BAB 9 | Nasehat Jesslyn

1926 Words
*** Saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Yang dimana sudah saatnya menyantap hidangan makan malam. Di atas meja panjang itu terlihat penuh oleh berbagai macam menu yang tersedia di sana. Tentunya menu-menu tersebut adalah menu-menu yang sangat lezat. Para orang tua sudah duduk di kursi masing-masing. Dan dikarenakan jumlah mereka yang cukup banyak, sehingga kedua meja makan yang tersedia di Mansion tersebut terisi penuh. Meja makan khusus para orang tua berbeda dengan meja makan khusus anak-anak. Sedangkan Clarissa dan Axel, mereka berdua diminta bergabung bersama dengan orang tua mereka di sana. "Xel, ayo, duduk di dekat Grandpa saja," ajak Jordhan kepada Axel. Pria senja itu hendak melangkah menuju kursi khusus untuknya. Axel memandangi wajah keriput itu. Ia mengulas senyum, “Aku di sini saja, Grandpa. Mungkin Dad Morgan akan duduk di sana,” ucap Axel menolak, sambil melirik sebentar pada mertuanya yang sampai detik ini enggan menatap wajahnya. Jordhan mengangguk pelan sembari mengulas senyum di wajahnya yang keriput. “Baiklah kalau begitu,” ucapnya kemudian menepuk pelan bahu Axel. "Aargh!" tiba-tiba Axel mengerang kesakitan saat bahunya ditepuk oleh tangan keriput Jordhan tadi. Sehingga erangan kesakitannya itu sontak menarik perhatian sebagian orang di sana, terutama di meja makan tersebut. "Kenapa, Nak? Apakah Grandpa menyakitimu?” tanya Jordhan menatap cemas pada Axel. Axel menggeleng pelan. Clarissa terdiam. Sedangkan yang lainnya fokus menatap ke arah Axel. Mereka penasaran apa yang terjadi dengan punggung pria itu. “Tidak, Grandpa. Aku tidak apa-apa,” jawab Axel. “Punggungmu sakit?” tanya Jordhan. Ingin menjawab tidak, namun Axel takut Jordhan akan mendesaknya dan akan melihat punggungnya yang memar, "Ya, sedikit saja. Hanya luka memar kecil, Grandpa. It's oke,” jawab Axel sembari mengulas senyum tampan di wajah iblisnya pada pria senja itu. Jordhan terdiam sejenak sembari menatap lekat wajah Axel, lalu melirik sebentar pada Clarissa yang terlihat sibuk menuangkan air ke dalam gelas di sana. Perempuan itu terlihat cuek; seakan-akan tak melakukan kesalahan apapun. Tetapi, Jordhan paham jika luka di punggung Axel adalah ulah cucu perempuannya itu. “Jika lukanya serius, maka segeralah periksa ke Dokter.” Jordhan kembali berucap setelah beralih kepada Axel. Axel tertawa pelan. “Aku tidak perlu ke Dokter, Grandpa. Ini hanya luka memar, persis seperti di sudut bibirku. Lagi pula, Clarissa bisa menanganinya,” sahut Axel melirik sebentar pada istrinya. Jordhan mendesah pelan. Ia memilih mengalah, karena saat ini sedang berada di meja makan. Kemudian, Jordhan mengangguk pelan, meskipun dia sangat penasaran seperti apa luka di punggung pria yang merupakan cucu menantunya itu. Sementara Janeeta dan Charles di sana, keduanya saling berpandangan. Janeeta percaya dengan karangan menantunya mengenai mereka yang diganggu oleh orang yang tak dikenal, sedangkan tidak dengan Charles. Charles cukup mengenal bagaimana karakter menantunya itu. Perempuan itu tidak seperti perempuan-perempuan pada umumnya. Dan terkait kondisi putranya, Charles juga sama seperti Jordhan, tidak percaya dengan penjelasan Clarissa. Namun, dalam hati kecil Charles bersyukur, sebab