Kalian Pacaran?

1480 Words
Pagi yang suram bagi Juan. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Kedua matanya benar-benar tidak mau diajak kompromi untuk memejamkan mata dan membawa dirinya pada sebuah mimpi. Tubuhnya terasa sangat penat, matanya pun sebenarnya sudah lelah. Namun, tetap saja tidak ada tubuhnya melayang tenang, tidak ada tidur. Sebagian besar dari diri Juan terus menyalahkan diri sendiri. Membenci dirinya yang sudah merusak kepercayaan Saskia terhadapnya. Menyalahkan diri karena terlalu menikmati bibir Saskia yang bahkan ia seperti seorang yang kelaparan. Padahal kalau perihal bibir, sudah banyak bibir wanita yang ia puaskan. Tetapi dengan Saskia, ia justru merasa kelaparan. Kelembutannya yang manis, menggugah sesuatu yang lebih dalam lagi. Saskia bagaikan Magnet bagi Juan. Menarik dirinya untuk terus berada di dekat gadis itu. Menciumi kibasan aroma rambutnya yang seperti aroma mawar liar di pagi hari. Membelai lembutnya rambut bergelombang dan menikmati hangatnya leher Saskia yang mengalir di jari-jemarinya. Ciuman tadi adalah hasrat yang digerakkan hati juga pikirannya. Itu bukanlah ciuman yang didasarkan pada sebuah tuntutan. Itu adalah keinginan mendasar dari seorang manusia, seorang pria, terhadap wanitanya. Wanita yang sudah menggelitik hati sekaligus pikiran. Juan merasa tidak kuasa lama-lama di rumah Saskia karena dibayang-bayangi adegan ciuman yang sudah terjadi antara dirinya dan Saskia. Juan harus pergi atau dirinya akan menggila. Beruntung, Soraya yang selalu bangun pagi dan sedang duduk-duduk mengawasi dua orang asisten rumah tangga yang tengah membersihkan ruang terbuka santai, tak banyak bertanya saat Juan berpamitan mau pulang. Juan memberikan alasan bahwa restoran yang biasanya pagi hari ditangani salah seorang asistennya, pagi ini minta ijin. Karenanya Juan harus ke restoran pagi-pagi. Juan pikir setelah keluar dari rumah Saskia, ia akan merasa tenang dan lega. Nyatanya, ia justru semakin gelisah dan bersalah. Karena meninggalkan rumah itu tanpa berpamitan secara pribadi dengan Saskia. Yang utama, ia belum melihat wajah pagi Saskia. Penyesalan. Restoran masih belum buka saat Juan sampai. Bahkan tag restoran masih terpasang tanda "Closed". Beberapa pegawai pramusaji sedang menata dan membersihkan meja kursi, sedangkan di dapur, Juan yakin para juru masak sudah mulai potong-potong atau mencuci bahan. Di luar, beberapa orang dengan sabar menanti sembari sibuk dengan ponselnya atau berbicara dengan rekannya. Juan memeriksa waktu di jam tangannya. Sebelas menit lagi tepat pukul tujuh. Tak ada salahnya sesekali membuka restoran lebih awal beberapa menit. Setelah masuk, Juan membalik tag restoran menjadi "Open". "Eh, masih belum jam tujuh," protes Roby lirih karena di belakang Juan beberapa pengunjung restoran masuk dengan wajah lega. Juan tak menyahut, dengan wajah datar ia masuk ke ruang kerjanya. Nina dan Roby saling pandang. "Kenapa dia?" tanya Nina. "Lah, mana saya tau? Kan saya baru liat dia." Roby mengedikkan bahunya. "Memangnya semalam dia pulang jam berapa?" "Abis dari tempatmu, saya gak ke tempat dia." "Berarti dia belum tau?" Nina langsung keluar dari meja kasir, memanggil seorang karyawan senior yang biasanya menggantikan tugas Nina. "Belumlah," jawab Roby yang ikut Nina keluar dari meja bar. "Jagaian kasir. Suruh Anton atau siapa jaga bar nemenin Lia," perintah Nina pada karyawannya yang dibalas anggukan patuh dan senyuman manis seperti biasa. Nina dan Roby bersamaan memasuki ruangan Juan. Kembali keduanya saling tatap dengan bingung. Juan duduk di sofa kebesarannya, dengan tubuh sedikit melorot, dagu ditopang salah satu tangannya, dan tatapan Juan menerawang seolah melamunkan sesuatu. Nina menyenggol lengan Roby dan mengeserkan kepalanya dekat ke d**a Roby. Tatapannya tetap terarah ke Juan hingga ia tidak tahu jika Roby terkejut dan tersenyum malu saat menghirup aroma shampo yang khas dari rambut Nina. "Dia kenapa?" tanya Nina berbisik. "Hmm...?" Roby menghirup kuat-kuat aroma wangi dari kepala Nina. "Kamu ganti shampo?" Nina langsung menegakkan tubuhnya, mendelik pada Roby, dan menginjak kaki Roby. Sontak pria berwajah bayi itu mengaduh. Tapi, keduanya makin heran. Juan tak bereaksi atas kegaduhan yang sudah dibuat. Nina mendekati Juan dan menepuk pundak sahabatnya itu. "Juan." Juan sempat gelagapan dan memandang Nina dengan senyum tipis. Ia seperti seorang bocah yang ketahuan melamun saat jam pelajaran sekolah. Nina dengan tatapan tajam, duduk di sofa lain dan seperti biasa, Roby duduk di sebelahnya. "Ada apa?" tanya Nina penasaran. "Apanya ada apa apa?" jawab Juan salah tingkah dan memperbaiki duduknya. "Semalam apa ada kejadian lain setelah Roby pulang?" Ada. Kita ciuman, batin Juan menjawab. "Apa?" Juan mengernyit. "Apanya apa?" "Tadi bilangnya ada," ucap Nina mengingatkan. "Kamu dengar?" tanya Juan panik. Ia melotot dan memajukan tubuhnya ke Nina. "Kamu dengar semua? Sejak kapan kamu bisa mendengar?" Nina dan Roby saling pandang dengan ekspresi khawatir. Pembicaraan mereka tidak nyambung dan Juan sepertinya berpikir pada hal yang lain. "Kamu mikir apa, sih, Bro?" tanya Roby penasaran. "Orang nanyanya apa kamu jawabnya apa." Juan mengerjapkan mata, menyadari bahwa ada yang salah dan itu dimulai dari dirinya. Tapi tetap saja dia kebingungan tentang apa yang dirinya ucapkan dalam hati bisa terdengar oleh Nina. "Tadi kamu tanya apa?" tanya Juan malu. "Saya tanya, apa ada sesuatu terjadi setelah Roby pulang? Kamu jawab, ada. Nah, apa itu?" jelas Nina. "Oh..., itu...." Juan menggaruk-garuk kepalanya dengan tersipu malu. Ada perasaan lega menyisip di hatinya. Kemungkinan dirinya memang terucap 'ada' saja, tidak lainnya. "Tidak ada. Maksud saya, tidak ada. Tidak ada yang terjadi. Jadi gimana? Sudah dapat informasi pemilik mobil?" Juan cepat-cepat mengembalikan tujuan pembicaraan yang Juan yakin ada kaitannya dengan peristiwa semalam. Ia kembali pada posisi semula. Bersandar pada sandaran sofa yang lebar dan menopang dagu. "Pemilik mobil itu namanya Onye. Dia seorang residivis kambuhan. Wilayah kekuasaannya biasanya di selatan Jakarta. Dia punya catatan pernah membunuh satu kali, tetapi pernah ada beberapa laporan perihal tuduhan membunuh. Sayangnya, karena kurang butik, ia lolos. Pada dasarnya ia licin," jelas Nina. "Ada yang lebih mengejutkan dari itu," sambung Roby. "Di hari tewasnya Atha, Onye baru empat hari bebas dari hukuman penjara." "Kita sekarang menyelidiki kedekatan Julia dan Onye. Sudah sejak kapan keduanya kenal. Karena ada kemungkinan keduanya sudah saling kenal jauh lebih lama. Apalagi Julia mengganti identitasnya. Bukan tidak mungkin, sebagian besar akta yang dia punya adalah palsu tapi asli. Alias, tidak melalui prosedur hukum sebagaimana mestinya," jelas Nina lagi. Tak ada respon. Juan tak menanggapi apa-apa. Kembali Nina dan Roby melihat jika mata Juan tidak fokus. Keduanya sama-sama bingung akan keanehan sikap Juan yang tidak menanggapi informasi penting ini. Padahal semalam Juan sangat menggebu ingin tahu siapa si pemilik mobil dan hubungannya dengan Julia. Tiba-tiba Juan menatap Nina dan Robi dengan senyuman yang aneh. Bahkan kedua matanya berbinar untuk sesuatu yang tidak jelas. Ada seringai kecil di wajahnya yang membuat dua sahabatnya itu makin khawatir. Keduanya berpikir Juan kesurupan. "Kalian pacaran?" Sontak Nina dan Roby tercengang. Napas keduanya seketika berhenti. Kedua bola mata semakin lebar menatap Juan. Sedangkan yang ditatap semakin lebar seringainya. "Kalau tidak pacaran..., apa kalian pernah berciuman?" Kedua mata Juan mengerjap-ngerjap dengan seringai yang berubah menjadi senyum yang sangat lebar. "Bagaimana rasanya berciuman dengan seseorang?" Jantung Nina dan Roby berlompatan tidak karuan. Juan mulai melantur meskipun tidak mabuk. Dan pertanyaan Juan hanya membuat sejoli yang menyimpan sesuatu di diri masing-masing menjadi belingsatan. Nina yang wajahnya semakin kaku dan bersemu, tidak bisa membendung malunya. Ia tak bisa menguasai diri. Tangannya melayang menampar pipi Juan. Juan langsung melongo, begitu juga Roby. "Yang sering ciuman itu siapa? Kenapa tanya-tanya ke kita? Kalau masih mabuk, jangan datang ke restoran! Br3ngs3k!" Nina berdiri dan melangkah cepat keluar dari ruangan Juan dengan wajah merengut. "Salah saya apa?" tanya Juan polos. "Bod0h!" Roby menggumam kesal. "Saya kan cuma tanya." "Cuma katamu? Dasar Semprul." Cumamu itu sudah bikin jantung ini melesat. Juan g0bl0k memang, gerutu Roby. "Ya kan tinggal jawab aja. Kalau gak pacaran ya jawab, enggak. Kalau gak ciuman ya jawab aja enggak. Pake nampar segala. Kan pipi ini aset." Juan mengelus pipinya Sedangkan Roby memberi ekspresi mau muntah. Sembari menggulung koran pagi, Roby berucap, "Udah ini bagaimana Julia. Gak usah omong atau tanya sembarangan." "Oke. Oke." Juan menurut dan mulai serius. "Eh, tapi kalian gak ciuman, 'kan?" Plak! Roby mengemplang kepala Juan dengan gulungan koran. *** Pagi yang cukup ramai di rumah Jeny. Ini karena ibunya dan para tante yang terhitung kerabat, baru pulang dari jalan santai. Mereka memutuskan istirahat di rumah Jeny sembari sarapan, karena mama Jeny mengundang. Keriuhan terjadi saat suami Jeny yang bule tampan, bersedia memasak istimewa untuk semua. Ditemani Jeny, sang suami mulai menyiapkan roti sandwich istimewa. Jeny tak begitu fokus. Salah satu teman ibunya, membuatnya merasa sesuatu. Seperti ingat suatu hal, tetapi juga tidak ingat apa itu. Ini membuatnya gelisah. Karena ia sangat ingin tahu kenapa perasaannya aneh. Ada yang ingin ditanya, tetapi tidak tahu mau tanya apa. Jeny terus diam-diam mengamati si Tante yang masih sangat cantik dengan tubuh masih sintal. Seseorang yang sangat merawat dirinya. Tak ada yang mengira jika usianya sudah awal lima puluhan. Ini karena kecantikannya dan enerjiknya. Keadaan ini terus berlanjut sampai mereka semua sarapan dan selesai. Jeny terus menarik ingatannya. Sampai kemudian satu per satu berpamitan, ingatan Jeny meletup keluar. Diam-diam dengan cara halus, Jeny menarik si Tante agar terpisah dari lainnya. "Ada apa, toh, Jen. Sampai narik begini. Ada yang gawat?" "Tante Soraya, saya mau tanya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD