Dimulai dari bangun tidur yang tidak nyenyak. Saskia gelisah apakah perlu turun untuk sarapan pagi bersama atau tetap di atas dan meminta orang membawakan sarapannya ke atas. Tetapi, ia tidak mau dianggap anak kecil dan dianggap tidak berani berhadapan dengan Juan. Padahal masalahnya adalah ciuman yang bahkan Juan sendiri sepertinya menganggap biasa. Bahkan Juan terlihat mau muntah.
"Br3ngs3k. Memangnya mulut saya bau? Sampai segitunya punya ekspresi."
Bau sih, enggak. Tapi kamu gak jago cium4an, sahut Saskia dari hatinya.
"Itu tandanya bibir saya masih perawan. Arghhh!"
Saskia menjerit dengan nada tertahan. Ia menendang apa saja di sekitarnya di atas tempat tidur. Bantal, guling, selimut, berhamburan ke mana-mana. Bahkan beberpanya jatuh ke lantai. Saskia selalu menjadi gemas setiap kali memikirkan ciuman semalam.
"Ciuman di rumah sakit..., adalah rasa penasaran. Ciuman di paviliun..., adalah.... Arghhh! Br3ngsek! Br3ngsek! Ternyata dia mencium Cuma buat memuaskan rasa penasarannya. Dasar cowok baj1ngan!"
Kembali Saskia menjerit-jerit di bawah bantal yang ia dekap sendiri ke wajahnya. Meredam teriakan agar tak terdengar keluar, yang memungkinkan terjadinya kehebohan.
Saskia berada pada dua emosinya, rasa malu dan kemarahan, yang semuanya ditujukan untuk dirinya sendiri. Ia malu karena begitu lugunya menerima bibir Juan menyesap masuk. Menikmati bagaimana kehangatan dari sebuah ciuman bisa menguasai seluruh tubuhnya. Bahkan hatinya tak lagi terasa dingin.
Marah karena dirinya dengan sengaja membiarkan semua itu mempengaruhi dirinya sampai pagi ini. Bahkan untuk bertemu Juan saja dirinya bimbang. Padahal status antara ia dan Juan adalah tunangan, meskipun status itu hanya dirinya dan Juan saja yang tahu kalau itu kamuflase.
Saskia berdiri di atas tempat tidurnya, menatap tegas ke depan. Kedua tangannya menekuk di pinggang. Sikapnya bagaikan seorang komandan perang yang sedang berhadapan dengan musuhnya.
"Hai Juan!" Salah satu tangnnya menunjuk ke depan. Saskia menempatkan bayangan Juan berada di depan wajahnya. Lelaki itu tersenyum manis, menampilkan deretan giginya yang rapi., menggoda Saskia. "Gak usah senyum-senyum! Saya mau bicara serius."
Bayangan Juan tak lagi tersenyum lebar. Tapi, tetap saja tersenyum meski itu dikulum dengan kedua mata mengerling seolah mengijinkan Saskia bicara apa saja.
"Ciuman semalam, itu tidak ada artinya. Paham?! Tidak ada artinya sama sekali! Bagimu dan bagi saya. Jadi.... Mari kita sama-sama melupakan. Oke?!"
Juan hanya mengerjapkan mata. Tak ada kata yang keluar.
"Oke. Saya anggap kamu setuju. Jadi.... Jangan pernah ungkit-ungkit masalah ciuman itu. Dan anggap ciuman itu adalah..., mmm..., mmm...."
Saskia berpikir keras. Kata-kata yang tepat untuk menyampaikan kalimat selanjutnya. Tubuhnya bergera-gerak mondar-mandir, membentuk lingkaran kecil di tempat tidur.
"Ah..., anggap itu semacam pemabayaran. Ya, itu p********n. Dikarenakan kamu belum juga mengatakan apa imbalan atas jasamu sebagai tunangan bayangan, anggap saja ini bayaran awal. Deal?"
Saskia mengulurkan tangannya, ia lupa jika dihadapannya hanyalah bayangan semu. Tak ada kebenaran. Tak ada yang akan membalas uluran tangannya. Dan bayangan Juan lenyap.
Saskia membanting tubuhnya, kembali uring-uringan sebelum kemudian bangun dan mandi.
Rasa percaya dirinya sudah terbangun setelah mandi. Ia meutuskan harus berhadapan dengan Juan. Ia tidak mau diremehkan lelaki itu untuk kedua kalinya. Ia harus belajar menganggap ciuman itu adalah sebuah kecelakaan yang tak perlu membuatnya malu. Ia akan memperbaiki musibah itu dengan berani menghadapi Juan.
Sayangnya, kepercayaan diri itu menjadi kebimbangan lagi setelah keluar kamar. Dan kebimbangan itu dibarengi perasaan gugup saat ia akhirnya berhasil masuk lift. Kaki kirinya mengetuk-ngetuk lantai lift. Pikirannya kosong hanya berkutat dengan perasaan kalutnya.
Saskia tidak menyadari jika di lantai dua, pintu lift terbuka. Anggara dan Julia masuk. Sempat Anggara menyapa Saskia, tetapi gadis itu tetap pada lamunannya dengan tatapan mata terarah ke bawah. Anggara menatap Julia yang dibalas gedikan bahu, tanda Julia tidak tahu apa yang terjadi dengan Saskia.
Keluar dari lift, Saskia melangkah gontai dibelakang kakak tiri dan iparnya. Menyiapkan mental untuk menatap Juan.
Tapi betapa terkejutnya Saskia karena tak melihat Juan di meja makan. Ia bingung sekaligus penasaran. Saskia duduk di kursinya dengan ragu-ragu. Menimbang apakah perlu ia ke paviliun dan melihat keadaan Juan ataukah menyuruh salah satu pelayannya memeriksa.
Di tengah kebingungannya, Soraya muncul dari dapur dengan seorang pelayan yang membawa sarapan pagi.
"Pagi. Mama praktek soto Solo yang resepnya dari Juan. Gak papa, 'kan ya kalau makan soto lagi." Soraya tersenyum cerah dan langsung duduk di sebelah putrinya.
"Wah, gak pa-pa, Ma. Kebetulan saya pingin yang kuah-kuah. Semalam kan saya Cuma makan sedikit terus ke rumah sakit. Jadi kayak agak kembung ini perut," ucap Anggara yang sumringah melihat asap samar keluar dari mangkuk sotonya.
"Kan Mama sudah suruh kalian turun buat makan. Kamunya sudah ngantuk berat kata Julia."
"Iya. Males saya turun."
"Kamu gak pa-pa, Julia?" tanya Soraya pada menantunya yang juga tidak makan malam.
"Enggak, Ma. Semalam juga saya lagi program diet."
"Jangan diet melulu. Nanti sakit."
Julia hanya mengangguk kecil dan mulai menyirami nasinya dengan kuah soto.
Saskia sudah dipuncak rasa penasarannya. Ia perlu tahu perihal Juan pagi ini. Baginya aneh saja jika Juan belum makan mengingat Juan memiliki restoran yang buka di pagi hari, maka tentunya sang pemilik punya kebiasaan bangun pagi.
"Ma, apa kita gak minta pelayan buat bangunin Juan?"
Julia terkejut bukan kepalang. Sendoknya sampai beradu dengan garpu hingga terdengar bunyi yang khas. Beruntung tidak ada yang peduli dengan rasa terkejut Julia, dengan begitu, Julia tak perlu menjelaskan apa-apa dengan sikapnya yang aneh.
"Ju...juan menginap?" tanya Julia dengan suara sedikit bergetar. Ia merasa kecolongan. Harusnya ia tahu jika Juan menginap, dengan begitu, ia bisa dengan mudah mencegahnya.
"Ya. Juan menginap. Mama tidak tega membiarkan dia nyetir. Sudah malam juga. Ditambah dia pasti kecapekkan."
Seketika, makanan di meja makan tak lagi terasa enak dan nikmat. Tak lagi menggoda. Perutnya pun tak memberikan respon lapar. Yang ada di kepala Julia adalah ayah mertuanya.
"Ma. Suruh siapa gitu bangunin Juan," ucap Saskia gusar dan kesal karena Julia menyela.
"Juan sudah pulang jam enam tadi."
Jantung Julia langsung mencelat keluar. Juan buru-buru pulang pasti ada alsan yang lebih penting. Sejak awal, Julia yakin kalau pada akhirnya perhatian Juan akan lari pada ayah mertuanya. Adiknya itu akan seperti anjing kepolisian yang terus mengendus dan mengorek-ngorek sebuah keterkaitan. Itu kenapa Julia membayar lebih mahal perawat yang sekarang, karena perawat itu dipastikan akan menjaga dua puluh empat jam penuh.
"Kok, pulang? Kok, gak ada omong sama Saski? Mama gak minta dia bangunin Saski? Harusnya kan dia bilang, dong. Kok jadi...."
Grek!
Kata-kata Saskia langsung terhenti di udara. Ia cepat menoleh menatap Julia dengan sengit. Ia sangat kesal karena untuk kedua kalinya Julia melakukan interupsi. Membuat percakapan antara dirinya dan sang ibu terjeda.
Meski tidak dengan tatapan sengit, tetapi Anggara dan Soraya juga menatap Julia yang berdiri tiba-tiba hingga kursinya bergeser ke belakang dan menimbulkan bunyi yang khas.
"Ada apa?" tanya Anggara.
"Saya mau periksa Papa. Saya kan juga belum kasih obat ke beliau."
Anggara melirik ke piring nasi Julia yang nasi nya baru tersisa sesendok saja. "Kamu baru makan sedikit."
"Saya kan lagi diet. Segitu udah cukup. Saya ke kamar Papa dulu."
Julia mengangguk sekilas ke Soraya dan bergegas meninggalkan ruang makan. Ia harus memastikan bahwa Juan belum tertarik dengan ayah mertuanya. Bahwa ia masih punya kesempatan melindungi dirinya sendiri dan menjatuhkan Juan.
"Kenapa sih obatnya gak diberikan saja semua ke perawat. Merepotkan diri sendiri saja," ketus Saskia.
"Hust. Udah ayo makan," tegur Soraya.
"Julia hanya ingin yang terbaik buat Papa. Pagi dan malam kan ada obat khusus yang harus diminum. Julia takut perawat lupa," bela Anggara.
"Ya, ya, ya." Saskia hanya menanggapi tak acuh. Jawaban klise yang seolah-olah Julia adalah sang dewi penyelamat. "Ma, memangnya Juan gak ada omong kenapa dia pulang pagi-pagi?"
"Ya, kan karena restorannya buka pagi. Sedangkan asistennya ijin masuk agak siang. Jadi Juan segera ke restoran untuk memantau."
Bohong! Dia pasti tidak mau melihat saya. Liat aja nanti! ancam Saskia dalam hati.
Amarah menguasai Saskia begitu besar untuk Juan. Dia akan balas dendam. Tetapi dirinya juga tidak yakin akan balas dendam model bagaimana. Yang penting pagi ini, ia akan memupuk amarahnya, karena dengan terus kesal terhadap Juan, ia bisa melupakan rasa malunya dicium Juan.
***
Julia membuka pintu kamar ayah mertuanya dengan hentakan. Tak ada bunyi-bunyian yang menggelegar, akan tetapi gerakan yang tiba-tiba cukup membuat si perawat yang sedang memijat kaki Pamungkas, jingkat.
Tidak banyak dilakukan si perawat untuk Pamungkas di pagi hari. Pamungkas dibersihkan sehari satu kali dan itu dilakukan Soraya di menjelang siang atau sore hari. Perawat hanya bertugas membersihkan kateter, kamar, memastikan cairan infus tetap ada, dan sekarang tugas bertambah yaitu memastikan tidak ada seorang pun yang masuk kecuali keluarga inti atau orang yang bersama dengan keluarga inti.
"Selamat pagi, Bu Julia?" sapa si perawat yang sudah berdiri.
Julia mendekati ayah mertuanya yang kedua matanya selalu terpejam rapat. Pemandangan yang menenangkan. Dengan begitu segala cerita masih mengendap di bawah permukaan. Aman.
"Pagi. Nih." Julia menyodorkan suntikan yang berisi cairan berwarna sedikit merah muda. Berbeda dengan saat siang hari.
Si perawat segera mengambil dan menyuntikkannya di selang infus. Setelahnya ia mematahkan jarumnya baru membuang suntikkannya ke bak sampah kecil yang berada di dekat pintu kamar mandi.
"Bu, semalam Bapak belum disuntik."
Julia tak langsung menjawab. Melainkan terus memandangi ayah mertuanya itu. Tubuh ayah mertuanya semakin kurus. Ketidakberdayaan lelaki itu, menyusupkan rasa iba di dalam diri.
"Sekarang kalau malam tidak usah disuntik saja. Tapi yang untuk siang, tetap kamu kasih. Mengerti?"
"Mengerti, Bu."
"Semalam ada orang masuk sini?"
"Gak ada, Bu."
"Gak ada karena kamu gak tau atau memang gak ada? Kamu kan kalau tidur kayak orang mati."
"Beneran gak ada, Bu. Saya kan pasti dengar kalau ada orang buka pintu."
Julia menatap tajam perawatnya. Ada ketidakpercayaan, tetapi dia tak menemukan alasannya. Ia mempertahankan perawatnya ini karena meski agak genit, tetapi Reny sangat bisa diandalkan juga patuh akan perintahnya. Termasuk tak mengijinkan orang asing masuk.
Tiba-tiba Julia teringat sesuatu. Perihal ijin orang asing masuk.
"Kemarin, Mama membersihkan Papa sama siapa?" tanya Julia gusar.
"Sama sopir baru itu, Bu. Pak Hartono."
Lagi, jantung Julia mencelat. Bukan Juan justru ayahnya masuk ke sini.
"Kenapa kamu gak larang?"
"Lho, kan waktu Pak Salim, ibu bilang gak apa-apa orang lain masuk asalkan bersama anggota keluarga inti. Jadi, ya saya diamkan saja. Lagi pula, Ibu juga gak ada omong apa-apa ke saya."
Julia tak bisa menyalahkan perawatnya. Ini murni karena kebodohan dan kelalaiannya. Ia terlalu terkejut dengan kemunculan ayahnya ditambah dengan agresifitas Juan terhadap Saskia. Fokusnya bercabang hingga melupakan jika bukan Juan yang menjadi ular, maka bisa dipastikan ayahnya.
"Pak Hartono masuk sini selalu sama Mama, 'kan?"
Reny menjilati bibirnya yang terasa kering. Sekali saja ia mengkhianati kepercayaan Julia. Ia telah mempercayakan Pamungkas pada Hartono kemarin siang. Sedangkan dirinya mencari perhatian dari para pekerja pria yang sibuk mengurusi acara ulang tahun Soraya. Bahkan suntikan obat pun diberikan pada Hartono.
"Iya, Bu. Pak Hartono selalu sama Ibu Soraya," dusta Reny.
"Mulai nanti, jangan biarkan siapa pun masuk meski bersama anggota keluarga inti. Paham?"
Reny mengangguk gugup.
"Cukup kamu bantu Mama mengurus Papa, tidak lagi ada orang lain. Ingat, ya, saya gaji kamu tinggi."
"Baik, Bu."
Julia tak berkata-kata lagi. Ia berbalik dan berjalan cepat keluar dari kamar Pamungkas. Ada kelegaan setelah tadi panik. Setidaknya sampai hari ini, baik ayahnya ataupun adiknya tidak mengganggu Pamungkas yang akan berimbas pada dirinya. Julia berharap kedua orang itu tetap pada ketidakpeduliannya pada hal lain.
Di dalam kamar Pamungkas, Reny duduk di kursinya lagi sembari mengelus d**a.
"Duh..., untung Bu Julia gak nanya-nanya detail. Mampus saya kalau Bu Julia membahas perihal suntikan siang hari. Untung..., untung juga Bu Julia gak nanya orang dapur di mana saya makan."
Reny menoleh menatap Pamungkas dengan miris.
"Bapak ini sakit apa sebenarnya. Kok, gak bangun-bangun."
***