bukan menantunya yang terluka. Itu artinya Axel tidak sampai melakukan sesuatu yang dia cemaskan dari semalam. Charles susah tertidur lantaran memikirkan putranya. Ia takut anak itu akan berbuat terlalu jauh terhadap Clarissa, dan hal itu akan menghancurkan hubungan baiknya yang terjalin selama ini dengan keluarga besar Blaxton. Sedangkan Clarissa hendak menyuapi makanan ke dalam mulutnya. Tetapi, urung ia lakukan saat ekor matanya menangkap tatapan lekat Ibunya di sana. Clarissa melihat kepada wanita paruh baya itu. Kemudian menghela nafas pelan, Clarissa menyimpan kembali sendok ditanganinya ke atas piring. Tatapan lekat Ibunya itu adalah sebagai bentuk protes karena dirinya tidak melayani sang suami di meja makan. Kemudian, Clarissa beralih meraih piring Axel yang masih kosong, “Kamu mau menu yang mana, Xel?” tanyanya pada sang suami. Suaranya terdengar halus. Seperti bukan dirinya. Clarissa sengaja, sebab disana ada Grandmanya Sally. Axel terdiam sejenak. Tidak menyangka jika Clarissa akan melayaninya di meja makan. Tidak tahu saja dia jika perempuan itu terpaksa melakukannya lantaran mendapat tatapan intimidasi dari Ibunya. Axel pun menjawab. Ia memberitahu istrinya itu menu apa saja yang diinginkan. Sehingga, Clarissa dengan cekatan mengisi piring tersebut dengan menu-menu favorit Axel dan di letakkan kembali di depan pria itu. Setelahnya, Clarissa menuangkan air mineral ke dalam gelas untuk Axel. Setelah semuanya siap, barulah Clarissa melanjutkan makannya. “Semoga dia tersedak, terus kejang-kejang dan lewat,” bisik Megan di telinga Careen. Kebetulan mereka duduk bersisian. “Amen!” Careen mengaminkan doa buruk Megan untuk Axel. Sungguh, mereka berdua benar-benar muak terhadap Axel, karena mereka menganggap jika pria itu telah menghancurkan masa depan keponakan mereka. “Pengantin menjanda di malam kedua, tidak mengapa bukan?” bisik Megan lagi. “Aku rasa tidak mengapa. Justru jauh lebih baik,” timpal Careen. Keduanya semakin tak berperasaan membully Axel, serta menyumpahi pria itu. Kemudian Megan dan Careen langsung menyudahi setelah mendengar Gamal berdehem. Menoleh ke arah suaminya, Megan melihat pria itu tengah memperhatikan dirinya. Setelahnya mereka melanjutkan makan. Menikmati menu-menu yang tersaji diatas meja tersebut dengan nikmat. •••• Selesai makan malam tadi, mereka semua kembali ke ruang santai. Duduk disana sembari berbincang-bincang. Sementara Axel dan Clarissa tidak berada disana. Axel sedang berbicara dengan seseorang, sedangkan Clarissa berada di taman belakang Mansion. Saat ini, perempuan itu tengah duduk diatas sebuah kursi yang tersedia di taman itu bersama salah satu bibinya yang bernama Jesslyn. “Apakah kamu marah terhadap Gabriel dan Caroline?" kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir wanita yang memiliki nama Jesslyn itu. Tidak langsung menjawab, Clarissa tetap pada posisinya. Duduk sambil melipat kedua tangan di dadaa dan menumpukan sebelah kakinya di atas kaki yang lain. Bahkan, ia tak berniat menoleh sedikitpun pada sang Aunty di sampingnya. Dengan posisi duduk menyamping, Jesslyn menatap penasaran pada keponakannya itu. Dia penasaran dengan jawaban Clarissa atas pertanyaannya tadi. Namun setelah beberapa saat ia menunggu, rupanya Clarissa tak kunjung menjawab pertanyaannya. Membuat Jesslyn mendesah pelan, lalu mengubah posisi duduknya persis seperti Clarissa saat ini. Mengulurkan tangan kanannya dan meraih sebuah bungkus rokok di atas meja di depan mereka bersama pemantiknya. Jesslyn membuka bungkusan rokok tersebut, lalu mengambil satu batang dan menyelipkan diantara kedua bibirnya. Ia membakar ujung rokok tersebut, lalu setelah itu ia menyerahkan bungkus rokok itu bersama pemantiknya kepada Clarissa. Clarissa menyambut dan turut melakukan hal serupa seperti sang Aunty. Mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkusannya, lalu menyelipkan diantara kedua bibir dan membakar ujungnya. Keduanya tampak menikmati benda kecil itu di bibir masing-masing. Menghisap rokok tersebut, lalu membuang asap yang mengepul dari dalam mulut. “Aku tidak membenci siapapun termasuk Caroline dan Kak Gabriel.” Clarissa menjawab pertanyaan sang Aunty tadi. Dia melirik sebentar ke arah Jesslyn dan melihat wanita itu mengangguk pelan sambil menghisap rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya yang lentik. “Aku senang mendengarnya,” ucap Jesslyn, “tetapi, bukan berarti aku tidak perduli dengan nasibmu. Dan kalaupun kamu ingin marah, maka aku sarankan marahlah kepada Gabriel, karena Caroline tidak bersalah,” imbuh Jesslyn. “Aku tahu,” gumam Clarissa. Membawa rokok yang terselip di antara kedua jari lentiknya menuju bibir; menghisap dalam lalu menyudahi. Menjauhkan rokok tersebut dari bibirnya dan menghembuskan asapnya lewat mulut dan sebagian lewat hidung mancungnya. “Aku tidak bisa membayangkan andai saja Caroline yang menjadi istri pria Brengsekk itu,” ucap Clarissa setelah beralih menatap ke arah depan. “Apa yang sudah dia lakukan padamu?” tanya Jesslyn. Ia terus memandangi wajah Clarissa dari samping. Clarissa mengedikkan bahu. “Dia mengancam akan membuatku menderita,” jawabnya tanpa melihat ke arah sang Aunty. “Dan detik itu juga kamu menunjukkan kepadanya siapa dirimu yang sebenarnya?” tanya Jesslyn. “Dia membawa nama keluarga kita, dan aku tidak bisa menerima itu.” Clarissa beralih menatap Jesslyn. “Aku paling tidak suka dengan orang yang membawa-bawa nama keluarga ketika terjadi pertikaian di antaranya dan juga pasangannya. Tidak mengapa kalau dia membenciku atau ingin menyakitiku. Aku masih bisa menerimanya. Tapi, aku tidak suka dengan caranya yang pecundang,” sambung Clarissa panjang lebar. “Dia terluka cukup serius. Sepertinya pertikaian kalian juga cukup serius. Benarkah begitu?” terka Jesslyn sambil terus memandang lekat kepada keponakan yaitu. “Ya, bisa dibilang seperti itu. Tapi dia yang menginginkannya, Aunty,” jawab Clarissa. Jesslyn mengangguk pelan. “Aku mengerti. Axel itu tidak beda jauh dari sahabatnya. Mereka sama-sama brengsekk,” ucap Jesslyn. “Suamimu?” tanya Clarissa seraya mengangkat sebelah alis. Mendesah pelan, Jesslyn mengedikkan sebelah bahu sambil menarik pandangan dari Jesslyn. Sebelum menjawab pertanyaan keponakannya itu, terlebih dahulu ia membawa rokok yang terselipkan diantara kedua jarinya menuju bibir. Menghisap penuh nikmat batang kecil itu, hingga menumpukkan asap cukup banyak di dalam mulutnya, lalu menyudahi. Membuang asap tersebut bersamaan dengan mematikan api rokok di tangannya ke dalam sebuah asbak yang tersedia diatas meja. “Oleh sebab itu aku sangat mengerti bagaimana perasaanmu. Menghabiskan malam pertama dengan pria seperti Axel tidak jauh berbeda denganku.” Jesslyn terkekeh pelan. “Mereka terlalu percaya diri karena menganggap kita adalah wanita lemah,” imbuhnya sembari melirik sebentar pada Clarissa. “Tuhan maha adil. Membiarkan suamimu dan Axel menjadi sahabat,” ucap Clarissa. “Ya, karena mereka itu sama-sama brengsekk, dan sama juga bejatnya,” timpal Jesslyn. “Tapi, nyatanya kau mencintai suamimu bukan?” Jesslyn mengedikkan bahu. “Aku terpaksa mencintainya, daripada aku menyia-nyiakan sisa hidupku dengannya, sedangkan dia tidak akan mau melepaskan ku. Sama saja aku tidak menikmati hidupku,” jawab Jesslyn. “Tapi, dia sudah berubah, Aunty, berbeda dengan Axel. Axel baru memulai,” ucap Clarissa. “Kamu hanya perlu menikmati prosesnya, sayang,” ucap Jesslyn. “Tidak ada kehidupan yang mudah di dunia ini. Kita mendapatkan segalanya, kekayaan, kemewahan, kasih sayang dari keluarga yang harmonis, tapi di belakang itu semua, ada banyak pihak yang menginginkan kematian kita, selain daripada itu jodoh yang Tuhan persiapkan untuk kita adalah ujian yang paling besar. Menguji mental kita. Bahkan aku sendiri hampir gila menghadapi Gerald.” Jesslyn mendesah kasar, “tapi, aku tahu itu semua adalah takdir. Dan aku percaya kalau kamu bisa melewati semua ini. Cla, ingatlah, rezeki, jodoh dan maut, itu semua ada di tangan Tuhan.” Clarissa mengangguk pelan. “Dari cerita yang aku dengar dari Kak Morgan, konflik di dalam keluarga Axel ini cukup rumit. Dan kamu harus menyiapkan diri untuk itu. Kamu akan tinggal jauh dari keluarga kita. Ya, bisa dikatakan kamu sama sepertiku. Kedua mata Lucas tidak akan bisa memantaumu 24 jam seperti ketika kamu berada di tempat ini,” ucap Jesslyn lagi. “Aku sudah cukup siap, Aunty,” balas Clarissa. “Kamu harus lebih siap daripada ini. Teruslah berhati-hati,” kata Jesslyn mengingatkan. Clarissa mengangguk, “Boleh aku bertanya sesuatu?” tanyanya. “Aku tidak pernah membatasimu. Silakan saja,” jawab Jesslyn. “Jika suatu saat aku menuntut perceraian dari Axel, lantas bagaimana pandanganmu?” tanya Clarissa. “Aku tahu, pikiranmu yang dewasa jauh di atas usiamu. Dan aku juga yakin, apapun keputusan yang kamu ambil, itu semua sudah kamu pikirkan dengan matang. Dan, kalaupun kamu menginginkan hal barusan, aku akan menganggap jika itu yang terbaik untukmu,” jawab Jesslyn. “Artinya, Aunty mendukungku?” “Mengapa tidak. Bukankah yang pertama kita butuhkan adalah dukungan dari keluarga? Kamu akan mendapatkan itu. Mungkin, keluarga yang lain akan kecewa, tapi tidak dengan aku,” jawab Jesslyn. “Terima kasih,” ucap Clarissa. Jesslyn mengangguk pelan. “Jangan pernah tunjukkan kelemahanmu di depan siapapun termasuk suamimu sendiri. Kamu harus ingat itu,” ucap Jesslyn. “Ya, aku sudah melakukannya. Aku hanya menangis dalam pelukan Ayahku saja,” timpal Clarissa. “It's oke, air matamu memang butuh dikeluarkan. Kamu tidak bisa menahannya begitu saja. Menangis itu adalah kebutuhan, dan kau wajib melakukannya. Menangislah pada tempatnya, Clarissa,” ucapnya Jesslyn dengan suara pelan seperti berbisik, bahkan nyaris tak terdengar. “Ya,” jawab Clarissa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD