Juan Datang

1398 Words
Dengan handuk tebal melilit di kepala dan kimono handuk yang menutupi tubuhnya, Saskia keluar dari kamar mandi. Wajahnya segar dengan bekas basah karena memang dibiarkan lembab. Ia duduk di meja riasny dan mulai mengeringkan rambut panjangnya dengan pikiran masuh tertuju pada Juan. Sudah pukul setengah delapan pagi, tak ada seorang pun yang membagunkannya sejak pukul enam. Artinya tak ada tamu untuknya. Artinya lagi, Juan ingkar. Wajah Saskia yang segar tak menampilkan ekspresi segar. Bibirnya terkatup rapat dengan sedikit monyong. Kedua matanya menukik dalam saat menatap pantulan wajahnya di cermin. Jelas sekali Saskia dongkol dibarengi juga kepikiran. Hatinya sudah dipenuhi prasangka. Praduganya sudah sangat jelas kalau Juan dan Julia pasti sudah melakukan komunikasi. Sebuah rencana. Persekongkolan baru. Pasti Julia membuat rencana B, memastikan bahwa lelaki yang dekat dengan Saskia haruslah lelaki yang bisa Julia tundukkan. "Cih.... Kamu.... Kalian pikir saya akan sebodoh itu? Kalian yang bodoh. Bisa-bisanya keceplosan sebuah rencana yang sama. Terlalu percaya diri, hah?" cibir Saskia pada pantulannya di cermin. Ada suatu rasa yang sakit di dalam d**a. Saskia tidak tahu kenapa bagian d**a kirinya terasa sakit. Tepatnya ngilu. Ketidaknyamanan itu memengaruhi pikiran Saskia akan Juan. Saskia terlalu amat sangat kecewa dengan Juan. Padahal tadinya ia menaruh harap pada pria yang selalu sinis dan cerdas dalam membalikkan situasi. Saskia berkesimpulan jika lelaki sinis adalah lelaki yang menjujung harga diri tinggi. Ternyata salah. Juan tak bisa dipegang. Saskia sudah selesai berias. Ia tak pernah berias glamor dan tegas seperti Julia. Ia hanya mengenakan pulasan bibir warna merah lembut, dan eyeliner. Saskia jarang menggunakan pensil alis karena alisnya yang tebal. Ia juga tak menggunakan maskara karena bulu matanya yang panjang juga lentik. "Apa saya terlalu jelek?" Saskia bertanya pada pantulanya di cermin sembari memerhatikan wajahnya kiri kanan. Ia teringat bagaimana Julia berias. Wanita itu selalu tampil segar dengan riasan yang sempurna. Dari pensil alis, perona mata, sampai pulasan bibir warna-warni. Pertama kali ia melihat Julia, ia melihat sosok dewi. Begitu cantik memukau. Riasannya memang lengkap, tapi tidak menor. Saat itu, Saskia langsung tidak percaya pada dirinya sendiri. Jika mengingat pertemuan pertamanya dengan Julia, yang sanggup membuatnya terpukau, maka bukan hal yang mustahil para pria pun begitu. Termasuk Jua. "Buaya. Buaya. Bre*ngsek!" Saskia bangkit dan mulai mengganti kimono mandinya dengan pakaian formal untuk ke kantor. Setelah memasukkan laptop ke tas jinjingnya serta menyampir tas kecil ke pundaknya, Saskia keluar kamar dan menuju lift. Lantai tiga adalah wilayah pribadi Saskia. Kamar, ruang santai merangkap ruang tamu, ruang makan pribadi, ruang kerja, kamar tidur, lengkap layaknya rumah satu lantai dengan segala furnitur dan peralatan elektronik rumah tangga yang canggih. Berlaku juga di lantai dua, yang didiami kakak tirinya, Anggara dan keluarga kecilnya. Mendekati lift, Saskia mengernyit dalam. Lampu indikator lift menyala dan tanda panah mengarah ke atas. Perlahan Saskia mendekat sekaligus bertanya-tanya siapa yang naik? Ke mana tujuannya? Lantai dua ataukah lantai tiga? Lanta dua terlewati, artinya siapa pun yang menggunakan lift, tujuan akhirnya adalah lantai 3, huniannya. Saskia merasa liftnya bergerak sangat lambat. Ingin rasanya ia menarik tali besi yang menggantungkan lift dan menariknya agar lebih cepat. Bunyi denting lift berhenti dan Saskia langsung menahan napas. Begitu pintu lift terbuka, napas Saskia pun berhenti di rongga d**a. Rasa terkejutnya membuat napasnya terhenti. Juan muncul dengan membawa nampan berisi sepiring nasi dengan posrsi sedikit, semangkok soto daging khas Solo dan segelas air jeruk hangat. Senyum Juan yang tipis tetapi menawan, membuat jantung Saskia berlompatan ke mana-mana. Juan keluar dari lift dan mendekati Saskia. "Pagi, my Quokka." Dari yang tadinya Saskia diliputi perasaan aneh, terkejut, tak menduga prasangkanya salah, berubah menjadi perasaan terkejut, dengan bibir menganga sedikit. Pendengarannya menangkap penyebutan yang aneh pada sapaan Juan. Juan terkekeh kecil. Memahami kebingungan Saskia akan apa yang ia ucapkan. "Ayo, mingkem. Nanti lalat masuk." Mendapat teguran lucu begitu, Saskia langsung merapatkan bibirnya. Mendelik marah pada Juan karena merasa dipermainkan. Juan sendiri tak peduli dengan protes yang dilayangkan dari wajah Saskia. Ia justru celingukan, melewati Saskia, dan tersenyum saat melihat meja bar dengan dapur bersihnya. Saskia mau tak mau mengikuti langkah Juan, yang ia sudah tahu ke mana tujuannya. "Kamu kapan datang?" tanya Saskia begitu keduanya sudah di meja bar. Juan dengan tenang menata piring nasi, semangkok soto yang masih terlihat uap hangatnya, dan terakhir segelas minuman jeruk hangat. "Siapa yang ijin kamu masuk? Kenapa gak ada yang bilang sama saya? Kamu kenapa gak telpon saya? Apa itu Coca Cola? Jangan ganti-ganti nama orang sembarangan, ya!" Juan memegang kedua pundak Saskia dari belakang dan menuntun gadis itu dengan paksaan lembut agar duduk di meja bar. Saskia tak punya pilihan selain menurut dengan mimik wajah dongkol. "Jawab Juan!" bentak Saskia. Juan masih bersikap tenang. Ia duduk dulu di kursi sebelah Saskia. Saskia merasa deja vu, pengulangan peristiwa. Posisi duduknya dan Juan, mengingatkan Saskia saat di ruang kerja Juan, di restoran. "Kamu mau saya jawab yang mana dulu?" tanya Juan kalem. "Terserah! Pokoknya jawab!" "Saya akan jawab semua, setelah kamu makan." "Kok, ngatur, sih." "Karena..., kamu kalah." Senyum Juan melebar dengan tatapn mengece. "Memangnya kamu datang jam enam?" Suara Saskia melembut karena sangsi. "Kamu makan atau saya suapin? Atau saya balik badan dan tidak menjelaskan apa pun?" "Kenapa harus ngancam, sih!" Kembali Saskia meradang. Dengan gregetan, Saskia memutar kursi duduknya menghadap makanannya. Dan posisinya benar-benar sama saat ada di ruang kerja Juan. Saskia menghadap makanannya dan Juan menghadap Saskia, menatap wajah cantik gadis itu dari samping. "Tumben kok masak beginian." Saskia mencicipi kuah soto dan rasa hangat yang gurih mengalir ke tenggorokannya, menyisakan rasa ketagihan di lidahnya. Saskia mengambil seiris daging tipis yang pas untuk sendoknya. Kembali ekspresinya menunjukkan kenikmatan. Masakannya terlalu enak. Menunya sangat tak biasa. Saskia menyadari sesuatu dan menoleh menatap Juan. "Kamu yang masak?" "Ahhh.... Kamu sudah beradaptasi dengan masakan saya sampai tahu kalau ini masakan saya. Saya jadi terharu." "Idih...." Saskia memberikan ekspresi jijik. "sekarang jawab pertanyaan saya. Saya sudah makan." "Tidak bisa. Tadi itu mencicipi bukan makan." "Kok, maksa sih?" "Saya hanya belajar darimu. Kamunya aja maksa," goda Juan dengan memberikan kerlingan mata menggoda. Napas Saskia kembali terhenti. Cara Juan mengerling, membuatnya melelh. Untungnya kali ini Saskia lebih cepat menguasai dirinya sendiri. Setelah mengumpat, Saskia memutar kursinya, kembali menghadap makanannya. Mendapati makanan seenak ini, Saskia tak keberatan mengalah. Ia mulai menyendokkan makanan pertamanya lalu melirik ke arah Juan denga tuntutan. "Oke. Oke. Hahaha.... Saya jawab. Tapi, kamu harus terus makan sampai habis." "Banyak nuntut," dumel Saskia yang kembali pada sarapannya. "Sesuai kesepakatan, saya datang tepat jam enam pagi. Sayangnya tuan puteri masih terkena sihir sampai-sampai lupa dengan tantangannya sendiri." "Dan kamu bertemu Julia duluan. Melakukan diskusi. Saling menyalahkan karena kebocoran rencana. Dan masakan ini.... Di masak untuk mengelabui saya. Begitu, kan?" Saskia mencibir. "Wah. Saya gak menyangka kamu punya kemampuan imajinasi yang begitu luas. Cocok sekali untuk kamu menulis fiksi. Saya punya relasi seorang penulis fiksi. Kamu mau kenal dan belajar?" Saskia langsung menendang tulang kaki Juan yang sontak membuat pria itu kesakitan. Juan tak mengaduh. Bibirnya terkatup rapat untuk menahan sakitnya. "Sakit? Makanya jangan ngejek terus!" "Kalau saya tidak boleh mengejek, lalu kamu bebas berprasangka, begitu? Saya bahkan belum selesai menjelaskan," protes Juan. Saskia malu sendiri. Kekesalan Saskia sudah tumbuh sejak ia bangun. Kecurigaan Juan dan Julia ada sesuatu sudah menggumpal bagai benang kusut. Tapi, Juan benar. Ia meminta jawaban, ia yang kalah, harusnya ia tak memojokkan Juan menerus. "Maaf." Saskia berucap sangat lirih dan kembali pada makanannya. Juan menarik napas dan menghelanya perlahan. Ia tak bisa marah teramat sangat untuk Saskia. Juan memang tak menanggapi permintaan maaf Saskia. Sebagai balasannya karena Saskia bersikap baik, Juan melanjutkan penjelasannya. "Mamamu yang mempersilakan saya masuk. Kami kemudian bersama-sama menyiapkan sararapn." "Kamu gak ketemu Julia?" "Ketemu. Dan dia melarang saya dan mamamu mengantarkan makanan untuk papamu." "Pastinya begitu. Julia yang tahu apa saja obat yang penting untuk Papa. Dan hanya Julia yang bisa membuat Papa minum obat-obatannya." Juan segera memitar otak. Seorang yang sukses seperti Pamungkas, sangat tidak mungkin bisa terjerembab patuh menuruti seorang Julia. Kecuali, Pamungkas diintimidasi atau diancam Julia. Kalau begitu modelnya, berarti Juan harus mencari tahu perihal sosok Pamungkas, ayah Saskia. "Jadi kamu tidak pernah menjenguk beliau?" tanya Juan. "Bisa saya dan Mama menjenguk Papa. Asalkan waktunya tidak saat sarapan, saat makan malam, atau di jam istirahat Papa." Ada sesuatu. Juan yakin ada sesutua sampai-sampai Julia perlu memberikan ultimatum. "Sejak kapan ayahmu sakit?" Saskia terdiam. Sendok yang sudah terisi makanan, urung masuk ke dalam mulut. Ia seperti termenung. Mengingat sesuatu. "Sebulan sebelum pernikahan Julia dengan Kak Anggara. Pernikahan yang buru-buru." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD