya atau ini berakhir saja." "Jen...." Saskia cepat memegang jemari Saskia dengan perasaan sedih tidak karuan. Ia sudah berbuat salah. Pada sahabatnya sendiri ia mendustai situasi hubungannya dengan Juan. Ia benar-benar merasa bersalah. "Maafkan saya. Maafkan saya, Jen. Saya janji akan ceritakan sesuatu antara saya dan Juan. Tapi kamu harus janji bahwa ini tidak akan merusak apa pun di anatara kita." "Saya janji." *** Nina dan Roby makan siang di salah satu sudut meja paling belakang. Tempat VIP bagi ketiganya yang di atas mejanya selalu terdapat papan bertuliskan "Reserved". Membuat pel4nggan restoran, tidak bisa mengambil tempat duduk mereka. Roby selalu bisa menikmati makan siangnya dengan baik. Sesekali ia menyenggol Nina yang sibuk dengan laptopnya agar makan. Tetapi Nina begitu fokusnya hingga sering melakukan pengabaian. Ia membaca dengans angat serius. Roby kemudian mengiris daging Steak-nya Nina dan mulai menyodorkan langsung di depan bibir Nina. "Aaa...." Nina sontak terkejut dan memundurkan tubuhnya. Sedangkan Roby justru semakin mendekatkan garpunya ke bibir Nina, membuat gadis yang melotot itu mau tidak mau membuka bibirnya dan memasukkan daging ke mulutnya. Sedikit saos menempel di sudut bibir Nina, tanpa ragu Roby mengusapnya dengan senyum geli yang bisa dilihat Nina sangat jelas. Senyum manis seperti anak kecil yang membuat jantung Nina berdebar-debar. "Makanmu ini, kenapa selalu belepotan." Roby tertawa kecil menatap Nina yang masih menatapnya dengan kedua mata gadis itu yang membulat. Napas Roby terhenti berbarengan dengan gerakan mengusap di sudut bibir Nina. Jemarinya berhenti di situ saja. Merasakan hangat dan lembut bagian dagu dan pipi Nina. Jemarinya begitu betahnya yang bahkan menarik tubuh Roby lebih dekat lagi ke Nina. Tak ada lagi bunyi denting-denting sendok dan garpu yang saling beradu. Tak ada lagi suara-suara kebisingan percakapan orang-orang dengan rekannya. Hanya Nina dan Roby. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Dan bahkan, sepertinya suara jantung keduanya saling sahut menyahut bagai dentuman meriam. "Gerah juga kalau didiemin lama-lama." Roby dan Nina menjingkat hingga lutut keduanya yang masih berada di bawah meja ikut menyentak. Nina mendelik sekilas ke Juan yang entah sejak kapan datang dan duduk dengan wajah tenang, lalu ia kembali menatap laptopnya. Menyembunyikan wajahnya pada layar laptop, kesia-siaan. Sedangkan Roby pura-pura sibuk dengan makanannya. "Datang itu pake salam. Bukan pakai mengintai," cetus Roby yang kesal karena malu. "Disalamin jug gak pada dengar. Serius menikmati saling pandang-pandangnya." "Bac0t," gerutu Roby yang disambuut gelak tawa Juan. "Pacaran ajalah kalian berdua. Pake malu-malu gitu." Roby langsung terbatuk-batuk dan Juan langsung tertawa ngakak. "Apa yang kamu dapat dari ketemu temenamu yang polisi itu?" sela Nina dengan suara dingin seolah tidak pernah ada kejadian sebelumnya yang perlu dibahas. Juan langsung diam. Dengan Nina yang sedang serius, Juan memilih tak melanjutkan menggodanya. "Dengan uang. Dia janji aka memberikan data perihal kecelakaan itu. Mungkin nanti malam katanya." Nina mengangguk dan membalikkan layar laptopnya ke Juan. Di sana terpampang gambar bangunan yang didepannya ada tembok segi empat yang bertuliskan nama sebuah hotel. Hotel yang cukup cantik dengan bangunan tiga lantai berwarna cokelat berbaur merah muda. Bagian teras depan lobi dipayungi bentuk seperti joglo. Ada pohon-pohon kamboja yang bunganya berwarna kuning dan merah muda sebagai pemanis di beberapa sudut. Ketika Juan mengklik slide selanjutnya, foto yang ditampilan adalah hotel bagian belakang yang sepertinya mengarah ke kolam atau tempat lain. Ada koridor terbuka yang kanan kirinya ada pohon palem berjajar rapi. Ada lima foto yang memberikan pemanadangan hotel dengan sangat apik. Hotel yang benar-benar cantik. "Apa ini? Kita berlibur ke sini? Di mana ini?" tanya Juan. "Itu hotel di Bali. Milik Pamungkas. Dan itu adalah situs lelang nasional." Juan dan Roby melongo. "Hotel itu dijual? Apa perusahaan sedang terjadi sesuatu sampai harus jual aset usaha?" tanya Roby. Nina mengedikkan bahu dan menatap Juan. "Kenapa kamu gak tanya Saskia?" "Perlukah?" tanya Juan ragu. "Perlu. Karena yang memasukkan hotel itu sebagai daftar lelang adalah Julia." "Julia?" Roby terkejut dan menatap Juan. "Apakah ini kemungkinan pencurian?" "Kamu harus tanya Saskia bagaimana kondisi perusahaan dan anak-anak perusahaan lainnya. Juga kondisi beberapa aset usaha seperti perhotelan," saran Nina. "Apa sudah ada buyer?" tanya Juan mulai khawatir. "Jumat besok adalah tanggal lelangnya. Hanya akan dipilih lima oran atau perusahaan yang akan diverifikasi. Kalau kamu ingin membantu Saskia dan keluarganya, keputusanmu harus cepat," jawab Nina. "Saya akan telepon Saskia." Juan berdiri. "Dan saya akan menemui Julia. Daftarkan saya sebagai buyer." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD